Untuk bulan Ramadhan tahun ini saya hanya mengikuti satu acara berbuka puasa bersama di kantor. Sebenarnya saya malas karena saya lebih suka berbuka puasa bersama keluarga di rumah tapi lantaran salah seorang panitianya saya kenal baik, maka saya turut berpartisipasi. Di samping juga mewakili teman-teman yang lain (dari jurusan hanya saya dan ibunitia tersebut yang hadir)
Terus terang saya untuk urusan berbuka puasa bersama ini saya pernah trauma dan kapok untuk mengikutinya. Saya ingat ketika mengikuti acara berbuka puasa bersama pasca Reformasi di sebuah hotel berbintang di kawasan Gatot Subroto. Kalau tidak salah ketika itu Alm Gus Dur ikut hadir (waktu itu belum menjadi Presiden). Seperti kebiasaan saya setiap berbuka puasa, saya tidak langsung makan besar. Setelah berbuka dengan teh hangat dan kue ala kadarnya, saya shalat Mahgrib setelah itu baru makan besar. Rupanya saat itu belum rezeki saya. Sebelum shalat saya sempat melihat hidangan di meja, tampak begitu banyak dan lengkap. Namun, usai shalat saya hanya mendapati piring-piring yang nyaris kosong dengan sedikit sisa sayuran (sepertinya gado-gado atau apa lah). Iseng saya bertanya pada seorang pelayan yang sedang mengangkati piring-piring kotor: "Sudah habis ya, mas?"Â Pelayan itu hanya mengangguk. Saya hanya menggeleng sambil bergumam: "Salah strategi, nih" Maklum saya bukan tamu VIP, sih. Sejak itu saya cukup selektif memilih undangan berbuka puasa bersama. Namun, jika ada undangan berbuka puasa bersama dengan anak yatim-piatu, tentu saya tak akan ragu menghadirinya.
Pengalaman yang mengesankan adalah ketika saya mengikuti acara sahur bersama alias sahber dengan teman-teman belasan tahun silam . Ini yang jarang bahkan tidak pernah muncul dalam status facebook kecuali acara sahur on the road yang pernah ditayangkan di televisi beberapa tahun silam. Sahur bersama yang diselenggarakan oleh teman-teman Forum Bina Amal An Noer diselenggarakan di daerah Muara Kamal. Bukan hotel berbintang atau restoran mewah tapi sebuah mesjid di daerah pemukiman yang mayoritas warganya adalah nelayan. Itu pengalaman yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya karena ketika kami tiba di sana, kami disambut listrik yang mati. Dalam keremangan lilin (bukan karena romantis) kami menikmati makan sahur bersama.
Semoga saja niat dan semangat tulus menyelenggarakan buka puasa bersama atau sahur bersama tidak berhenti setelah Ramadhan usai. Tidak pula sekedar mengenyangkan perut tapi justru mengencangkan serta mempererat tali silaturahmi sesama muslim. Selain tentunya mengharapkan berkah dan ridho Allah semata. Amin.