Hilal telah tampak , Zul, anak lelaki 7 tahun itu dengan mata redup terus memandang jalanan. Sudah sejak pagi ia bersiap bisa memegang obor dengan nyala api dari sumbu sobekan kaos milik ayahnya .
Ia berharap malam ini akan ada takbir keliling seperti tahun-tahun sebelumnya. Ratusan anak memegang obor keliling kampung sambil mengumandangkan takbir.
Ia ingat betul saat tahun lalu kawan-kawannya dengan penuh sukacita memegang nyala obor dengan dengan bahan bakar minyak tanah. Ia ingin sekali memegangnya walau sebentar, tapi kawan-kawannya mengatakan,
"Kamu masih kecil, belum sunat, besok aja megangnya kalau sudah sunat".
Kata-kata itu sungguh menyakitkan, sebab diantara kawan sebayanya, ia sendiri yang belum sunat, dan ia yang paling kecil diantara semua teman-temannya.
Di Kampung Zul, sunat seperti sebuah ukuran kedewasaan bagi seorang anak. Bahkan anak-anak di Kampung Zul, banyak yang sudah disunat sejak umur 2 bulan. Bahkan beberapa kawannya disunat saat masih bayi bersama dengan terlepasnya tali pusat.
Biasanya orang-orang di kampung Zul, menyunatkan anak laki-lakinya bersamaan dengan acara pemberian nama, aqiqah, dan potong rambut. Tapi ini bagi keluarga yang mampu .
Ayah Zul bekerja sebagai petugas pembuang sampah di sebuah perumahan di dekat kampung. Hasil yang diterima tiap bulan hanya cukup untuk makan keluarganya.
Sehingga untuk acara sunat dan semacamnya masih tertunda untuk Zul.
Zul sangat terbantu saat sebuah lembaga nirlaba mengadakan sunatan massal di kelurahan. Dengan penuh keberanian ia mendaftar sendiri, dan saat pulang sambil membawa sarung dan baju baru dan paket alat sekolah, ayahnya menangis sesenggukan. Apalagi di kantong Zul ada amplop pemberian panitia yang besarnya lumayan untuk ukuran Zul.
Sejak disunat, Zul sudah berikrar, ramadan tahun ini ia akan berpuasa sebulan penuh, dan akan mengikuti takbir keliling bersama teman-temannya dengan obor miliknya sendiri yang dibuatkan oleh orang tuanya .
Setelah ashar, orang tua Zul sudah menuang minyak tanah dari lampu tempel di dinding dapur. Lampu itu sengaja dipersiapkan untuk mengantisipasi bila terjadi pemadaman listrik. Dan orang tua Zul selalu mengisi tabung lampu tempel dengan ukuran penuh.
Kaos katun milik ayah Zul yang sudah koyak, meskipun sebenarmya masih dipakai, disobek senagian, lalu dibuat sumbu.
Basah minyak pada sumbu sudah membuat Zul sangat riang. Ia membayangkan malam ini ia akan bersama kawan-kawan lain memegang obor, mengitari jalan kampung sambil mengumandangkan takbir dengan penuh keceriaan.
Malam mulai beranjak, matahari sudah terbenam sejak beberapa jam yang lalu. Dan setrkah berbuka Zul sudah siap memegangi obor, menunggu kawan sepermainannya lewat dan mengajaknya bergabung.
Waktu terus berjalan, gema takbir berkumandang dari masjid dan musholla, terdengar membelah langit malam
Tapi sampai batas waktu isya, tak ada seorang kawan pun yang datang. Padahal ia sudah siap dengan baju koko dan kopiah kebanggaan.
Berkali-kali ia keluar masuk rumah dan terus memandangi obor yang ia sandarkan di kursi teras. Ia tegakkan, agar minyak tak tumpah.
Ibunya diam-diam memperhatikan dan merasa msygul. Melihat anak semata wayangnya yang hidup kurang beruntung.
Malam semakin larut, Zul kecil tak memahami mengapa malam ini tak ada pawai obor.
Ia juga tak paham mengapa masjid dan mushola di kampungnya tak menggelar sholat tarawih berjamaah.
Ia makin merasa pilu, dan mengabaikan sang waktu yang terus berjalan meratapi malam.
Bersama sang obor yang mematung di bawah kursi, diam, tak bergerak sampai seekor kucing menyamparnya.
Obor jatuh terguling, minyak tumpah merembes ke tanah, bersama Zul yang kecewa karena malam berlalu dan obornya tak pernah dinyalakan.
Samber 2020 Hari 27
Samber THR