Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Uji Nyali : Gerak Jalan Mojokerto - Surabaya

5 November 2012   22:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:56 2188 0

Saya termasuk tipe orang yang kurang punya nyali, kurang berani mencoba sesuatu yang memicu adrenalin dan tentu saja kurang suka olah raga ekstrim yang membuat jantung berdebar. Olah raga saya paling cuma; badminton, ping-pong, bersepeda, jalan kaki dan jogging. Satu-satunya kegiatan uji nyali yang pernah saya lakukan (dan masih berkesan sampai sekarang) adalah gerak jalan. Kok gerak jalan ?

Tempat parkir Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS, Oktober 1990. Entah siapa yang punya ide, tapi begitu ide itu dilontarkan teman-teman sangat antusias dan begitu semangat menyambutnya. Ya, saya dan teman-teman bermaksud mengikuti acara tahunan setiap menjelang Hari Pahlawan, Gerak Jalan Mojokerto – Surabaya. Akhirnya terkumpul 25 orang yang menyatakan siap gabung. Dari 25 orang tersebut nantinya hanya 20 orang yang masuk regu inti dan 5 orang cadangan sekaligus merangkap “official” alias pembantu umum. Biaya selama kegiatan kita tanggung bersama secara patungan, sedang untuk seragam kami dapat bantuan dari pihak fakultas. Jadwal latihan yang sudah diatur tidak pernah terlaksana karena berbagi alasan. Alhasil, sampai hari keberangkatan belum pernah satu kali pun kami melakukan latihan dan persiapan. Sehingga formasi barisan pun kami belum tahu akan seperti apa.

Ketika hari pelaksanaan tiba, kami berangkat ke rumah salah seorang teman kami yang tinggal di Mojokerto. Di rumah yang kami jadikan posko ini kami siapkan logistik selama perjalanan. Entah dari mana informasinya, seorang teman menyarankan untuk menggosok telapak kaki dengan bawang merah sebanyak-banyaknya, supaya kulit tidak lecet dan kaos kaki tidak lengket di kaki. Mengingat belum ada pengalaman tentang hal itu, maka kami semua menuruti saja nasihat teman kami tersebut. Sekitar jam 14.00 WIB kami menuju tempat pemberangkatan, alun-alun Mojokerto. Setelah menemukan posisi start, kami baru menyusun formasi barisan, siapa di depan siapa di belakang dan siapa yang jadi komandan barisan. Mungkin peserta lain keheranan, ini sudah mau jalan kok masih bingung menentukan formasi barisan. Dasar bonek ! Sebagai komandan regu kami sepakat menunjuk teman kami yang juga anggota Resimen Mahasiswa (Menwa).

Setelah menunggu kurang lebih satu jam, akhirnya regu kami mendapat giliran “dikibari” bendera start. Kami melangkah dengan semangat. Belum sampai 5 km berjalan, regu kami sudah mendapat “teror”. Dari belakang terdengar teriakan,

“Minggir … minggir …!!”

Terlihat regu KOWAD sedang berjalan dengan tegap dan cepat. Seorang pria berseragam yang bertugas mengawal regu KOWAD ini berteriak-teriak kepada regu kami supaya memberi jalan kepada regu KOWAD. Wah, ini main tabrak saja tanpa menghiraukan aturan baris berbaris. Kami pun terpaksa minggir supaya regu KOWAD lewat dulu. Kembali dengan semangat 45 kami melanjutkan perjalanan sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Seorang kawan yang berasal dari Kupang, NTT, berkali-kali tanya,

“Pos I masih jauh ?”

Setiap kali dia menanyakan itu, kami selalu menjawab,

“Dah dekat.” Atau “Bentar lagi”.

Bukannya maksud kami membohongi sesama teman dalam satu regu. Kami hanya bermaksud dia tetap semangat, paling tidak supaya tidak minta ganti sebelum sampai Pos I di Krian.

Ketika stamina sudah mulai menurun, kaki sudah mulai pegel, teror mulai muncul dari para penonton sepanjang rute gerak jalan. Biasanya kalo ada regu yang tidak bersemangat, penonton pasti akan mengolok, “loyo, payah, jalannya ada yang gak kompak tuh, ikut ambulance aja, dll”. Kami diam saja karena memang betul-betul sudah kecapekan. Di saat situasi seperti itu kami disalip oleh regu FE UNAIR beberapa kilometer menjelang Pos I, Krian. Seorang teman yang merasa gregetan membakar semangat kami,

“Jancuk ! Mosok awake dhewe disalip UNAIR, rek ?! ITS iku lanangane Suroboyo, mosok kalah ambek wedokane Suroboyo ?!” (Jancuk ! Masak kita disalip UNAIR, rek ?! ITS itu lakinya Surabaya, masak kalah sama ceweknya Surabaya ?!)

Kalimat itu langsung membuat kami bersemangat lagi, terbukti tidak sampai setengah jam regu UNAIR sudah berhasil kami salip kembali. Akhirnya, menjelang sholat Isya kami sampai di Pos I Krian. Setelah melapor ke panitia, kami istrahat selama kurang lebih 30 menit.

Setelah dirasa cukup istirahat, kami melanjutkan perjalan menuju Pos II, Sepanjang. Di etape kedua ini terjadi pergantian beberapa anggota. Anggota yang sudah kecapekan diganti dengan anggota baru yang sudah menunggu di Pos I. Karena masih segar, maka kami berjalan sambil menyanyi untuk menyemangati diri sendiri juga untuk menghibur penonton yang masih berjubel di sepanjang rute gerak jalan. Kami pun menyanyi lagu Jawa, Suwe Ora Jamu .. yang seharusnya berlirik ;

Suwe ora jamu, jamu godhong telo …

Suwe ora ketemu, ketemu pisan gawe gelo … “

kami improvisasi dengan mengubah lirik lagu tersebut menjadi, …

Suwe ora ngono, ngono ora suwe …

Suwe ora ngono, ngono pisan ora suwe …”

Di etape II ini teror dari penonton masih berlanjut sama seperti di etape sebelumnya, cuma intensitasnya lebih tinggi. Maklum jumlah penonton lebih banyak sementara kondisi fisik kami juga sudah berkurang. Akhirnya, sekitar jam 22.30 WIB sampai juga kami di Pos II, Sepanjang.

Setelah beristirahat kurang lebih 30 menit, kami melanjutkan perjalanan menuju garis finish, Tugu Pahlawan, Surabaya. Meskipun sudah hampir tengah malam, tapi penonton tak beranjak di sepanjang rute gerak jalan. Kembali kami berjalan sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan diselingi dengan lagu andalan kami “Suwe Ora Ngono”. Teror penonton masih ada, tapi kami sudah lebih percaya diri, karena secara psikologis kami sudah merasa sudah dekat garis finish, sudah sampai rumah. Apalagi selain teror, mulai muncul dukungan yang menyemangati. Dari deretan penonton ada saja yang meneriakkan,

“Hidup ITS !”

Kami tidak ambil pusing siapa yang meneriakkan kata-kata tersebut, apakah teman satu jurusan atau bukan, adik angkatan atau kakak angkatan, yang pasti sama-sama ITS. Dan jika kami mendengar teriakan tersebut, kami selalu balas juga dengan teriakan,

“Arek ITS, cuk !”

Memasuki jl. Diponegoro, Surabaya, hujan dengan intensitas sedang mulai turun. Penoton sudah agak sepi, teror juga berkurang, kami juga tidak perlu nyanyi-nyanyi lagi. Tanpa hambatan, menjelang sholat Subuh akhirnya kami sampai juga di garis finish, Tugu Pahlawan, Surabaya. Kami langsung cari ruang kosong untuk istirahat, merebahkan badan. Ada yang di trotoar, di jalan aspal maupun di rerumputan taman Tugu Pahlawan.

Ketika langit timur Surabaya berwarna jingga, kami bergerak pulang ke rumah dan kost-kostan masing-masing. Kami tidak peduli siapa pemenang gerak jalan ini, bahkan kriteria pemenang lomba pun kami juga tidak tahu. Yang penting bagi kami adalah partisipasi dalam memperingati Hari Pahlawan, itu saja. Sampai di kost-kostan, saya langsung tidur tanpa ganti baju dan buka sepatu. Sore harinya saya baru tahu bahwa resep yang diberikan teman sebelum berangkat untuk menggosok telapak kaki dengan bawang merah sebanyak-banyaknya, ternyata tidak berfungsi. Kaos kaki saya masih lengket di kaki dan baru lepas setelah saya rendam dengan air hangat. Dua hari berikutnya saya ijin bolos kuliah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun