Bekas pasukan baret hijau juga tidak jarang melakukan pemganiayaan pada pemuda pro republik. Pada kerusuhansebuah terjadi pada 22 Januari 1950 setidaknya 2 orang meninggal, 2 orang luka berat dan 15 lainnya luka ringan. Berdasar laporan resmi, kebencian menjalar begitu cepat di kalangan rakyat terhadap terhadap bekas KNIL tadi. Kondisi semacam ini tidak akan mampu menegakan kekuasaan Republik Indonesia di Ambon.
Rupanya kerusuhan itu juga tidak lain adanya isu bahwa setelah KNIL dibubarkan, maka bekas anggota KNIL dan juga mereka telah menentang Republik akan disingkirkan atau dihukum. Hasutan-hasutan itu tersebar semua kalangan prajurit KNIL sebelum KNIL benar-benar dibubarkan pada 26 Juli 1950.Hingga 27 Maret 1950, kondisi jota Ambon tetap panas seperti hari-hari sebelumnya. Eksistensi NIT saat itu tidak lagi jelas karena dukungan Belanda atas negara federal itu tentu semakin berkurang. Rakyat Ambon, yang masuh dalam wilayah Ambon minta, kepada kementerian Dalam Negeri NIT, adanya jaminan keamanan dan penegakan hukum tas wilayah Ambon dan sekitarnya. Kerusuhan tidak hanya terjada dikalangan orang-orang Ambon yang pro atau kontra terhadap Republik, tapi juga di dalam kalangan KNIL yang ada di Ambon sendiri. Perselisihan antara mereka adalah seputar pada kelompok-kelompok yang ingin masuk dan tidak ingin masuk TNI yang sebelumnya menjadi musuh mereka dalam revolusi 1945-1949.
Di Ambon, sebenarnya ada bebebarapa satuan KNIL yang ingin bergabung dengan TNI. Masalah mereka adalah mereka tidak mengerti bagaimana prosedur untuk bergabung dengan TNI. Seorang Mayor TNI yang berasal dari Maluku bernama Wesplat berusaha memberi solusi. Dia mengirim sebuah surat yang dititipkan pada seorang wanita separus tua anggota PNI—yang tidak diketahui namanya—yang berangkat ke Ambon. Surat yang kemungkinan digandakan ini ditujukan pada beberapa komanda KNIL yang dikenal oleh Wesplat. Isi surat itu adalah prosedur bagaimana cara bergabung dengan TNI. Surat itu juga sampai kepada Samson pimpinan Baret Hijau juga Nussy pimpinan baret merah disana. surat itu juga disampaikan kepada Sopacua pimpinan KNIL disana.
Wanita anggota PNI ini berusaha menjernihkan pikiran bekas KNIL yang akan dibubarkan itu. Dengan berani wanita ini bertemu dengan pimpinan pasukan baret yang kenal kejam itu. Tanggal 13 Februari 1950, wanita ijni bertemu Nussy, pimpinan baret merah. Kepada Nussy, wanita ini bercerita banyak bagaimana stuasi politik dan militer di Jakarta pasca Pengembalian Kedaulatan. Lebih jauh, wanita ini menceritakan bagaimana gembiranya orang-orang di Jakarta ketika mendengar kabar ada beberapa bekas KNIL yang akan masuk TNI di Ambon. Keesokan harinya, Wanita ini didatangi oleh Sopacua yang memimpin KNIL. Sopacua bercerita bagaimana bimbangnya anggota KNIL untuk bergabung karena adanya juga hasutan dari kalangan KL disana. Diantara bekas komandan tentara Belanda Ambon itu, hanya Nussy yang paling terbakar setelah menerima surat dari Wesplat. Tanpa pikir panjang, Nussy langsung menurunkan bendera Belanda di markasnya, tangsi Victoria. Setelah itu meletuslah pemberontakan terhadap Belanda.
Nussy kemudian memerintahkan kepada anak buahnya yang baret merah mengepung markas tentara Belanda yang ada di Ambon. Setelah itu Nussy mengajak seorang kepala daerah untuk memberontak. Namun yang terjadi justru Nussy diajak bertemu dengan seorang Indo-Belanda reaksioner bernama Kainama yang menjadi Mayor KL. Darisini terjadi perundingan rahasia yang melibatkan Nussy, Kainama, Manuhutu juga seorang perwira Belanda. Darisini lahir keputusan “anti masuk APRIS dan anti berontak melawan Belanda”. Ketika perundingan berlangsung, anak buah Nussy tetap menembaki tentara Belanda. Orang-orang yang hadir dalam rapat rahasia itu lalu datang ke tangsi Victoria untuk memadamkan pemberontakan baret merah itu. Beberapa orang baret merah mau berhenti, namun beberapa yang ingin masuk TNI tidak mau melakukannya dan terus menembak di dalam kota dan mengancam pasukan KL dan orang-orang pro Belanda. Pemberontakan ini mereda dengan sendirinya pada 16 April 1950 karena arah pemberontakan mereka tidak jelas dan tidak mengerti bagaimana melanjutkan pemberontakan. Insiden ini terjadi sekitar 5 April 1950.
Terjadinya kerusuhan di kota Ambon, mendorong Komisariat Tinggi Belanda di Jakarta untuk mengirimkan kapal “Kota Intan”. Kapal itu sedianya untuk mengangkut orang-orang sipil Belanda yang ada di Ambon. Dari Ambon mereka akan dibawa ke Jakarta—yang lebih aman dimata pejabat Belanda di Indonesia. Dinas Perhubungan Tentara Belanda di Jakarta mengumumkan, di kalangan 200 serdadu KNIL Ambon di Ambon terjadi sebuah masalah mengenai reorganisasi KNIL.
Mayor Jenderal J.J. Mojet, yang menjabat penasehat Umum Tentara dan Komandan Tentarqa Belanda dan Komandan Tentara Belanda di Indonesia Timur dari Teritorial Komisi NIT, telah berangkat ke Ambon untuk menyelediki masalah ini. Menurut Dinas Perhubungan Tentara Belanda, “walaupun penyelidikan masih dalam tingkat permulaan, tampak jelas, bahwa sebab dari keributan harus dicari pada ketidaksenangan karena militer KNIL tersebut sejak beberapa waktu tidak mendengar tentang pemindahan pada APRIS dan karena itu menurut perasaannya hari depan mereka berada dalam keadaan tidak pasti. Ini menyebabkan timbulnyasalah sangka dan salah menerima pada mereka, yang akhirnya memuncak dan mengambil putusan menyatakan tidak puasnya.
Di Ambon, Mojet disambut dengan penuh hormat oleh serdadu Belanda di tangsi Victoria. Tidak ketinggalan, musik Ambon juga menyabut Mojet. Hal ini menunjukan pada Mojet bahwa para serdadu KNIL di Ambon masih tunduk pada pemerintah Belanda. Sikap seperti ini tentu menutupi sebuah kenyataan dan perasaan sebagian serdadu yang tidak mau lagi tunduk pada bangsa lain seperti Belanda dan mereka adalah sekelompok orang pribumi yang ingin menjadi orang merdeka. Kemenangan bagi kelompok pro Belanda yang reaksiner dengan isi KMB dalam pasal yang mengatur status KNIL pasca pengembalian kedaulatan. Perselisihan antara mereka seolah tertutupi karena kehadiran Mojet, keadaan mereda.
Kelompok reaksioner pro Belanda berusaha menghasut, bila perlu meneror serdadu KNIL yang ingin masuk TNI. Kepada para anggota KNIL di Ambon, orang-orang reaksioner itu dipropagandakan kehadiran TNI nanatinya hanya akan memperkeruh keadaan. Kelompok reaksiner ternyata harus kecewa dengan sebuah insiden yang berupa pemukulan Mayor in Veld oleh para serdadu KNIL. Mereka tidak lagi menganggap sosok orang Belanda sebagai pimpinan mereka. Konon, hanya Kepala Daerah Manuhutu saja yang lebih mereka turuti ketimbang perwira Belanda yang masih memegang komando atas mereka. Manuhutu sendiri adalah seorang penganut paham unitaris yang ingin bergabung dengan RIS.
“…Memang sebenarnya meskipun turut dalam angkatan Perang Belanda, serdadu KNIL itu akhirnya toh orang Indonesia juga dan pada suatu ketika darah Indonesia akan berbicara juga. Jangan pula dilupakan diantara serdadu KNIL tidak sedikit yang sebanarnya masuk Tentara Belanda karena terjebak oleh propaganda bohong. Serdadu-serdadu yang dulu dalam perang Dunia II turut ke Australia misalnya, pula para Heiho serta Romusha, banyak yang tidak tahu apa yang terjadi di tanah air selama meninggalkan Indonesia. Kepada mereka dikatakan bersama Belanda mereka haruas memerdekakan tanah air dari pada tindasan Jepang, mereka harus mengusir Sukarno-Hatta yang bersama Jepang telah membawa Indonesia kedalam lembah kesengsaraan… Pun sebelum Perang Dunia II sudah nampak ada tanda-tanda, bahwa serdadu Ambon tidak selamamnya setia kepada Belanda seperti Belanda Gemborkan itu. Juga adakalanya mereka memberontak, oleh karena rasa keadilan mereka tertusuk.”
Datangnya Soumokil
Ditengah kebimbangan bekas serdadu KNIL yang terus berlangsung itu, akhirnya mereka mendapat hasutan dari Soumokil, seorang pejabat NIT yang dikenal anti republik. Soumokil adalah praktisi hukum dan ketika peristiwa Andi Azis berlangsung masih menjabat Jaksa Agung dajn mengepalai kepolisian NIT. Sejak pemerintah kolonial Hindia masih berkuasa, Soumokil tidak masuk dalam arus pergerakan nasional seperti sebagian intelektual bumiputra lainnya. Sebagai orang pribumi yang berstatus gelijkgesteld—yang berarti sama secara hukum dengan orang-orang Belanda—Soumokil juga mendapat tentangan dari kawan-kawan Maluku-nya ketika dirinya akan diangkat menjadi anggota Volksraad pada tahun 1938. Sebagai orang Ambon terpelajar, Sounokil tidak bergabung dalam Serikat Ambon atau organisasi lain. Mungkin ini didasari status gelijkgesteld-nya yang membuatnya ekslusif hidup dalam lingkungan kolonial Hindia Belanda.
Soumokil bukanlah seorang yang lahir ditanah nenek moyangnya, Ambon. Soumokil lahir di Surabaya tahun 1905. setelah tamat sekolah menengah di kota kelahirannya, Soumokil berangkat ke Belanda untuk belajar ilmu hukum. Setalah kembali dari Negeri Belanda tahun 1934, Soumokil menjadi pejabat hukum kolonial. Semasa pendudukan Jepang Soumokil ditangkap oleh Jepang dan dibawa ke Burma dan Thailand. Soumokil bebas setelah Perang Pasifik berakhir dan kembali ke Indonesia. Ketika revolusi Indonesia bergolak Soumokil tetaplah tidak mengikuti arus revolusi Indonesia. Dia lebih memilih menjadi seorang federalis dan tidak mau bergabung dengan kelompok Republik yang kemudian cenderung didominasi Jawa.
Soumokil adalah orang yang mengimpikan orang yang mengimpikan adanya otonomi daerah. RMS mungkin puncak dari cita-cita otonominya—dimana bukan tidak mungkin cita-cita itu sudah diimpikannya sejak masa kolonial dimana dia akan menjadi penguasanya. Keberadaan NIT sebenarnya tidaklah bertentangan dengan cita-citanya. Walau hanya sebuah negara bagian saja, setidaknya tidak ada dominasi kaum Republik. Soumokil nyatanya sangat menjaga jarak, baik sebelum dan sesudah pendudukan Jepang dan puncaknya mulai terlihat dalam NIT. Permusuhan terbesarnya dengan kaum Republik begitu nyata ketika Soumokil menjadi Jaksa dalam persidangan yang mendudukan Walter Mangisidi sebagai tersangka—dengan tuduhan teroris dalam wilayah NIT. Dalam persidangan itu, Walter Mangisidi dijatuhi hukuman mati. Vonis itu dijatuhkan beberapa bulan sebelum NIT dibubarkan. Ketika Walter Mangisidi dihukum mati pada September 1949 di Makassar, sedang berlangsung gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda.
Malam hari tanggal 4 Agustus 1950, Andi Azis dipanggil oleh Soumokil dirumahnya. Dirumah Soumokil itu, beberapa serdadu Ambon sudah menunggu. Para serdadu Ambon itu sudah bersiap untuk berperang bila pasukan TNI dari Batalyon Worang mendarat di Makassar. Setelah pertemuan itu, Andi Azis memutuskan melaksanakan sendiri kudeta—dimana dirinya akan bertindak sebagai pemimpin kudeta. Keesokan harinya, Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginto—Kepala Komisi Militer Teritorial untuk wilayah Indonesia Timur—ditahan untuk beberapa waktu. Atas kejadian ini pemerintah pusat meminta Andi Azis datang ke Jakarta sebelum pukul 14.00 tanggal 9 April 1950. karena permintaan itu tidak dilakukan Andi Azis, maka, Andi Azis dinyatakan sebagai pemberontak yang harus ditumpas TNI oleh pemerintah pusat tanggal 13 April 1950. Keesokan harinya, 14 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta. Sebelumnya Andi Azis pamit pada Soumokil. Kepada Andi Azis, Soumokil berkata: “jika ose mati beta akan berjuang sampai titik darah penghabisan.” Setelah itu Soumokil ke Ambon, dan Andi Azis diadili dan dihukum di Jakarta.
Masih kabur apa alasan Andi Azis akhirnya mau bertanggungjawab atas kudeta yang terjadi di Makassar. Setidaknya, setelah gerakannya gagal, Andi Azis bisa ikut sebagian KNIL yang bergabung dengan Soumokil di Maluku. Andi Azis sendiri meninggalkan Makassar beberapa bulan sebelum pemberontakan KNIL di Makassar ditumpas pasukan Kawilarang. Kepergian Andi Azis ke Jakarta pada 14 April 1950, pemberontakannya baru saja berjalan 9 hari. Semangat perlawanan bekas KNIL belumlah padam kala itu. Secara politis pemberontakan KNIL—yang menentang pendaratan batalyon Worang itu—sia-sia walaupun mereka memiliki peluang untuk menang secara militer.
Beberapa hari setelah pemberontakan Andi Azis meletus, Soumokil melihat tanda-tanda gagalnya pemberontakan Andi Azis itu—seperti banyak ditulis sejarahwan. Seharusnya Soumokil mengerti pasukan KNIL di Makassar tidak akan mampu bertahan dari gempuran TNI yang semakin kuat setalah KMB. Soumokil juga tidak memperhitungkan bahwa hilangnya kegairahan sebagian anggota KNIL, termasuk jajaran komandan-komandannya, untuk bertempur melawan Republik karena menyadari secara politis KNIL sudah kalah. Soumokil pastinya bukan orang bodoh secara politis, walau kemudian gagal, dia juga mengikuti perkembangan yang terjadi di Jawa. Kegagalan Westerling bulan Januari 1950, untuk merebut kekuasaan di Jkarta dan Bandung, berarti Republik memiliki kekutan untuk menghantam sisa-sisa KNIL di perkotaan. Padahal Westerling didukung pasukan khusus Belanda.
Bila Soumokil mengerti kondisi pasukan KNIL dan kekuatan pasukan Andi Azis yang berontak, hasutannya terhadap bekas KNIL di Makassar untuk memberontak bukan hal sia-sia. Dengan kata lain bagian dari rencana besarnya di Ambon. Setelah pemberontakan meletus, Soumokil berpikir cepat dalam beberapa hari. Tanggal 12 April 1950, Soumokil meninggalkan Makassar menuju Ambon. Tepat seminggu setelah pemberontakan Andi Azis. Soumokil tiba di Ambon keesokan harinya, tanggal 13 April. Sebelum sampai di Ambon Soumokil singgah di Menado. Tujuan Soumokil meninggalkan Makassar tidak jelas. Menurut pimpinan KNIL di Makassar menyatakan bahwa pesawat terbang yang dihgunakan Soumokil itu diberikan berdasar kenyataan bahwa Soumokil masih menjabat Jaksa Agung—yang sering melakukan kunjungan ke wilayah NIT untuk memeriksa kepolisian.
Kendati gagal, pemberontakan Andi Azis juga memberi keuntungan bagi Soumokil—walau Soumokil tidak menyadarinya. Kekacauan di Makassar sejak 5 April oleh Andi Azis dan sebelumnya kekacauan di Bandung dan Jakarta yang tidak lain ulah Westerling, setidaknya memberi kesibukan bagi TNI untuk menyelesaikan kekacauan itu. Ketika TNI juga perhatian pemerintan mengarah pada dua kekacauan itu, ketika itu juga Soumokil menyusun rencana untuk berpisah dengan Republik—mendirikan negara baru setelah NIT bubar.
Setelah Andi Azis dikalhakan diM akassar, Soumokil berangkat ke Manado, dimana sebuah pemberontakan disiapkan oleh Soumokil. Di Menado, Soumokil memanfaatkan kaum Perstuan Timur Besar (PTB). Persatuan Timur Besar itu, menurut Ibrahim Ohoril—bekas Menteri Persediaan Makanan RMS yang menyerahkan diri ditahun 1951—terbentuk dari hasutan –hasutan kaum kolonial Belanda yang propagandanya selalu bersifat menentang Republik Indonesia dan selanjutnya ingin berdampingan dengan negeri Belanda sebagai provinsi ke-13. Tapin usaha pemberontakan Soumokil di Menado inipun menemui kegagalan. Setelah pemberontakan yang gagal itu, Soumokil lari ke Ambon. Soumokil menumpang pesawat pembom B-25 milik Militer Belanda. Menurut Kepala Dinas Perhubungan Militer Belanda, kepegian Soumokil bukanlah dengan cara yang diistimewakan. Kepergian Soumokil sendiri memancing kecurigaan di kalngan pemerintah NIT di Makassar. Karena hal ini, Soumokil diskor dari jabatannya sebagai Jaksa Agung NIT.
Disini Soumokil juga mempengaruhi berbagai kalangan untuk menolak keberadaan RIS di Ambon. Para raja, Partai Timur Besar, pasukan Baret dan tentu saja orang-orang KNIL di Ambon. Keberadaan pasukan baret ini sangat menguntungkan gerakan Soumokil di Ambon. Walau bukan orang Militer, Soumokil tentu mengerti kemampuan pasukan Baret yang telah merepotkan posisi pasukan republik selama Revolusi. Berbeda dengan di Makassar, kali ini gerakan TNI akan sulit sekali untuk melawan RMS yang dipimpinannya. Kasus Makassar, kekuatan Pmeberotakan hanya terdiri kalngan KNIL dan KL yang jarang bertempur. Berbeda denga pasukan Baret yang telah terlatih dan berpengalaman. Bila ini perhitungan Soumokil dalam pengunaan bekas Pasukan Baret Belanda adalah tepat, terbukti TNI kerepotan hinggga mengorbankan perwira TNI.
Soumokil pastinya mengerti kondisi pansanya Ambon karena sebagai Jaksa Agung yang membawahi Kepolisian NIT, Soumokil memperoleh banyak laporan mengenai perkembangan kondisi di Ambon. Apalagi dalam kepololisian NIT banyak terdapat orang-orang Belanda yang berpangkat Inspektur maupun Komisaris—umumnya mereka adalah orang-orang Belanda reaksioner. Kesamaan sikap antara orang-orang Belanda itu dengan Soumokil tentu melahirkan kerjasam dalam hal saling bertukar informasi di Indonesia Timur. Kerjasama itu bertambah besar ketika menyangkut masalah penolakan eksistensi RIS di Indonesia Timur yang kemungkinan akan menggeser mereka dari jabatan mereka sebelumnya.
Kota Ambon yang semakin memanas membuatbanyak penduduk sipil yang menyingkir ke luar kota. Hasutan kaum rekasioner yang sebagian adalah orang-orang Belanda juga dari Perstuan Timur Besar telah menimbulkan keresahan di kalangan orang-orang di dalam kota. Pasukan KNIL yang merasa nasibnya tidak menentu hanya bisa bersiap dengan senjata lengkap. Mereka bersiap menyambut kedatangan pasukan TNI. Pasukan KNIL bersiap diberbagai posisi dan sebagian lain berpatroli keliling kota Ambon.
Soumokil dan Manusama juga sering melakukan agitasi-agitasi ke publik yang bersifat menentang eksistensi Republik. Mereka berdua mendesak diadakannya sebuah rapat umum yang dipimpin oleh Han Boeng Hiong dari Parlemen NIT. Rapat umum ini dihadiri setidaknya 2.000 orang yang terdiri dari kaum militer dan sipil di Ambon. Diantara orang-orang Sipil itu terdiri atas orang-orang dari Persatuan Timur Besar yang hadir dengan pakaian hijau dan sedikit orang-orang biasa yang datang karena dipaksa. Pada rencana awal, Soumokil yang sudajh berada di Ambon untuk sementara tidak langsung tampil kemuka , seperti dalam rapat besar itu.
Penyelesaian dua kekacauan oleh orang-orang kontrarevolusi itu memberi waktu bagi Soumokil dan gerakan dadakan-nya untuk menyusun kekuatan. Masalah Andi Azis di Sulawesi Selatan, sudah cukup untuk mengalihkan perhatian dan kekuatan pemerintah untuk tidak menghiraukan Maluku. Proklamasi RMS baru terjadi 25 April 1950, ketika kota Makassar masih belum aman. Hal ini berarti pasukan Republik masih jauh untuk menghadapi RMS. RMS sendiri dibantu oleh pasukan baret yang pernah dilatih Westerling di Batujajar. Letak Maluku yang jauh ke timur dan harus dijangkau melalui laut selama beberapa hari. Jelas waktu yang tepat bagi kekuatan militer RMS yang terdiri bekas KNIL untuk bersiap.