Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bahasa Artikel Utama

Istilah-istilah yang Kurang Tepat

15 Maret 2015   14:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:38 745 0
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu. Sayangnya belakangan ini banyak terdapat istilah yang (menurut saya) kurang tepat –saya ulangi, kurang tepat- arti atau pengertiannya.

Beberapa istilah yang kurang tepat pengertiannya, antara lain :

Mengejar ketertinggalan

Banyak kalangan mengartikan istilah ‘mengejar ketertinggalan’ ini dengan usaha yang dilakukan supaya tidak tertinggal atau ketinggalan. Saya contohkan seperti ini. Dalam pertandingan sepakbola antara kesebelasan Indonesia melawan Vietnam, skor sementara 2-1 untuk kesebelasan Vietnam. Maka sang komentator akan mengatakan,

“Pemain-pemain Indonesia masih terus berjuang untuk mengejar ketertinggalannya.”

Atau pada pidato-pidato kampanye para caleg atau para motivator.

“Kita harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan kita dari bangsa lain.”

Sudah sering kita mendengar kedua kalimat seperti di atas dan sepertinya tidak ada yang janggal atau aneh. Sekarang coba perhatikan dua kalimat berikut.

“Adik berlari mengejar layang-layang.”

“Warga beramai-ramai mengejar pencuri.”

Pada kalimat pertama, jika adik berhasil mengejar layang-layang, maka dia akan mendapatkan layang-layang tersebut. Sedang pada kalimat kedua, jika warga berhasil mengejar pencuri, maka mereka akan menangkap pencuri tersebut. Kedudukan ‘mengejar ketertinggalan’ sebetulnya sama dengan ‘mengejar layang-layang’ dan ‘mengejar pencuri’. Jika kita berhasil ‘mengejar ketertingggalan’, maka kita akan mendapatkan/meraih ‘ketertinggalan’ itu.

Sekarang, apa ‘ketertinggalan’ itu ? Menurut KBBI, ketertinggalan (kt. benda) : keadaan tertinggal, tercecer. Jadi setelah kita berusaha dengan susah payah dan bekerja keras mengejar yang kita dapatkan justru ‘keadaan tertinggal atau tercecer’.

Coba balik kalimat di atas menjadi kalimat pasif.

“Layang-layang di kejar Adik.”

“Pencuri dikejar warga.”

“Ketertinggalan dikejar pemain Indonesia.”

Ketertinggalan kok dikejar, buat apa ?! Mengapa tidak mengejar keberhasilan ?

Pemekaran wilayah

Coba simak baik-baik kalimat yang terdapat di dalam situs Pemkab Merauke ini (http://www.merauke.go.id/portal/news/view/7/geografis.html). Ini contoh yang tepat untuk menggambarkan betapa ‘janggalnya’ istilah ‘pemekaran wilayah’.

“Sebelum pemekaran Kabupaten Merauke memiliki luas wilayah 119.749 km2 (29% dari luas wilayah Propinsi Papua). Setelah pemekaran, Kabupaten Merauke saat ini memiliki luas wilayah 46.791 km2, membawahi 20 distrik, 8 kelurahan dan 160 kampung.”

Bayangkan, sebelum mengalami pemekaran wilayah luas Kabupaten Merauke adalah 119.749 km2 (hampir seluas Propinsi Jawa Timur + Jawa Tengah + DIY Yogya+ Jawa Barat). Setelah mengalami pemekaran luas wilayahnya justru tinggal 46.791 km2 (hanya seluas Propinsi Jawa Timur).

Jika betul demikian, di mana letak pemekaran wilayahnya ? Bukan wilayahnya yang mengalami pemekaran tapi jumlah kabupatennya yang mengalami pemekaran. Yang sebelumnya hanya satu Kabupaten Merauke sekarang mekar menjadi empat kabupaten, yaitu : Kab. Merauke, Kab. Boven Digoel, Kab. Asmat dan Kab. Mappi. Sedang wilayah Kab. Merauke justru mengalami “pe-mêngkêrêt-an” alias penyusutan.

Pekerja Seks Komersial

Istilah Pekerja Seks Komersial (PSK) belakangan ini sering digunakan untuk menggantikan kata ‘pelacur’ atau ‘wanita tuna susila’ yang berkonotasi buruk dan hina. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan istilah PSK ini, karena sudah sangat tepat untuk menggambarkan profesi yang kebanyakan digeluti kaum wanita ini. Yang masih menjadi ganjalan bagi saya adalah pemakaian kata ‘komersial’ ini. Kata ‘komersial’ ini mempunyai pasangan yang kebetulan antonimnya, yaitu kata ‘non komersial’. Jika ada yang ‘komersial’ tentunya ada yang ‘non komersial’. Pertanyaannya adalah, adakah Pekerja Seks (yang) Non Komersial ? Ataukah hanya imajinasi saya saja yang berharap-harap ada Pekerja Seks Non Komersial ?

Yang berikut ini bukanlah istilah melainkan kalimat yang sudah sangat familiar bagi kita. Kalimat ini berupa pemberitahuan atau peringatan yang banyak ditempel di kantor-kantor atau rumah-rumah. Sering ditulis besar-besar atau bahkan sudah dibuat dalam bentuk sticker. Kalimat tersebut adalah,

“Maaf, tidak menerima sumbangan dalam bentuk apa pun”

Tulisan pemberitahuan ini ditujukan buat tamu-tamu yang berniat minta sumbangan untuk pembangunan tempat ibadah, panti asuhan, acara amal dan sebagainya. Permintaan sumbangan bisa dalam bentuk proposal atau jual buku, sticker dan sebagainya. Jadi dengan ditempelnya tulisan dengan kalimat seperti di atas, diharapkan siapa saja yang berniat meminta sumbangan sudah membatalkan niatnya sebelum masuk ke rumah atau kantor. Tetapi apa yang ditulis tidak sejalan dengan apa yang dimaksudkan.

Jika Anda menulis seperti kalimat di atas, jelas sekali bahwa Anda tidak menerima sumbangan alias menolak diberi sumbangan. Anda tidak mau disumbang dalam bentuk apa pun. Yang Anda tolak itu ‘kan permintaan (proposal) sumbangannya bukan sumbangannya. Betulkah Anda tidak menerima sumbangan ?Kalau saya sih, menerima sumbangan dalam bentuk apa pun dengan tangan terbuka. Bahkan kalau sumbangan itu dalam bentuk uang akan saya terima dengan dompet dan rekening terbuka.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun