Versi Indonesia untuk NQF yang disebut sebagai Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) disahkan melalui Peraturan Presiden (PP) nomor 8 tahun 2012. Tampaknya proses legal drafting PP ini cukup lama, sebab di akhir tahun 2010, website Direktorat Pendidikan Tinggi telah mengabarkan bahwa KKNI (saat itu) telah siap. Tulisan ini ingin membangun argumen bahwa kalau tim ahli atau apapun namanya yang menyusun KKNI membaca jurnal tersebut atau versi asli laporan Stephanie Allais untuk ILO (the International Labor organization) yang muncul sebelumnya, mungkin pengembangan KKNI akan lebih realistis.
Buku ini menegaskan bahwa lebih dari 138 negara telah terlibat atau telah ikut-ikutan mengembangkan NQF. Dibeberapa bagian dari buku, istilah policy borrowing (kebijakan yang merupakan hasil meng-copy begitu saja dari Negara lain) serta globalisasi adalah diantara faktor yang menyebabkan NQF banyak ditemui di berbagai belahan planet ini. Baik negara maju terutama Eropa, tempat pertama kebijakan ini muncul, serta negara-negara berkembang lain. Afrika Selatan, Malaysia, Mauritania, Botswana, Bangladesh adalah beberapa contoh dari perwakilan Negara berkembang.
NQF versi Indonesia yang diatur dalam PP No 8 2012 merinci tujuan KKNI sebagai berikut:
“…kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.”
Misi KKNI yang diimpikan oleh penyusun dan pengembangnya adalah sebagaimana kutipan di atas. Kutipan di atas itu sendiri adalah foto-copy dari hampir semua versi NQF di seluruh dunia. Isi buku ini, yang disusun atas evaluasi implementasi NQF di enam benua, adalah menolak semua “janji palsu” NQF dan sebaliknya menekankan bahwa kebijakan dasar lain yang terkait dengan dunia pendidikan serta regulasi ketenagakerjaan yang mengikat industry adalah kunci suksesnya. Contoh yang paling mudah dilihat dari Indonesia adalah Singapura. Singapura dianggap berhasil dalam implementasi NQF karena mutu pendidikan, mutu workshop (fasilitas praktik), mutu guru dan sistem penjaminan mutu telah mendekati ideal. Sehingga ketika NQF masuk sebagai framework bersama agar kualifikasi hasil pendidikan dan jenjang kebutuhan dunia kerja bisa disejajarkan dan dibandingkan secara transparan, Singapura tidak mengalami drama yang mengharukan. Sementara kegagalan negara lain, dan mungkin nasib yang sama akan dan sedang dialami Indonesia adalah karena dunia pendidikan masih sangat jauh dari “standar”. Ketika ketimpangan desa-kota, swasta-negeri, Jawa-Luar Jawa, serta ketimpangan mutu, sarana-prasarana serta sifat instan dan superfisial dari proyek-proyek pendidikan masih seperti yang sekarang maka KKNI hanya akan menjadi penghibur saat berkunjung atau dikunjungi Negara lain bahwa Indonesia juga punya NQF kok.
Bagi Indonesia, chapter 14 dari buku ini adalah bagian yang paling relevan. Chapter ini,yang didasarkan atas studi kelayakan pengembangan NQF di India, atas izin Bank Dunia dibolehkan untuk menjadi rujukan bagi negara “berkembang lain”. India adalah Negara yang lebih mirip situasi pendidikannya serta great diversity diberbagai aspeknya dengan Indonesia, sehingga lebih masuk akal untuk dibandingkan, daripada misalnya dengan Singapura, Inggris atau Australia. Bagian ini menggarisbawahi bahwa NQF akan berjalan sesuai mimpi nya jika pembenahan dunia pendidikan, penyediaan pendidikan yang bermutu dikerjakan secara serius. Bagian ini pula menyebutkan prasyarat penting bahwa dunia pendidikan dan dunia kerja wajib dalam koordinasi yang sinergi yang ideal. NQF hanya akan berjalan kalau dunia gelap industry dan dunia pendidikan mau duduk bersama, diskusi dari hati-ke hati demi masa depan dalam tempo yang substansial dan tidak hanya secara instan dan sekedar formalitas. Di samping hutan belantara dunia pendidikan, the untouchable dunia industry adalah sektor yang paling menakutkan untuk mau diatur. Dalam konteks ini pemerintah (baca: Presiden) yang kuat dan konsisten niatnya untuk menjembatani dua dunia (pendidikan vs industry) adalah yang sangat diperlukan.
Aspek lain adalah, KKNI dengan sangat jelas menyatakan bahwa kebijakan ini adalah untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah no 31 tahun 2006 tentang sistem pelatihan kerja nasional (Silatkernas), sementara itu, sependek bacaan penulis, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri tidak tertarik untuk merujuknya, atau merasa tidak ikut-ikutan dengan Silatkernas. Lihat misalnya kebijakan yang terkait dengan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), sektor pendidikan yang paling relevan dengan Silatkernas dan juga KKNI.
Buku ini, serta tulisan David Raffe yang lebih baru (2013) dari versi tulisan dia yang pertama di tahun 2011, ingin menegaskan bahwa janji manis NQF susah diukur efektifitasnya dan sudah ditemukan kisah suksesnya kecuali hanya untuk beberapa Negara saja.
Buku seharga AUD$148.23 atau setara 1,6 juta rupiah ini terlalu murah untuk anggaran proyek Tim Kebijakan KKNI atau anggarannya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sekaligus Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang merupakah departemen teknis paling bertanggungjawab terhadap PP 8 2012 tentang KKNI. Sementara isinya sangat cocok untuk kelangsungan kebijakan KKNI. Kecuali kalau kebijakan ini diniatkan untuk layu sebelum berkembang atau sekedar pantes-pantesan. Wallahu a’lam.
NB: Agar bisa memahami secara meyeluruh, silahkan baca sendiri buku tersebut. Resensi ini mungkin telah mereduksi banyak hal dari seluruh pesan buku tersebut.