Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Surat kepada Tuhan (2)

10 September 2010   15:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:19 107 0
Tuhan, ini adalah surat kedua yang akan kukirimkan padaMU. Semoga surat pertama telah Engkau baca dan pahami, sehingga kedatangan surat kedua ini telah juga Engkau antisipasi. Meskipun ada sedikit hal yang lumayan tidak mengenakkan bagiku. Surat pertama yang kukirimkan padaMu ternyata telah juga dibaca oleh manusia, makhlukMu. Meski aku telah menduga sebelumnya, hal ini tetap saja menakutkanku; aku takut tidak bisa jujur padaMu dan pada diriku sendiri di surat-suratku selanjutnya. Aku takut akan terpengaruh oleh penilaian manusia sehingga akan memasukkan berbagai polesan untuk menghaluskan apa yang akan kutuliskan untukMu. Meski aku tahu bahwa ada ruhMu dalam setiap ciptaan termasuk manusia, yang berarti Engkau dapat membaca suratku melalui mereka, tapi tetap saja ada ketakutan untuk dihakimi. Aku tahu, ketakutan ini berarti aku belum menghamba sepenuhnya padaMu, tapi aku mohon pemaklumanmu karena kekurangan ini.

Seperti yang telah kukemukakan pada suratku yang pertama, aku bersyukur Engkau telah memberikan prakondisi-prakondisi yang sempurna sehingga aku bisa me-manusia dengan cara yang lebih mudah. Di surat kedua ini, aku ingin merangkum dan memaknai jalan yang telah kupilih dalam menempuh hidup yang Engkau amanatkan padaku, meski mungkin Engkau lebih tahu apa yang tidak kumaknai dan bahkan kulewatkan dari perjalanan itu. Untuk itu, aku mohon petunjukMu.

Sejak kecil, aku dibiasakan untuk beribadah secara bebas. Engkau lebih tahu, aku bahkan tidak dibiasakan untuk berpuasa secara penuh sejak kecil, apalagi harus diiming-imingi hadiah untuk menjalankannya. Begitupun dengan sholat dan ibadah-ibadah lainnya. Aku hanya dibuat mengerti bahwa kewajiban-kewajiban itu harus dijalankan oleh orang yang sudah memenuhi syarat, seperti baligh. Pendidikan keagamaan di keluargaku juga lebih banyak menekankan pada aspek kehidupan sehari-hari seperti sikap sopan, kemurahan hati, bersikap adil, dan hal-hal bathini lainnya. Hal ini juga ditunjang dengan jenis-jenis bacaan yang tersedia di rumahku. Bacaan yang ada lebih menekankan 'ibrah dibanding penekanan fiqh. Aku ingat, selalu masuk kamar Tetta dan mengambil bacaan-bacaan dari lemari beliau. Bacaan yang paling aku suka adalah koleksi bundel Majalah Panji Masyarakat, Kumpulan Hikayat, dan juga Kumpulan Khutbah Jum'at. Selain itu, aku juga membaca berulang-ulang Sirah Nabawiah, serta kisah-kisah kepahlawanan para sahabat RasuluLlah.

Dari bacaan-bacaan itu, aku membentuk pola pikirku tentang hidup. Perdebatan dan dialog rasional yang ada di Panji Masyarakat telah membentuk prilaku keberagamaanku menjadi lebih rasional, minimal dibanding perilaku beragama yang umum pada masa itu. Dari hikayat-hikayat yang kubaca, aku belajar untuk lebih memaknai apapun yang kutemui, sekaligus belajar untuk menyusun kata-kata yang lebih kuat. Dan dari khutbah Jum'at, aku mengetahui justifikasi teologis tentang apapun kelakuan manusia, meski masih dangkal. Yang paling aku suka adalah buku kisah-kisah kehidupan RasuluLlah beserta para sahabat beliau. Kehidupan beliau yang zuhud dan sederhana, kesucian dan kelembutan hati serta perbuatan beliau dalam bergaul dengan keseluruhan masyarakat sangat terpatri dalam hatiku. Pun dengan para sahabat beliau yang sangat beragam tingkahnya, aku kagum dengan mereka yang dapat saling bahu membahu meski dengan perbedaan karakter yang sangat menonjol. Abu Bakr yang lemah lembut dan penyayang, Umar yang kuat dan keras hati, Utsman yang (menurut penalaranku) cenderung lemah tapi rela berkorban apapun, serta Ali bin Abi Thalib yang kuat, cerdas, namun sangat sabar dan zuhud pada dunia. Pun dengan sahabat-sahabat RasuluLlah yang lain, mereka adalah pribadi-pribadi yang sangat menonjol tapi dapat bergaul dengan harmonis, bahkan meneruskan budaya itu setelah meninggalnya RasuluLlah yang menjadi perekat mereka.

Dari bacaan-bacaan itu, semuanya menuntunku menuju satu jalan; memahami hidup - memahami Engkau. Aku mungkin belum menyadarinya saat itu, tapi aku merasa kalau hidupku haruslah dimaksudkan untuk semata mengenalMu. Jika engkau berfirman; "Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu", bagaimana aku menyembah hal yang tidak aku ketahui? RasulMu memberi petunjuk; "Barangsiapa yang mengenal dirinya, (dia) akan mengenal Tuhannya". Maka, aku menghabiskan waktuku untuk mengenal diriku sendiri. Aku bahkan menulis di bagian dalam pintu kamarku; "Who am I ?", tulisan sewaktu duduk di akhir SD dan masih ada sampai sekarang.

Selepas SD, aku masuk SMP dan kemudian melanjutkan ke SMU, lembaga-lembaga pendidikan sekuler. Hal ini berlawanan dengan kebiasaan orangtuaku yang diterapkan untuk anak-anaknya sebelum aku. Biasanya, anak-anak beliau dimasukkan ke Madrasah Tsanawiyah di desa kami, tempat Tetta mengajar juga. Dan setelah itu, kalau ga masuk ke Madrasah Aliyah di kota, kakak-kakakku disekolahka di SMU di kampung kami juga. Tetta juga tidak memasukkan aku ke pesantren sebagaimana halnya teman-temanku di kampung waktu itu. Aku tidak tahu pertimbangan beliau berdua, tapi aku disekolahkan di SMP di kota kabupaten, dititipkan pada tante, adik Ummi. Jadilah aku memulai petualangan baru, melangkah ke kehidupan yang lebih luas dibanding sekedar desa kecil kami, dengan segala dinamika yang baru pula..

Ah, sudah cukup panjang surat ini, dan aku belum masuk pada apa yang ingin kubicarakan denganMu. Aku akan melanjutkan suratku nanti, Tuhan. Aku yakin Engkau mau menunggu, karena surat ini adalah salah satu jalan untukku memperjelas jalan menujuMu..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun