Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

Biarkan Baduy Bicara: Pulang

16 November 2009   14:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:19 348 0
[caption id="attachment_22005" align="alignleft" width="300" caption="salah seorang temanku penasaran mencari sinyal seluler. kadang agak sulit menerima sinyal di pedalaman baduy"][/caption] Kini saatnya kami berkemas untuk pulang. Setelah pamitan dengan Ayah Mursyid dan warga Baduy yang sedang berkumpul dengannya, kami meninggalkan kawasan Cibeo. Ayah Aja tetap mengantar kepulangan kami. Masih banyak hal yang belum selesai kubicarakan dengan Ayah Mursyid. Insya Allah, suatu saat nanti aku bisa kembali ke sini. Setelah mendaki bukit pertama, aku merasa lelah sekali. Seolah-olah tenagaku habis. Kaki kirikupun tiba-tiba terasa nyeri. Luka di sekitar lutut saat kecelakaan dua malam yang lalu kembali menyiksaku. Kami baru saja mendaki, belum menuruni bukit yang paling tinggi ini. Tatox juga demikian. Ia merasa semangat untuk pulang hilang sekejap. Padahal kami masih harus melintasi sekitar 6 bukit lagi. Terbayang betapa beratnya track yang akan kami lalui kembali. Hali dan Pacheko merasakan keletihan yang sama. Ipul jatuh tersungkur di depan Ayah Aja. Beberapa meter di depannya, aku merebahkan badan. Terlentang memandangi langit dan gumpalan awan. Dalam hati aku berdoa, "Ya Allah, mengapa kami menjadi lemah? Mengapa kaki kiriku menjadi sangat nyeri sehingga sulit dipakai untuk berjalan? Tolong kuatkan dan selamatkan kami. Please, ya Allah!" Aku, Tatox, Pacheko, Hali, dan Ipul masih di puncak bukit pertama dari Cibeo, atau ketujuh dari Ciboleger. Sedangkan Oetjoep, Aman, Iwan, dan Firdaus sudah menuruni bukit ini. Mereka terlihat jauh sekitar satu kilometer di bawah kami. Ayah Aja menatapku. Aku bercanda menyapanya, "di sini tak ada jalan tol atau kereta gantung, Ayah?" Yang ditanya hanya tersenyum. Lalu kuperhatikan Ayah Aja memandangi awan dan perbukitan. Tangannya seperti menghitung jumlah awan dan bukit-bukit yang harus kami lalui. Dia diam sejenak... lalu berkata, "kita lewat kiri saja. Tolong panggil teman-temanmu di bawah sana!" Aku dan Ipul segera berdiri, berteriak memanggil teman-teman yang sudah jauh di bawah. Salah satu dari mereka tak percaya jika harus kembali. Bahkan sebagian dari mereka seperti tak rela kembali menapaki bukit terjal yang sudah susah payah dilaluinya. Aku berteriak, "Kita akan melewati track berbeda! Track yang lebih mudah dan cepat untuk sampai di Ciboleger!!!" Oetjoep mengancam, jika omongan saya tidak benar, ia tidak akan rela dunia akhirat. Lalu ia meminta yang lainnya agar mengikutinya kembali berkumpul bersama kami, mengikuti arah baru yang ditentukan Ayah Aja. Sesampainya mereka di atas, aku mencoba memberi pengertian kepada mereka yang kembali. Terutama kepada Oetjoep yang sempat mengancam andai aku hanya bercanda memanggilnya untuk kembali. "Sebagian dari kita sudah kehabisan tenaga untuk menapaki track yang sudah kita lewati tadi pagi. Membayangkan track itu, semangat kita pasti berkurang. Tapi Ayah Aja mengerti apa yang kita rasakan. Ia lebih mengetahui wilayah ini. Percayalah, tak mungkin ia menyulitkan perjalanan pulang kita. Jika ia mau, ia bisa saja istirahat di rumahnya tadi. Tapi kamu lihat sendiri, ia tetap menemani kita hingga kini." Oetjoep menerima penjelasanku. Ia kembali ceria dan memompakan semangat baru kepada yang lainnya. Ayah Aja memimpin barisan paling depan. Diikuti Ipul, dan teman-teman lainnya berturut-turut. Aku berada paling belakang. Tetap melangkah sambil merasakan nyeri yang tak tertahankan. Kulepaskan sepatuku yang basah karena melintasi sungai ketika berangkat. Sepatu itu menambah berat langkah kakiku yang makin terasa nyeri. Kugantungkan saja sepatu itu di pundakku. Ayah Aja benar. track kami kali ini cukup mudah. Tidak ada jalur yang mendaki. Terus lurus. Jikapun ada turunan, tidaklah curam. Cukup landai dan mudah dijejaki. Oetjoep, Aman, dan Firdaus senang menikmati track baru ini. Mereka bahkan sempat meneriaki sekelompok tamu lain yang juga berjalan pulang. Ketika kami masih di track lama, sekelompok tamu itu sudah jauh tiga bukit di depan kami. Oetjoep berteriak kepada mereka, "kita akan ketemu di Ciboleger! Lihat saja, pasti kami bakal sampai lebih dulu daripada kalian!" Teman-temanku yang lain tertawa melihat ulahnya. Kehadirannya memang selalu menjadi penyemangat dan pencipta suasana ceria dalam perjalanan ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun