Mungkin agak susah untuk mendefinisikan kata "cinta". Secara sosiologis, kata ini memiliki sangat banyak makna dan penggunaan. Tidak ada satu kata pun dalam khazanah bahasa kita, yang telah begitu disalahgunakan dan dilacurkan seperti kata cinta. Dalam kasus cinta antara dua orang, ia telah dibuat menjadi sangat kosong sehingga bagi kebanyakan orang, cinta diartikan dengan hidup bersama selama duapuluh tahun tanpa perselisihan berarti. Namun, ada dua fenomena yang berhubungan satu sama lainnya kadang-kadang disajikan sebagai cinta; cinta masokistis dan cinta sadistis.
Dalam kasus cinta masokistis, orang menyerahkan dirinya sendiri, inisiatif dan integritasnya dengan maksud menjadi sepenuhnya tenggelam dalam diri orang lain yang (merasa) lebih kuat. Karena dalam dirinya lahir kecemasan, seseorang tidak dapat berdiri diatas kakinya sendiri, dia ingin dibebaskan dari perasaan tersebut dengan menjadi bagian dari makhluk lain, sehingga menjadi aman dan menemukan pusat dimana orang tersebut merindukan dirinya sendiri. Penyerahan diri ini seringkali dipuja sebagai "cinta sejati". Ia sebenarnya merupakan bentuk dari pengidolaan, sekaligus bunuh diri. Kenyataan bahwa ini dianggap cinta, membuatnya lebih menggoda dan berbahaya.
Cinta sadistis, di sisi lain, berasal dari hasrat untuk merendahkan objeknya, membuatnya sebuah instrumen yang tanpa daya dalam genggaman tangannya. Dorongan ini berasal dari kecemasan yang dalam, dan sebuah ketidakmampuan untuk berdiri sendiri. Tapi alih-alih dia menemukan kekuatan dengan merendahkan diri atau meningkatkan potensi, malah kekuatan dan rasa amannya ditemukan dengan memiliki kekuasaan atas orang lain.
Jelaslah, kedua jenis perasaan ini merupakan ungkapan kebutuhan dasar manusia yang muncul dari sebuah ketidakmampuan dasar untuk mandiri. Kebutuhan dasar ini seringkali disebut kebutuhan untuk "bersimbiosis". Dalam sebuah hubungan antara orang dewasa, seringkali seorang pasangan merepresentasikan sadistik, dan pasangan lainnya merepresentasikan kutub masokistik. Seringkali peran-peran tersebut berubah secara konstan; sebuah lingkaran pendominasian dan kepatuhan, agar tetap dianggap cinta.
Lalu, yang manakah itu cinta?
Cinta dipercaya tidak dapat dipisahkan dari kebebasan dan kemandirian. Cinta adalah kekuatan, kemandirian, integritas diri yang dapat berdiri sendiri dan menanggung kesunyian. Cinta merupakan tindakan spontan; dan spontanitas berarti kemampuan untuk bertindak atas keinginan sendiri. Jika kecemasan dan kelemahan diri membuatnya tidak mungkin bagi individu agar berakar pada dirinya sendiri, dapat dikatakan bahwa ia tidak bisa mencintai. Itu berarti bahwa cinta bukanlah sebuah "pengaruh", tetapi sebuah pengejaran aktif dengan tujuan kebahagiaan, perkembangan dan kemerdekaan dari "objek"nya. Ia mengimplikasikan sebuah dukungan yang sangat dalam, yang di dalamnya kepribadian seseorang mengambil bagian sebagai keseluruhan; wilayah pikiran, emosi dan perasaan-perasaan seseorang.
Dengan asumsi bahwa Tuhan mencintai manusia, mungkin cinta Tuhan kepada manusia lah yang dapat menjadi standar mengenai cinta itu sendiri. Tuhan membebaskan manusia; memberinya hak untuk memutuskan apa yg baik untuk dirinya, sambil memberikan petunjuk2 dalam teks maupun alam. Dia menyuruh manusia untuk berfikir, dan mencintaiNya dengan pilihan sadar.
Nah, sudahkah kita benar-benar mencintai - dicintai?