Hukuman mati menurut penulis adalah hukuman yang hanya dimiliki oleh Tuhan sebagai pencipta (khalik) untuk mematikan makhluknya. Atas dasar arti itu, hukuman mati dalam sistem hukum positif hanyalah merupakan peningkaran nilai-nilai kemanusiaan, terutama hak untuk hidup dan hak untuk merdeka. Indonesia termasuk negara yang masih mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukum positifnya.
Sebagaimana, hukuman mati dimaktubkan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan di luar KUHP . Di dalam KUHP hukuman mati diatur pada Pasal 10, yang memuat dua macam bentuk hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan.
Hukuman mati di luar KUHP diatur di dalam UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika, UU No.5 tahun 1997 tentang psikotropika, UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia. Dari penegakan hukuman mati tersebut, hanya akan mereproduksi pembunuhan keji terhadap manusia yang lain dengan dendam dan nilai-nilai kebinatangan.
Karenanya, menurut penulis, tak ada makna yang dapat diambil dari penegakkan hukuman mati, kecuali penghormatan nilai-nilai kebinatangan dan penghancuran nilai-nilai kemanusiaan. Penolakan Dubes itu merefleksikan bahwa penegakkan hukuman mati telah melukai hubungan diplomatik antar-negara, seperti Indonesia dan Australia yang disesalkan oleh PM Tony Abbot.
Jika penegakkan itu diteruskan, maka tak hanya melukai hubungan diplomatik, malahan akan menimbulkan ajakan perang baru antar-negara. Perang baru itu sebagaimana Indonesia mengajak warganya untuk berperang terhadap narkoba itu sendiri. Semoga penegakkan hukum di negara hukum ini yang didasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab tidak melukai apalagi menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Stop hukuman mati!