Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Heboh Libur Lebaran 2011

16 September 2011   03:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:55 172 0

KARNAVAL UNIK ALUMNI MADRASAH IBTIDA’IYAH MUHAMMADIYAH SOLOKURO (1969-2004)

Mungkin ini merupakan libur lebaran yang paling berkesan bagi kebanyakan orang desa Solokuro, sebuah desa kecil yang bermetamorfose menjadi kecamatan (pemekaran dari Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan). Bagaimana tidak, warga Solokuro khususnya warga Muhammadiyah memiliki hajatan besar dalam rangka Reuni Akbar memperingati 60 Tahun Perguruan Muhammadiyah Solokuro.

Kegiatan ini memiliki berbagai rentetan acara, diantaranya seminar ,lomba, pentas seni dan pengajian. Tetapi yang paling menarik dan menyita perhatian masyarakat hingga luar desa adalah Karnaval Alumni yang diikuti oleh alumni Madrasah Ibtida’iyah Muhammadiyah mulai angkatan 1969-2004.

Para alumni di setiap angkatan dengan beragam status dan profesi itu diwajibkan untuk menciptakan kreativitas mereka masing-masing. Ada salah satu angkatan yang memerankan sebagai kalangan dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Solokuro (IDS). Spesialis dokter yang mereka perankan-pun bermacam-macam dan lucu-lucu, seperti dokter spesialis panu, dokter spesialis, pegel linu dan lain-lain. Ada juga angkatan alumni yang memerankan sebagai para petani yang sedang membawa hasil panennya sambil berpayah-payah. Juga ada yang memunculkan kreativitas dengan memerankan tokoh-tokoh kunci pada film Sang Pencerah, ada yang menjadi Kyai Achmad Dahlan, Nyai Walida, Kyai Gede, Penghulu dan lain sebagainya.

Menarik memang, alumni Madrasah yang telah menyebar diberbagai kota dengan beragam profesi dan kesibukan, begitu appreciate dengan kegiatan karnaval tersebut. Disamping kehebohan yang luar biasa itu, kegiatan juga memiliki makna yang begitu dalam tentang jalinan ukhuwah dan persaudaraan sesama alumni Madrasah Ibtida’iyah Muhammadiyah Solokuro. Mereka begitu bersatu padu, mengikis segala jenis skat dan perbedaan, tidak pandang kaya dan miskin, dokter dan para buruh, petani dan para pejabat, wong jatenan dan pengusaha kaya, wong Malaysiaan dan wong ngrakalan, semua larut dalam hiruk pikuk kegiatan karnaval. Saking semangatnya sebelum kegiatan karnaval para alumni tiap angkatan telah sibuk untuk melakukan pertemuan-pertemuan awal. Tak ayal, speaker mushollah bapak Mukran pun sering kali bergema dengan pengumuman pertemuan-pertemuan itu.

Kehebohan semakin menjadi-jadi menjelang hari H. para alumni yang telah menjadi ibu dan bapak itu hilir mudik ke tetangga kanan dan kiri untuk meminjam kostum karnaval. Ada yang sibuk menghias topi tani, membuat kostum badut, ada yang sibuk mendesain dan menkonsep nama-nama yang diperankan, ada yang membongkar jas atau baju using bapak dan ibu mereka, ada yang sibuk mencari blankon, jubah serta berbagai kelengkapan karnaval lainnya.

The Show begins

Tiba hari H, satu persatu kontingen berdatangan di gedung perguruan Muhammadiya. Dipandu oleh bapak Muhammad Rufi’I, para kontingen tiap angkata mendapatkan nomor urut karnaval. Dimulai dari angkatan yang paling senior berturut-turut ke level yang lebih yunior.

Masih di area gedung Perguruan Muhammadiyah, derai tawa-pun membahana tatkala masing-masing kontestan bertemu. Mereka bahkan ada yang terpingkal-pingkal menyaksikan peran antar angkatan. Bahkan ada yang saling ledekuntuk menunjukkan keunggulan kreatifitas kelompoknya masing-masing. Walaupun demikian semua itu berlangsung dalam suasana yang sangat akrab dan penuh nuansa persaudaraan.

Saking akrabnya serta suasana yang mirip dengan masa ketika waktu masih bersekolah di Madrasah Muhammadiyah beberapa puluh tahun yang lalu, berbagai memori tentang masa-masa MIM pun muncul kembali. Seperti bagaimana pada saat kami angkata ’90 menikmati kebersamaan 21 tahun yang lalu. Ingatan kami ketika harus bangun pagi dan pergi ke lapangan nDandu Sigar untuk berolahraga dengan bimbingan Bapak Muzahri, bagaimana bu Suntami yang mengajar Qur’an dan Hadist di kelas satu dan dua serta mengajar ketrampilan di kelas enam, pelajaran Nahwu dan Shorof yang diajarkan oleh alm. Bapak Aman Mu’min serta berbagai dinamika pengajarannya, yang tidak kalah seru adalah ketika kami menjumpai guru TK kami, ibu Kadartik yang selama tiga tahun dengan kesabarannya ‘mengemong’ danmendidik kami ketika ibu dan bapak kami pergi ke lading. Begitu lewat di depan rumah beliau, secara spontan kami bersalaman satu per satu, tentu disertai dengan ingatan masa kecil dan ucapan terimakasih yang tulus. Bu Dar yang terlihat masih awet muda itu-pun tak hayal memunculkan celetukan diantara kami “bu..kok empun kalah tuwo kale murite niki…” yang artinya bu sudah kala tua nich sama muridnya, ungkapan yang menyatakan bahwa bu Dar masih sama seperti dulu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun