Kita tidak bisa menyalahkan Evan Dimas dan kawan-kawan yang gagal menunjukkan keperkasaannya. Juga tidak elok menunjuk hidung coach Indra Sjafri sebagai biang kegagalan. Semua anggota tim pastinya sudah berusaha. Kita hanya patut menyalahkan diri sendiri, karena bermimpi terlalu tinggi terhadap persepakbolaan Indonesia.
Berbeda dengan permainan yang ditunjukkan pada AFF tahun 2013 lalu, di mana Indonesia menjadi juara, bahkan mengalahkan tim kuat Korea Selatan, pada Piala Asia U-19 tahun ini terlihat perbedaan yang sangat mencolok. Stamina dan daya juang pemain di lapangan menurun, kreativitas kurang terbangun, dan kemampuan menjaga lawan tidak terlihat dengan baik. Hal itu sebenarnya sudah terlihat sejak Timnas U-19 bermain dalam Turnamen Piala Halssanah Bolkiah di Brunei Darussalam.
Tetapi sebagian penggemar sepakbola masih merasa maklum, dan segera melupakan kepahitan itu. Apalagi kemudian segera disusul dengan kegiatan beruntun mengadakan tur ke Spanyol, dan bertanding dengan tim yunior klub-klub besar dan terkenal seperti Real Madrid, Barcelona, Ateltico Madrid B, Valencia. Hasil maksimal dari tur itu adalah seri melawan Valencia B. Itu pun masyarakat tak mempersoalkan.
Eforia atas keberhasilan Timnas U-19 tahun lalu memang membuat impian masyarakat melambung, lalu merasa inilah saatnya sepakbola Indonesia bangkit. Target pun langsung dipasang tinggi: Juara Piala Asia di Myanmar, dan masuk ke Piala Dunia Yunior. Target itu dirasa tidak terlalu berlebihan, mengingat Timnas U-19 mampu mengalahkan Timnas U-19 Korsel, salah satu negara Asia langganan Piala Dunia.
Sekarang impiah itu sudah kandas. Perjuangan Timnas U-19 patut diapresiasi, walau berakhir dengan kegagalan. Pertanyaannya kini adalah, apakah kita harus meratap (atas kegagalan) atau menatap (masa depan persepakbolaan Indonesia).
Tentu kita tak boleh meratap terlalu lama. Kita harus menatap masa depan dengan penuh optimisme, bahwa kita bisa bangkit, dan bisa berbicara pada pentas sepakbola...Asia. Jangan terlalu muluk untuk berkiprah di tingkat dunia, karena terlalu banyak persyaratan yang harus dilalui. Dibutuhkan waktu yang panjang, konsep pembinaan yang benar, dan tentu saja sumberdaya yang memenuhi syarat untuk itu.
Untuk menggapai prestasi internasional, hal pertama yang harus diperbaiki adalah sumberdaya manusia. Dibutuhkan anak-anak Indonesia yang bergizi baik, agar memiliki fisik dan tingkat kecerdasan yang baik. Selain itu, faktor bakat juga tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Tanpa bakat yang baik, akan sulit melahirkan pesepakbola yang trampil. Pelatihan memang bisa memperbaiki kemampuan seseorang, tetapi faktor intuisi, fleksibilitas gerakan tubuh, kecepatan berlari dan kemampuan mengecoh lawan, lebih baik dimiliki karena faktor bakat.
Untuk menjadi pemain sepakbola, faktor fisik sangat menentukan. Kelebihan fisik sudah memberikan keunggulan lebih dibandingkan pemain yang memiliki tinggi tubuh kurang. Fisik orang Indonesia rata-rata lebih pendek dibandingkan tubuh orang-orang Eropa, Afrika, atau beberapa negara Asia seperti Jepang dan Cina, yang sudah memiliki tubuh lebih tinggi.
Memang ada pemain internasional yang memiliki tubuh kurang tinggi bermain di liga-liga Eropa, seperti Lionel Messi, Sergio Aguero, Carlos Tevez, David Silva, Xavi Hernandes, Philip Lam dan beberapa nama lainnya. Tetapi skill mereka tidak diragukan, selain mampu beradu badan dengan pemain yang lebih tinggi dan besar. Bagi mereka, tubuh yang kecil justru menguntungkan, karena bisa bergerak lebih lincah dibandingkan pemain-pemain yang bertubuh tinggi.
Pemain Indonesia yang bertubuh kecil juga lincah. Tetapi teknik bermain yang lemah serta stamina yang cepat terkuras, membuat lawan lebih mudah mengatasinya. Itulah yang kita lihat bila tim sepakbola Indonesia berhadapan dengan tim-tim sepakbola dari Afrika, Eropa, Amerika, atau bahkan dari beberapa negara Asia.
Dalam rangka menatap masa depan sepakbola Indonesia yang lebih baik, pola perekrutan model Indra Sjafri tidak bisa dijadikan dasar untuk menghasilkan timnas yang baik. Pemain-pemain yang dipilih mungkin memiliki skill, dan ketika berlangsung seleksi mereka mampu menunjukan kualitasnya, karena baik tim pencari bakat atau tim yang dihadapi dalam uji coba, hanya memiliki prestasi lokal atau nasional.
Tetapi sepakbola tidak melulu soal skill. Daya tahan fisik seorang pemain bola harus cukup untuk melakukan pertandingan 90 menit atau bahkan lebih, tanpa kemampuannya turun drastis. Nah, pesepakbola Indonesia yang ditemui di kampung-kampung umumnya kurang memiliki daya tahan fisik yang bagus. Persoalan pertama adalah faktor gizi. Berdasar penelitian, seorang akan tumbuh dengan baik bila dalam 1000 hari kehidupannya, menerima asupan gizi yang baik. Artinya sejak anak itu dalam kandungan hingga 2 tahun setelah lahir, kebutuhan gizinya harus terpenuhi dengan baik.
Namun faktor gizi masih belum menjadi prioritas utama dalam kehidupan keluarga di Indonesia. Makan bagi masyarakat kebanyakan, baru sebatas kenyang dan enak dimulut. Walau pun slogan 4 sehat 5 sempurna sudah lama digaungkan, tetapi kebiasaan makan masyarakat tidak berubah. Selain faktor kenyang dan enak di mulut, gizi masyarakat sangat tergantung faktor kemampuan ekonomi masyarakat, yang sayangnya, kebanyakan masih sangat rendah.
Kalau pun anak-anak bergizi bagus, terutama pada kalangan menengah perkotaan, minat olahraga, terutama sepakbola, baru sebatas mengikuti tren. Sangat sedikit yang benar-benar serius, mengikuti metode pelatihan sepakbola yang sistematis, terstruktur dan masif. Di Eropa atau Amerika Selatan, banyak pesepakbola yang meninggalkan cita-cita lain, semata untuk menjadi pesepakbola. Di sini, karena nasib atlit, terutama pesepakbola tidak jelas, banyak yang memilih realistis untuk menjalani kehidupan, ketimbang harus berjudi dengan berlatih sepakbola. Jangan heran jika banyak pesepakbola berbakat yang berhenti setelah jadi pegawai negeri. Tahun 80-an Pemkab Bogor banyak mempekerjakan anggota Persikabo sebagai penarik retribusi di pasar-pasar.
Sementara itu pembinaan terhadap pesepakbola muda juga tidak dilakukan dengan baik oleh PSSI. Induk organisasi sepakbola ini hanya tahu pemain yang sudah jadi, tetapi tidak tahu bagaimana pemain itu berproses. PSSI tidak pernah menyiapkan kompetisi sepakbola berjenjang yang bisa menggairahkan olahraga sepakbola di tingkat pemula, dan menjaring pemain-pemain muda berbakat. Untuk hal ini sepakbola Indonesia harus berterima kasih kepada Liga Kompas Gramedia, walau pun ada pula isyu miring, hanya yang berduit yang bisa ikut turnamen ke luar negeri.
Bukan hanya kompetisi, sarana dan prasarana untuk anak-anak berlatih pun semakin hilang. Lapangan sepakbola di kampung-kampung habis digusur untuk perumahan, karena pemilik tanah lapang itu biasanya perorangan, bukan pemerintah. Maka ketika pemilik tanah diiming-imingin uang, mereka akan menjual tanahnya, tak peduli bahwa di lapangan itu ada klub sepakbola kampung yang giat berlatih. Pemerintah daerah pun tidak perduli, karena sepakbola hanya melahirkan tukang berkelahi, bukan prestasi.
Masih banyak lagi faktor-faktor yang bisa memperbaiki persepakbolaan di Indonesia. yang terpenting sekarang adalah, apakah masyarakat atau pemerintah mau berpegang pada faktor-faktor dasar yang menentukan itu. Kalau mau, dan kita bisa, marilah kita menatap persepakbolaan Indonesia yang lebih baik di masa depan. Jangan percaya bahwa kita akan menghasilkan tim hebat dengan mengirim anak-anak muda ke Italia, Uruguay, Inggris atau Spanyol. Jangan juga merekrut pesepakbola remaja yang sudah mahir dari kampung-kampung, karena itu hanya fatamorgana. Perbaiki saja kebutuhan mendasar untuk menyiapkan jalan bagi lahirnya pemain sepakbola yang baik di dalam negeri. Itu saja! (herman wijaya/hw16661@yahoo.com)