Barang sepele yang  harganya sangat murah ini tiba-tiba naik  kelas karena stok di pasaran menipis.  Distribusi menjadi tidak lancar karena barang banyak tertahan,  sehingga pasokan ke pengecer barang menjadi terhambat.
Kelangkaan barang ini ternyata dimanfaatkan oleh sebagian orang dengan menimbun barang tersebut untuk kemudian di kirim ke luar negeri dengan harga berlipat.  Atau dilasarkan sendiri lewat jaringan daring tentu  dengan harga lebih tinggi.
Situasi panik dan bingung  menjelma menjadi rasa ketakutan dan kekawatiran yang  akut,  memang sering dimanfaatkan oleh orang-orang tentu untuk mencari keuntungan sesaat sebagai sebuah bisnis dengan memanfaatkan hal yang  sedang  booming.
Saya teringat beberapa tahun yang  lalu saat pemerintah memutuskan untuk menghilangkan minyak  tanah sebagai bahan  bakar dan menggantinya dengan tabung gas.  Kami menggunakan minyak tanah sehari minimal 10 liter untuk memasak dagangan. Waktu itu harganya masih sekitar Rp. 4000/liter.
Menjelang kedatangan tabung  gas LPG yang sedang dipersiapkan,  minyak  tanah mulai tak bisa lagi  ditemukan di warung langganan. Ada yang  menjual,  tapi lokasinya lumayan jauh dan harganya sekitar 8000/liter.  Dan itupun  harus membeli dengan jumlah terbatas. Â
Apa boleh buat,  karena merasa butuh kami terpaksa  membeli meskipun harus merogoh kocek lebih dalam.
Saat tahun 2017, kelangkaan kedelai juga memukul para pengusaha tahun di Semarang.  Saya sebagai pedagang siomay pun harus  merasakan imbasnya. Harga tahun naik tak terkendali,  dan menjadi barang langka meskipun sebenarnya jadi kebutuhan sehari-hari.  Saat itu harga tahu berubah harga lebih  tinggi  meskipun ukurannya lebih kecil dari biasanya.
Tapi sejalan itu banyak orang  ditangkapi.  Penimbun,  penyelundup,  minyak tanah dan kedelai juga ditahan polisi.  Mereka tak punya ijin edar dan kapasitas memadahi.