DALAM salah satu peluncuran album trio penyanyi yang sudah kerap mondar-mandir di televisi, saya “iseng” meminta mereka menyanyikan reff single album mereka yang sedang hot-hotnya. Saya agak curious, lantaran kalau di televisi harmonisasi suaranya bisa bagus, plus koreografi yang sebenarnya agak mirip gerakan pentas seni 17-an.
Usut punya usut –meski sebenarnya sudah amat menduga—penampilan mereka di tivi ternyata lypsinc. Mereka cukup komat-kamit, umak-umik, mangap-mangap, dan biarkan harmonisasi suara yang bagus seperti di rekamannya-lah yang bekerja.
Dan mereka – sebut saja trio mbelgedes—bukan nama pertama yang terpaksa dengan alasan demi broadcast dan persiapan yang ribet, terpaksa jadi artis ‘umak-umik’. Karena toh, artis dan penyanyi lain melakukan hal yang sama. Jadi, untuk apa dipermasalahkan? Begitukah?
Saya percaya, banyak dari kita yang menganggap lypsinc di televisi menjadi “kematian” interpretasi tentang karya musik yang baik dan benar. Saya pun awalnya berada di area itu. Tapi coba kita telaah lagi, mengapa televisi lebih suka lypsinc dibanding live?
Ternyata ada beberapa hal yang membuat hal yang “tidak enak” itu harus dilakukan. Antara lain:
- Kepentingan broadcast. Untuk acara musik yang menghadirkan segambreng penyanyi dengan durasi tayang terbatas, musik live tentu akan menghadirkan “kekacauan” karena kuru ngeset alat, nyetem, dan menyesuaikan kebutuhan artis. Kalau masing-masing artis punya spek masing, waktu yang terpakai untuk itu bisa habis untuk tayangannya sendiri.
- Televisi memang bukan tempat –sekali lagi bukan tempat—untuk unjuk skill dan musikalitas. Ternyata, tampil di televisi adalah kesempatan untuk “menjual diri” saja. Kalau kamu musisi, silakan cari gig atau konser di luar televisi untuk mempertontonkan skill dan kemampuan musik kalian. Televisi ternyata hanya jadi “etalase” semata.
- Kesempatan. PADI misalnya. Band asal Surabaya itu terang-terangan menolak tampil kalau harus umak-umik doang. “Seperti orang dongo,” kata Piyu. Tapi sayangnya tidak banyak band seperti PADi, lebih banyak yang memilih tampil di televisi meski kudu ‘pantomim’ di atas layar kaca. Resiko yang dilakukan PADI adalah, jarang mendapat tawaran main di televise, kecuali acara khusus. Berani begitu?
- Band atau penyanyinya memang “busuk” artinya diakalin seperti apa memang jelek. Satu-satunya cara supaya tidak malu-maluin adalah dengan lypsinc. Resikonya adalah, ketika tampil live beneran, akan ketahuan kalau musisi itu ternyata “kacangan”. Kasus Mili Vanilli beberapa tahun silam jadi contoh. Sempat mendapat Grammy Award, kemudian terbukti mereka lypsinc dan harus mengembalikan piala ditambah rasa malu seumur hidup serta kehilangan kesempatan berkiprah lebih jauh di musik.
Apakah lypsinc sebuah dosa besar industri? Ada kepentingan-kepentingan dan hal teknis yang memang kudu dilakukan supaya dana dan daya upaya bisa benar-benar sinergi dengan keuntungan. Ah, itu memang dari kacamata industri. Dari kacamata musisi dan seniman, lypsinc itu “pembodohan” dan “kebohongan public” yang amat fatal. Lypsinc adalah fatalis. Penonton di lokasi manggung pun kudu menerima “dikacangi” oleh teknologi [dan kepentingan pemodal].
Saran saya, alanglah lebih baik kalau benar-benar mengasah diri di panggung dan tampil secara live. Akan ada seleksi alam, mana yang berkualitas dan mana yang busuk. Kalau targetnya jadi “artis” karena sudah muncul di televise, lypsinc ya monggo-monggo saja. Tapi kalau targetnya adalah musiknya bisa jadi anthem yang cukup lama, lypsinc harus ditolak!
Acara musik di layar kaca memang “menggelikan” karena selalu menampikan kelucuan-kelucuan yang kadang tidak lucu. Menjual host ketimbang benar-benar berorientasi pada sisi musical artis yang tampil.Kalau saya sih memilih mematikan televisi dan pindah channel, sebelum saya tertipu lebih banyak.
#sudah diupload juga di blog pribadi: airputihku.wordpress.com