Laki-laki bisa menerima upah secara penuh, sementara para perempuan menerima hanya 30-40 persen dibanding laki-laki dengan pekerjaan dan waktu yang sama.
Perempuan juga terus menjadi korban kekerasan, dengan pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga terdaftar sebagai penyebab signifikan kecacatan dan kematian di antara perempuan di seluruh dunia. Lihat di sini
Ini sebenarnya yang harus disuarakan dalam berbagai forum. Bisa dalam bentuk orasi dalam demo, seminar, atau duduk para pakar perempuan lintas profesi, bahkan bisa menyampaikan pesan damai lewat karya para perempuan.
Eskalasi politik 2019 sangat panas. Kontestan pemilu seperti berlomba untuk mendapatkan simpati. Mereka mencari panggung dalam berbagai event. Di jalanan, berbagai forum diskusi bahkan tampil di televisi.
Yang paling menggelitik selain gerakan 212 adalah perlawanan terhadap penindasan, terutama terhadap kemiskinan dan ketidakadilan terhadap perempuan oleh sebuah partai besutan Grace Natalie yang mantan reporter televisi.
Semangat para kader muda dalam menyampaikan narasi diberbagai kesempatan seakan membius publik, menjatuhkan simpati dan menjadikannya pendukung rahasia.
Reaksi publik semakin memuncak saat PSI dengan gagah menyampaikan wacana tentang poligami. Andaikan ini adalah sebuah panggung, maka tempik-sorak penonton seakan memenuhi tempat orasi.
Dukungan mengalir dari berbagai kalangan. Terutama mereka yang menjadi korban poligami, atau tidak setuju dengan poligami tapi merasa terwakili.
Ada satu wacana penting yang perlu digaris bawahi tentang poligami, bahwa poligami diperuntukkan bagi mereka yang sanggup melakukannya. Mampu berbuat adil, dan bisa mengantarkan semua istri sukses bersama.
Maknanya ini hanya sebuah tawaran yang bersifat luwes dan tidak kaku. Kalau tidak sanggup ya satu istri saja sudah cukup.
Poligami sudah dinash dalam al-qur'an, dan merupakan ayat yang qhoth'i dan pasti. Sehingga hanya tafsir dan interpretasi yang bisa membedahnya dengan mengambil dalil lain secara komprehensip.
Kesalahan PSI dalam mengambil tema narasi memang terbukti. Dalam pemilihan anggota legislatif DPRI 2019 tak satupun kader yang bisa lolos melenggang ke Senayan. Meskipun di sisi lain banyak juga faktor yang mempengaruhi.
Gerakan emansipasi dan kesetaraan gender memang harus tetap disuarakan. Apalagi kalau sudah menyinggung soal penindasaan terhadap perempuan, itu harus dilawan.
Tapi narasi yang menjadi ujung tombak terhadap sebuah gerakan perlawanan memang tak harus menyinggung eksistensi agama tertentu, yang malah justru menyerang balik.
Sebab isu penodaan terhadap agama memang seperti bom waktu, yang tiba-tiba saja meledak dan menimbulkan gerakan masa yang tak terbendung. Sebab meskipun berbeda aliran, orang-orang akan mudah disatukan bila ada ketersinggungan atas nama agama.
Akhirnya sebuah ide memang harus didasari kehati-hatian agar isu penting mengenai perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan bisa terakomodasi dengan baik, tanpa meninggalkan ketidaksenangan apalagi kekecewaan.
Semoga para perempuan indonesia tetap berada dalam satu garis lurus perjuangan.
.......