Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Seri Mengenang Tokoh #3 : Teguh Karya

10 Desember 2012   16:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:52 2086 0

Teguh Karya lahir pada tanggal 22 September 1937 di Pandeglang, Jawa Barat. Salah satu sutradara film dan penulis skenario terbaik yang pernah dimiliki Indonesia ini memulai karir sebagai pemain sandiwara dan pemain film dengan nama Steve Lim Tjoan Hok. Pada tahun 1958 Teguh Karya bermain dalam film “Djendral Kantjil”, film “Mak Tjomblang” pada tahun 1960 dan film “Sembilan” pada tahun 1967.

Meski sudah mendapat pendidikan sekaligus praktek membuat film dari Perusahaan Film Negara (PFN) pada awal tahun 1960-an, Teguh Karya belum berniat untuk membuat film. Teguh Karya masih “setia” dengan dunia pertunjukan panggung atau teaternya, apalagi pada tahun 1968 dia mendirikan bengkel teater, Teater Populer. Dari Teater Populer inilah kemudian lahir aktor dan aktris handal yang sering menghiasi film-film Indonesia, seperti : Slamet Rahardjo, Tuti Indra Malaon, Niniek L. Karim, Christine Hakim, Hengky Solaiman, Dewi Matindas, Titi Qadarsih, Alex Komang dll.

Selama menggelar pertunjukan dengan Teater Populer, Teguh Karya dikenal sebagai orang yang perfeksionis. Selain mengarahkan akting para pemainnya, Teguh Karya juga menangani detail set panggung, make up, kostum serta manajemen pertunjukan secara menyeluruh. Sikap itu pula yang dia bawa ketika mulai menyutradarai film. Jika diperhatikan, para pemain dalam film-film Teguh Karya selalu berakting sewajar mungkin. Bahkan untuk menunjukkan akting sedang marah sang pemain tidak harus berteriak-teriak dengan kata-kata keras atau kasar, tapi cukup dengan ekspresi wajah. Atau cukup dengan intonasi suaranya.

Keakraban Teguh Karya dengan kelompok teaternya, menjadikannya begitu kental dengan dunia kesenian. Hingga akhirnya dia menganggap dunia teater memiliki keterbatasan dalam mengekpresikan idenya, maka dipilihlah film sebagai media baru. Tahun 1971, Teguh Karya membuat film pertamanya “Wajah Seorang Laki-Laki” dengan para pemain yang berasal dari kelompok teaternya. Secara bisnis, film pertamanya ini bisa dibilang gagal. Pun demikian secara artistik, karena kurang mendapat perhatian di Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1972. Namun demikian banyak yang menilai Teguh Karya mempunyai potensi menghasilkan film-film berkualitas.

Benar saja. Tahun-tahun berikutnya, Teguh Karya menghasilkan film-film yang merajai Festival Film Indonesia (FFI). Teguh Karya sendiri tercatat sebagai sutradara yang paling banyak memenangi Piala Citra, lambang supremasi dunia perfilman Indonesia. Tidak hanya di dalam negeri, beberapa filmnya juga mendapat penghargaan di luar negeri. Film “November 1828” (1978) dan “Doea Tanda Mata” (1984) adalah beberapa contoh dari betapa detailnya Teguh Karya dalam menggarap film-filmnya. Selain itu, film “Badai Pasti Berlalu” (1977) menjadi tonggak dalam sejarah perfilman Indonesia. Selain meraih Piala Amtenas sebagai film terlaris, lagu-lagu dalam soundtrack film yang diangkat dari novel karya MargaT ini juga laris manis bak kacang goreng. Bahkan mungkin jadi satu-satunya lagu soundtrack film yang paling sering didaur ulang.

Ketika perfilman Indonesia memasuki masa-masa suramnya, Teguh Karya mencoba berkarya di dunia televisi melalui sinetron. Meskipun sedikit berbeda media, Teguh Karya tetap menghasilkan sinetron yang berkualitas. Meski tak memenangkan penghargaan di Festival Sinetron Indonesia (FSI), sinetron-sinetron Teguh Karya selalu masuk sebagai nominasi yang terbaik.

Tahun 1998 Teguh Karya terserang stroke dan meninggal dunia 3 tahun kemudian, tepatnya tanggal 11 Desember 2001 di RS Mintoharjo, Jakarta. Dunia perfilman Indonesia berkabung atas kepergiannya. Atas ke’teguh’annya dalam ber’karya’, dia mendapatkan penghargaan Usmar Ismail dari Dewan Film Nasional pada tahun 1991.

Kata Mereka

Asrul Sani (Penulis)

“Semenjak semula, bagi Teguh Karya teater adalah sesuatu yang serius”

Slamet Rahardjo (Aktor, Sutradara)

“Teguh Karya adalah ‘suhu’. Dia menjadi semacam setrum magnet yang gelombang getarannya sanggup membuat anggota kelompoknyaterus merasa ‘demam berkesenian’. Dia adalah guru, sahabat sekaligus bapak. Kepadanya, anak didiknya tidak hanya belajar teater dan kesenian saja, tapi juga belajar tentang kehidupan agar bias tetap berdiri meski kesulitan dating bertubi-tubi.”

Christine Hakim (Aktris)

“Teguh Karya dalam karir saya sebagai pemain sungguh besar. Dialah yang pertama kali memperkenalkan saya dengan seni peran. Baru setelah itu Slamet Rahadjo turut berperan dalam pematangannya dan terakhir Eros Djarot membuka wawasan saya. Mereka bertiga itulah guru-guru saya. Bagi saya Teater Populer itu ibarat tanah yang subur. Sebagai bibit saya beruntung ditanam dan dipelihara di tanah yang subur itu. Kalau saya berada di tempat lain, pasti pertumbuhan saya akan berbeda. Lebih dari itu, Teguh Karya dan Teater Populerlah yang juga memperkenalkan kepada saya film as a knowledge. Bukan sebagai entertainment. Bahwa film juga sebuah dunia yang perlu dipelajari secara serius, perlu pendalaman.”

Alex Komang (Aktor)

"Setelah belajar cukup lama di sanggar saya merasa pendekatan yang dilakukan Pak Teguh terhadap anak didiknya mirip dengan suasana pesantren. Ada yang menarik dari cara ia mendidik. la mengurangi bentuk resmi belajar mengajar seperti yang kita kenal lewat pendidikan formal dalam kelas. la bersikap seperti seorang penggembala. Kepada anak didiknya Pak Teguh tidak memberi umpan tetapi ia mengajak sama-sama untuk kita bisa menangkap apa yang kita mau.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun