Khatib kemudian mengutip hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya kira-kira; ”Sesungguhnya sesuatu yang paling dulu dihisab pada hamba adalah shalatnya. Jika shalat itu baik maka ia telah menang dan sukses. Jika shalatnya rusak maka ia telah merugi”. Selain itu, Khatib juga mengutip "Shalat itu adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikan shalat berarti dia mendirikan agama dan barang siapa yang meninggalkan shalat berarti dia meruntuhkan agama". Juga, beberapa hadits dan ayat AlQur’an dikutip oleh Khatib untuk menunjukkan betapa pentingnya kedudukan shalat dalam Islam.
Masalah yang kemudian diangkat khatib adalah keadaan masyarakat dan negara Indonesia yang jauh dari harapan. Khatib kemudian berasumsi bahwa penyebabnya adalah blum sempurnanya ummat Islam Indonesia dalam mendirikan shalat selama ini. Menurut beliau, jika shalat dapat didirikan dengan sempurna oleh ummat Islam negara ini, maka keadaannya pasti akan berbeda. Karena Tuhan tidak berbohong ketika berfirman; ”Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu”. Yang mungkin terjadi, menurut khatib, adalah karena selama ini ummat Islam hanya mengerjakan sholat, padahal perintah Tuhan adalah menegakkan shalat.
Masih menurut Khatib, menegakkan sholat itu perlu memenuhi tiga dimensi; dimensi tubuh, dimensi rasa, dan dimensi jiwa. Jika dilihat dari kaca mata fiqh, maka unsur syari’at – thariqat – hakikat – ma’rifat dari shalat itu seharusnya terpenuhi. Sepenglihatan Khatib, selama ini ummat Islam baru memenuhi dimensi tubuh dari shalatnya; baru dalam taraf syari’at saja. Dan hal ini hanyalah sekedar olahraga saja kata beliau. Maka, ummat perlu untuk berguru kepada para ahli hakikat-ma’rifat, kepada para sufi agar dapat mengambil rahasia di balik shalat. Sebagai contoh, beliau mengemukakan beberapa hal. Jika dalam shalat seseorang tidak boleh berkata selain perkataan yang disyaratkan dalam shalat, maka jika dia benar-benar menegakkan shalat, seharusnya ucapan yang dikeluarkan dari mulutnya dalam kehidupan sehari-hari adalah hanya ucapan-ucapan yang baik. Jika dalam shalat seseorang tidak dibolehkan untuk makan dan minum, maka jika dia benar-benar menegakkan shalat, seharusnya dia menjaga dirinya dari makanan yang haram atau syubhat, bahkan juga memilih makanan yang halal sekalipun.
Mendengar khotbah ini, saya ingat pada ajaran suku Kajang di Bulukumba; ”Sambayang tamma tappu’, je’ne’ tamma luka”. Kalimat ini bisa diartikan ”Shalat yang tak pernah putus, wudhu yang tak pernah batal”. Ajaran ini merupakan adopsi mereka terhadap ajaran Islam ke dalam tradisi awal mereka. Pada intinya, mereka mengajarkan bahwa hidup itu seyogyanya senantiasa dalam keadaan melakukan shalat; selalu terpancar kebaikan dan tidak pernah berbuat keburukan kepada siapapun dan apapun. Pun, sepanjang hidup manusia seharusnya dalam keadaan berwudhu; senantiasa suci dari najis dan juga niat dan perbuatan buruk. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak membiarkan perkembangan teknologi memasuki hidup mereka, karena menurut mereka hal itu dapat merangsang nafsu berkuasa manusia; merusak tatanan dan keharmonisan hidup di masyarakat. Mereka juga mempunyai Hutan Lindung yang sangat mereka jaga karena hal itu penting bagi ketersediaan air dan keseimbangan lingkungan.
Saya jadi berfikir, apakah orang-orang yang katanya kurang beragama itu sebenarnya lebih beragama daripada orang-orang yang mengaku beragama? Mereka sangat mungkin lebih islami daripada orang yang mengaku taat berislam. Kasih sayang mereka kepada manusia dan alam mungkin bahkan lebih dari orang yang mengaku penganut kriten yang taat. Bahkan mereka lebih mendalami samsara dibanding seorang buddha, lebih menghormati keharmonisan alam dibanding seorang Hindu. Mungkin juga lebih bijak daripada seorang Konghuchu, dan pastinya lebih taat aturan dibanding seorang Yahudi. Jika ukuran menegakkan agama adalah apa yang kita perbuat untuk sesama dan untuk alam sekitar, maka mereka adalah orang-orang paling saleh.
Komunitas Kajang ini tidak sendiri di Indonesia. Ada To Lotang di Enrekang, Aluk To Dolo di Toraja, Wong Samin di Jawa Tengah-Timur, Sunda Wiwitan di Jawa Barat, Badui di Banten, dan banyak masyarakat adat lainnya di Indonesia kita yang kaya ini. Tapi, mereka sering dianggap tidak beragama, dan tidak jarang mereka tidak dapat mengurus KTP gara-gara agama mereka tidak termasuk dalam 6 ”agama resmi” yang diakui negara. Padahal, jika beragama adalah pengaturan kehidupan manusia agar selaras dengan alam semesta, maka mereka adalah orang-orang paling saleh. Lalu ada hak apa kita mengadili keyakinan mereka?
Dalam sujudku di shalat Jum’at tadi, kuakui bahwa Tuhanku adalah juga Tuhan mereka.