Rumpun Fisika (dulu Jurusan Fisika) Universitas Negeri Semarang (UNNES) dan Himpunan Mahasiswa (Hima) Fisika, Selasa lalu (17/10/2023) melakukan Vote for Dosen Favorit di Rumpun Fisika (membawahi Prodi Sarjana Fisika dan Prodi Sarjana Pendidikan Fisika). Ada temuan menarik, ternyata preferensi mahasiswa (dari sekitar 377 voter) untuk memilih dosen favorit pada dasarnya didasarkan pada 2 (dua) hal yang mereka rasakan, yaitu: proses pembelajaran yang menyenangkan dan memahamkan mereka, dan aspek humanisme serta kerendahan hati dalam berinteraksi dan melayani mahasiswa. Jika ditarik lebih substansial, dua aspek ini menjadi aspek penting dalam proses interaksi seorang guru atau pendidik dengan siswanya. Permendikbudristek No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Pasal 14 ayat 1(a) juga mengamanatkan bahwa proses pembelajaran mestinya berlangsung menyenangkan dan efektif. Menyenangkan dapat diartikan bahwa proses pembelajaran menjadikan hati senang dan tidak memberikan beban bagi pebelajar. Efektif dapat diartikan menimbulkan efek/akibat, manjur, dan berhasil. Dalam konteks pembelajaran, pembelajaran yang efektif bisa diartikan bahwa pembelajaran tersebut berhasil mencapai tujuan yang ditargetkan. Secara praktis, salah satu penciri dari pembelajaran efektif yang bisa dirasakan oleh mahasiswa adalah pembelajaran tersebut berhasil membuat mereka yang semula tidak faham menjadi faham, dari yang mereka tidak tahu menjadi tahu, dan itulah arti dasar dari belajar.
Dalam vote tersebut, aspek humanisme dan kerendahan hati dalam memberikan pelayanan menjadi hal penting yang dinilai oleh mahasiswa. Hal ini bisa difahami karena diakui atau tidak, aktivitas perkuliahan di kampus sekarang ini dengan segala kegiatan ikutannya dipandang oleh mahasiswa layaknya layanan aktivitas interaksi antara  "produsen-konsumen". Kampus dilihat sebagai "produsen" yang tidak hanya "menjual" produk berupa ilmu pengetahuan, namun juga harus "menjual" dengan layanan yang baik, senyuman yang membuat "pembeli" merasa "dimanusiakan" sehingga dia akan berkeinginan untuk "membeli" lagi di tempat tersebut. Itulah hakikat dunia layanan, dunia servis. Seorang pedagang yang mungkin kualitas barang dagangannya lebih murah dan lebih bagus bisa jadi dia tidak akan banyak mendapatkan pembeli ketika sang pedagang tidak memberikan layanan yang baik kepada para pelanggannya. Prasodjo (2017) menyatakan paradigma dalam layanan publik dewasa ini mestinya diarahkan ke layanan yang humanis, artinya layanan yang mempertimbangkan sisi kemanusiaan pelanggan sebagai "penikmat" layananan tersebut. Bahwa mereka sebagai manusia perlu difahami dan diperlakukan dengan pendekatan yang lebih etik dan estetik.Â
KEMBALI KE ARTIKEL