Sebuah mini bus angkutan umum melaju dengan kecepatan sedang menelusuri jalan raya di tengah hujan deras, angin kencang serta ribut petir. Sebenarnya malam masih lagi ranum dan baru saja datang menggantikan senja, namun alam nampak sangat hitam pekat selain karena hujan tengah mengguyur bumi, juga lantaran sedang mati lampu. Tidak tampak penerangan apapun di depan rumah penduduk di sepanjang kanan-kiri jalan. Tidak ada orang yang lalu lalang dan tentunya mereka lebih memilih berada dalam rumah ketimbang bercengkrama di beranda dalam kondisi cuaca demikian. Hanya cahaya putih berbentuk cambuk menyilau dan mengerikan dari petir yang datang bertaut-tautan menerangi alam malam. Cahaya petir saling sambar menyambar dan bersahut-sahutan juga terlihat di kejauhan, di balik pepohonan, bukit-bukit dan gunung-gunung laksana api kebakaran.
Mini bis berisi penuh sesak dengan penumpang dan barang bawaan mereka yang berjejalan di lantai dan sela-sela kursi serta sebagian dipangku oleh pemiliknya. Badrun duduk pada pinggir kiri kursi paling belakang. Dia bisa merasakan sesekali semburat air hujan menghantam wajah dan dadanya, menerobos melalui sela-sela kisi kaca jendela yang renggang. Badrun tidak pernah merencanakan bahwa dia akan bergabung  dalam rombongan pemudik lebaran yang berangkat dari terminal Penajam menuju arah selatan dan menjadi salah satu penumpang mini bus tua dengan pegas pada sistem suspensinya tidak bagus lagi, sehingga kendaraan terguncang setiap kali melintasi bagian permukaan jalan yang tidak rata, rusak dan berlubang.
KEMBALI KE ARTIKEL