Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Biarkan Baduy Bicara : Baduy Dalam, Kami Datang!

12 November 2009   05:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:22 1387 0
[caption id="attachment_21969" align="alignleft" width="233" caption="batu berpahat peta menuju baduy dalam "][/caption] Pagi ini cerah sekali. Matahari memancarkan universe energy-nya bagi kehidupan. Akupun merasakan energi matahari yang menambah semangat perjalanan ini. Pak Asep memandu kami hanya sampai bertemu dengan Jaro Dainah, Kepala Desa di Baduy Luar. Siapapun yang ingin masuk ke Baduy Dalam, harus melalui Jaro Dainah, meminta ijin dan menulis buku tamu. Di gerbang Baduy, kami memperhatikan peta jalur menuju Baduy Dalam, Cibeo yang menjadi target kami. Karena Ayah Mursyid, Wakil Wakil Jaro Tangtu, menetap di sana. Kami belum berencana untuk ke Cikeusik dan Cikertawarna, dua kampung yang juga bagian dari Baduy Dalam. Pak Asep menjelaskan peta yang terbuat dari batu marmer yang dipahat itu. Cibeo bisa ditempuh melalui jalur Barat yang cukup panjang, jalur Timur yang lebih panjang, dan jalur tengah yang lebih dekat. Aku mewakili teman-teman untuk memilih jalur tengah, karena di peta hanya berupa garis lurus yang cukup pendek dibandingkan dengan dua jalur yang sudah dijelaskan sebelumnya. "Itu jalur yang tepat untuk kali ini, mengingat keterbatasan waktu kalian yang berencana tidak bermalam di Cibeo." Pak Asep menjelaskan, "Jalur tersebut akan melintasi tujuh bukit. Dan ada satu bukit yang paling tinggi, sekitar 600 M dari atas permukaan laut." "7 bukit?" kami terkejut. "Untuk garis sependek ini 7 bukit?" kata salah seorang temanku yang tak pernah membayangkan sebelumnya kalau ia akan berhadapan dengan medan seperti dijelaskan pak Asep. "Kita pasti sampai! Semangat kita lebih besar, bahkan lebih tinggi dari 7 bukit itu!" ucapku menyemangati teman-temanku. Kamipun menemui Jaro Dainah di kediamannya, sebuah rumah Baduy Luar yang khas. [caption id="attachment_21971" align="alignleft" width="138" caption="jaro dainah, kepala adat baduy luar"][/caption] Jaro Dainah menerima kami dengan keramahannya. Iapun mendoakan, kami akan sampai dalam waktu tidak lebih dari 2 jam. Sepertinya tak mungkin. Sebab menurut Ipul dan Oetjoep, yang pernah beberapa kali ke Cibeo, mereka menempuh jalur tengah dalam waktu 4-5 jam. Tapi aku enggan memprediksi, yang penting adalah : MEMULAI PERJALANAN INI! Namun, doa Jaro Dainah sesungguhnya memompa semangat bagi teman-temanku. Mereka yakin akan sampai dalam waktu yang telah dinyatakan Jaro Dainah. Keyakinan mereka menambah semangatku, yang sebenarnya masih dalam kondisi, kaki kiriku nyeri lantaran tabrakan motor pada 2 malam sebelumnya. Tepat puku 08.15 WIB kami meninggalkan rumah Jaro Dainah menelusuri pemukiman Baduy paling Luar di Ciboleger ini. Terlihat sebuah keluarga Baduy sedang berkumpul di depan rumahnya. Mereka memperhatikan kami dengan senyuman. Ada juga seorang perempuan yang sedang menenun sarung khas Baduy Luar. Walaupun bersedia di foto, perempuan itu kelihatan terseyum malu saat Tatox menjepretnya dengan Nikon D60. [caption id="attachment_21972" align="alignleft" width="209" caption="penenun kain baduy"][/caption] Lumbung padi khas Baduy menjadi perhatian kami. Di lumbung itu, padi Baduy dapat bertahan lebih dari 6 bulan tanpa rusak dan diganggu tikus. Rahasianya baru aku dapat saat berdialog dengan Ayah Mursyid di Cibeo. Nanti saja kuceritakan! Menelusuri hutan yang masih basah karena hujan semalam, membuat kami harus berjalan dengan hati-hati. Perlahan dan tetap yakin kaki ini menjejak tanah dan bebatuan yang licin, agar tidak tergelincir. Kini track mulai mendaki. Pacheko, temanku yang sebelumnya mengira akan melintasi jalan yang mendatar bertanya kepada Ipul, yang berjalan paling depan, "Ini bukit pertama, kan?!" Yang ditanya menjelaskan, "Ini belum dihitung sebagai bukit pertama. Perhitungan mulai dilakukan kalau kita sudah melewati Situ Dangdang, sebuah telaga yang indah." Pacheko menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan ia protes, kenapa bukit yang cukup terjal dan licin ini belum dihitung sebagai bukit pertama dari 7 bukit yang diinformasikan. Teman-teman yang lain tertawa. Suasana ini membuat kami tetap gembira. Seberat apapun track yang kita lintasi, jika kita bisa menciptakan suasana yang akrab dan gembira, tidak akan terlalu lelah. Demikian sebaliknya, sebuah jalan yang pendek dan datar, jika kita lalui dengan ketidakakraban dan saling bersitegang, akan menjadi tidak menyenangkan. Di perjalanan kami berpapasan dengan warga Baduy yang akan turun ke Ciboleger. Mereka menyapa kami dengan senyuman. Beberapa orang menanyakan daerah tujuan kami. Setelah kami sebutkan nama Cibeo, mereka membalas dalam bahasa sunda yang artinya, "terus saja, masih jauh!". Deg! Tapi aku senang dengan jawaban mereka yang apa adanya. Biasanya kalau aku melakukan perjalanan di sebuah kampung, orang-orang yang ditanya selalu bilang, "dekat!". Mungkin tujuan mereka agar kita tetap melanjutkan perjalanan karena merasa sebentar lagi sampai. Tapi aku lebih suka blak-blakan, bicara apa adanya. Seperti orang Baduy yang kutemui dalam persliweran jalan ini. Mereka bilang "terus saja, masih jauh!" itu membuatku tetap pada tekad untuk menyelesaikan challenge. [caption id="attachment_21974" align="alignleft" width="300" caption="warga baduy berpapasan"][/caption] Kami juga berpapasan dengan seorang ibu yang menggendong anak bayinya. Ditemani oleh dua anak perempuannya yang berusia sekitar 9 dan belasan tahun. Mereka menempuh jalur berkilo-kilo meter untuk sampai ke Ciboleger. Tak terbayangkan betapa berat beban gendongan ibu itu. Dan betapa kuat anak perempuan berumur sekitar 9 tahun itu. Sosok mereka memberikan semangat baru buat kami yang belum sampai pada bukit pertama tapi sudah merasa lelah. Tatox asyik memainkan kameranya. Pacheko sibuk dengan handuk yang dipakai untuk mengelap keringat di keningnya. Hali menikmati hijaunya hutan ini. Aman mengoper botol air minum untuk teman-temannya. Oetjoep tak henti-hentinya membuat cerita segar dan lucu agar kami tetap gembira. Iwan menimpalinya dengan tertawa. Daus "Anduk" rela dan tertawa menjadi bulan-bulanan Oetjoep yang menyamakannya dengan Budi Anduk, pemain di serial Tawa Sutra. Aku sendiri larut dalam keakraban dan kegembiraan yang mereka ciptakan, sambil sesekali menggantikan Tatox mengabadikan obyek yang indah. Ipul yang berjalan paling depan berteriak, "Ayah Aja!!!" Siapakah dia? [caption id="attachment_21978" align="alignleft" width="300" caption="bertemu dengan ayah aja, warga baduy dalam"][/caption] Ayah Aja yang dimaksud Ipul adalah salah seorang warga Cibeo yang sudah dikenalnya. Orang tua yang kurus, berkulit bersih dan selalu tersenyum itu sedang berjalan menuju kelompok kami. Ipul bersalaman dan memeluknya. Satu persatu, kami mengikuti apa yang Ipul lakukan terhadap orang yang memancarkan kharisma. Ayah Aja hanya berkata, mau jalan-jalan saja ke Ciboleger. Aku menatapnya serius. Berpikir, apakah benar ia hanya ingin jalan-jalan saja. Kalau memang benar, kenapa ia tak melanjutkan perjalanannya? Kenapa ia justru kembali dan menemani perjalanan kami? Setelah melewati Situ Dangdang. Aku mulai merapatkan jalanku di sebelah Ayah Aja. Ia selalu tersenyum membalas pandanganku. Beberapa kali aku memperhatikannya. Iapun akhirnya berkata, "memastikan tamu Ayah Mursyid datang dan pulang dengan selamat!" hm... aku teringat dengan pernyataan pak Asep dan Abah tadi malam. "Insya Allah, biasanya Ayah Mursyid sudah bisa merasakan apa yang kamu inginkan. Insya Allah besok ia bisa menerimamu." [caption id="attachment_21981" align="alignleft" width="300" caption="berpose di situ dandang"][/caption] Apakah ini sekedar kebetulan? Apakah aku harus mempercayai pernyataan pak Asep semalam? Apakah Ayah Mursyid sudah mengetahui rencana kehadiran kami? Kuserahkan pada Tuhan sajalah. Sebab aku tak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apalagi untuk menerka kewaskitaan seseorang. Yang penting bagiku kini adalah, perjalanan kami dipandu oleh orang tua yang tepat. Yang membersihkan potongan batang dan ranting yang bisa saja membuat kami tergelincir, yang membuatkan tongkat dari pohon mati buat Hali yang sudah jatuh dua kali, yang memberi tahu lokasi mata air di perjalanan saat kami kehabisan bekal minuman, dan banyak lagi pertolongan Ayah Aja yang kami terima. Keberadaan Ayah Aja dalam perjalanan kami sangat mempengaruhi semangat teman-teman. Kuperhatikan sosoknya kurus tapi tegap. Kakinya, walau rada pengkor tapi jangkauan langkahnya lebih panjang dibanding langkahku. Sesekali ia memperhatikan gumpalan awan dan arah angin yang menggetarkan dedaunan. Sosok tua itu memang sudah berusia tua. Ketika kutanya usianya, ia hanya menjawab, waktu Indonesia merdeka, usianya sudah 2 tahun. Berarti ia lahir sekitar tahun 1943. Dan kini usianya sudah 65 tahun. Tapi ia masih kelihatan sehat dan kuat. Mungkin pola makan dan gaya hidup membuatnya bisa bertahan dengan energi yang melebihi keenerjikan kami.  Tatox meminta ijin untuk memotretnya untuk melengkapi kebutuhanku. Ayah Aja tak keberatan dan mempersilahkan Tatox memotretnya. Sampai di sini, aku melihat kenyataan bahwa, perkataan orang-orang bahwa "orang baduy anti difoto" itu tidak sepenuhnya benar. Mereka mau saja difoto, asalkan kita minta dan mereka tak keberatan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun