Insiden tersebut bermula ketika seorang guru yang berinisial AZ dilaporkan ke Polres Asahan. Oknum guru ini diduga melakukan tindakan diskriminasi terhadap seorang murid perempuan bernama TS, yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang diwajibkan oleh sekolah. Tindakan tersebut bukan hanya menciptakan ketidaknyamanan bagi siswa, tetapi juga memunculkan pertanyaan serius tentang perlakuan yang diterima siswa di dalam lingkungan sekolah.
Setelah beberapa waktu berlalu, situasi semakin rumit ketika terungkap bahwa AKP EP, seorang perwira polisi, diduga terlibat dalam penganiayaan terhadap Zailani, M.PD.I., seorang Guru Agama Islam di SMA Diponegoro Kisaran. Zailani, yang juga merupakan orang tua dari TS, mengalami luka serius akibat diseret sejauh 50 meter dari kantor BP menuju kantor Kepala Sekolah oleh AKP EP. Luka yang diderita Zailani termasuk cekikan di leher dan goresan di dada, yang jelas menunjukkan tingkat kekerasan yang tidak dapat diterima dalam konteks pendidikan.
Motif di balik penganiayaan ini ternyata berkaitan dengan ketidakpuasan AKP EP terhadap teguran yang diterima anaknya, Salsabila, karena tidak mengikuti kegiatan pesantren kilat yang diadakan oleh sekolah. Tindakan tersebut mencerminkan masalah yang lebih besar terkait bagaimana orang tua dan pendidik harus berkomunikasi dan berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan belajar yang positif bagi siswa.
Dengan berlalunya waktu, kasus ini semakin memanas dan belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian. Untuk itu, pihak Kemendikbud, melalui Kadarisman selaku Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, memutuskan untuk melakukan kunjungan ke Dinas Pendidikan Sumatera Utara di Medan pada 27 Juli 2018. Kunjungan ini bertujuan untuk melakukan mediasi antara kedua belah pihak, mengingat kasus ini telah berkembang hingga ke pengadilan Asahan, dan menjadi perhatian publik.
"Kedatangan kami bertujuan untuk melakukan mediasi demi tercapainya kesepakatan yang dapat menghindari konflik di masyarakat," ujar Kadarisman. Pernyataan ini menunjukkan komitmen Kemendikbud dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di sekolah dan memastikan bahwa semua siswa merasa aman dalam proses belajar mereka.
Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa oknum guru yang terlibat adalah pegawai non-PNS. Sebagai respons terhadap insiden yang meresahkan ini, Kemendikbud telah menerbitkan peraturan yang mengatur pencegahan kekerasan di sekolah melalui Permendikbud No. 82 Tahun 2015. Regulasi ini dimaksudkan untuk memberikan panduan dan perlindungan bagi siswa, serta mengawasi tindakan tenaga pendidik di sekolah.
Namun, meskipun Permendikbud tersebut telah ada dan disosialisasikan kepada berbagai sekolah, masih banyak pihak yang belum menerapkan regulasi tersebut dengan baik. Hal ini menandakan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya lingkungan belajar yang aman dan mendukung, serta meningkatkan kolaborasi antara orang tua, guru, dan pihak sekolah.
Melihat kembali kasus ini, kita dapat menarik pelajaran berharga mengenai pentingnya komunikasi yang efektif antara semua pihak yang terlibat dalam pendidikan. Setiap langkah menuju penyelesaian insiden ini tidak hanya akan memberikan keadilan bagi mereka yang terlibat tetapi juga membantu membangun fondasi yang lebih kuat untuk lingkungan pendidikan yang lebih baik di masa depan. Semoga kejadian serupa tidak terulang dan setiap siswa dapat menikmati pengalaman belajar yang aman dan positif di sekolah mereka.