Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

"Nama" dalam Tradisi Masyarakat Jawa

31 Mei 2023   20:02 Diperbarui: 31 Mei 2023   20:06 771 0
Nama saya Mustopa. Dahulu Nenek saya yang memberikan nama itu. Konon, nama tersebut ia berikan karena saya lahir pada bulan Ramadhan. Ia pun kemudian memberi nama yang berbau Islami. Secara bahasa, nama Mustopa berasal dari bahasa Arab "Mustofa". Nama tersebut ia berikan karena kemungkinan sering terdengar pada saat pembacaan doa-doa saat kenduri, pengajian, atau kesempatan-kesempatan kegiatan keagamaan lainnya.

Dalam bahasa Arab, arti nama saya adalah "orang yang terpilih". Namun mengenai arti nama tersebut saya tak begitu yakin jika Nenek mengetahuinya. Sebab, Ia merupakan Islam Jawa (Islam Kejawen/Islam Abangan) yang tak pandai mengaji seperti halnya para santri. Akan tetapi saya punya keyakinan Ia memberikan nama itu agar cucunya menjadi orang yang baik. Hal itu seperti kata-kata bijak yang mengatakan bahwa nama adalah doa.

Bagi masyarakat Jawa, nama merupakan sesuatu yang sakral. Pemberian nama harus diiringi dengan tradisi wilujengan (selamatan). Di daerah saya pemberian nama dilakukan beberapa hari setelah kelahiran setelah puput (tali pusar telah putus sepenuhnya). Kemudian wilujengan untuk memberikan nama tersebut biasanya bersamaan dengan kekerik dan puputan.

Kekerik merupakan tradisi pemotongan rambut untuk yang pertama kali. Tradisi ini dilakukan pada waktu malam hari setelah puput. Pada waktu tersebut pemotongan rambut dilakukan oleh para lelaki sepuh dengan diiringi bacaan sholawat Al-Barzanji. Sedangkan puputan merupakan wilujengan putusnya tali pusar tersebut.

Sebelum tradisi tersebut dilakukan maka bayi tersebut tidak boleh dipanggil dengan namanya, meski telah disiapkan. Setelah tradisi tersebut, biasanya dalam jangka waktu tertentu juga akan dibuatkan wilujengan. Lantas jika berniat untuk berganti nama maka akan mengadakan wilujengan kembali.

Saat ini nama-nama anak Jawa sangat bervariasi dan belum tentu mengandung kata yang berasal dari bahasa Jawa. Sebab dalam tradisi pemberian nama dalam masyarakat Jawa tidak ada ketentuan khusus yang mewajibkan harus nama tersebut berasal dari bahasa Jawa. Namun pemberian nama pun tidak boleh asal-asalan, meski pada zaman dahulu banyak nama yang jika dinilai saat ini terlihat asal-asalan.

Pemberian nama yang terlihat asal-asalan tersebut khususnya terjadi pada zaman ketika masyarakat Jawa masih menganut kelas-kelas sosial dan tingkat pendidikan masih rendah. Masyarakat yang miskin dan berpendidikan rendah waktu itu tidak mampu mencari nama yang baik. Sebab untuk mendapatkan nama yang baik mereka pun harus bertanya kepada seseorang yang dianggap mampu. Sedangkan untuk mendatangi orang tersebut mereka harus mengeluarkan biaya.

Pada akhirnya, keluarga-keluarga miskin tersebut memberikan nama sesuai dengan sesuatu yang akrab dengan mereka. Ada yang memberikan nama berdasarkan hari kelahiran --baik saptawara (hari 7) maupun pancawara (hari 5)--. Sebagai contoh adalah Senen, Rebo, Kemis, Kliwon, Pon, dan seterusnya. Selain menggunakan nama hari, ada juga yang menggunakan nama benda atau kondisi tertentu seperti Cowek (alat untuk menumbuk di dapur), Paeno (upahe nono/tidak memiliki upah), Suker (kotor), Slamet (selamat), dan sebagainya.

Selain dari segi ekonomi, ada juga mitos yang menyatakan bahwa terkadang sebuah nama akan memberatkan kehidupan si anak tersebut. Nama-nama itu merupakan nama yang memiliki arti luar biasa sedangkan yang diberi nama merupakan orang kecil. Selain arti dari nama tersebut, kadang panjang nama pun diperhatikan.

Sebagai contoh nama yang memberatkan itu adalah nama sepupu saya "Dwi Muhzayi". Konon nama tersebut memberatkan bagi sepupu saya. Lantas ketika ia kecil pun sakit-sakitan. Berobat kemanapun tidak sembuh, jika sembuh maka akan berganti dengan penyakit yang lainnya. Pada akhirnya ia pun diganti namanya agar mendapatkan kesehatan dan keselamatan dalam kehidupan.

Seiring dengan perkembangan zaman, mitos yang saya sebutkan diatas memang telah memudar. Kini banyak anak-anak Jawa yang memiliki nama yang panjang dan memiliki makna yang sangat baik. Namun begitu, perihal wilujengan pemberian nama tersebut masih dilakukan oleh masyarakat meski dalam bentuk yang berbeda-beda.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun