Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Mertua Tak Perlu Mencampuri Urusan Anak Menantu

28 Februari 2020   00:41 Diperbarui: 28 Februari 2020   00:53 506 7
Sesungguhnya setelah menikah seseorang memiliki kebebasan penuh untuk memilih jalan hidupnya. Seseorang dibebaskan secara penuh untuk mengambil keputusan hidupnya tanpa perlu terpengaruh dengan urusan mertuanya.  

Sebab ia sudah menjadi keluarga sendiri sekarang. Bukan lagi bagian keluarga utama yang tanggungjawabnya masih di tangan orang tua.

Lalu, apakah orang tua akan kehilangan akses setelah anaknya menikah?

Tentu saja tidak, sebab bagimanapun mereka tetap keluarga kita, bahkan akan saling merekatkan dua keluarga besar, keluarga kita dan keluarga besan, saat punya anak nanti.

Ini hanya secuil pengalaman, saya pernah menjadi anak, menantu bahkan sebagai orang tua dan mertua dari menantu saya.

Saya juga sering berdiskusi dengan keluarga besan, bukan maksud mencampuri urusan keluarga anak, akan tetapi hanya sebatas memantau dan memastikan bahwa mereka baik-baik saja.

Bahkan saat terjadi pertengkaran kecil, kita sebagai orang tua tidak langsung bertindak, tapi membiarkan sampai di mana kemampuan mereka dalam menyelesaikan konflik internal. Kita hanya turun tangan bila mereka datang untuk meminta nasehat, dan itu pun harus datang berdua agar tak terkesan membela salah satunya.

Saya punya keponakan yang kisahnya sudah ditulis oleh sahabat Kompasianer Susy Heryawan. Secara umum saya melihat kisah keponakan ini sebagai sebuah hubungan yang kurang harmonis antara menantu dan mertua.

Anak lelaki yang menjadi suami keponakan saya ini pada mulanya adalah tulang punggung keluarganya. Memberikan sekadar nafkah bagi ibu dan kakak perempuannya.  

Setelah menikah, karena ia sudah memiliki keluarga, maka paling tidak jatah untuk ibu dan kakaknya pun berkurang, karena ia harus menanggung hidup istri dan anaknya.

Kesalahpahaman sering terjadi, dan memaksa keponakan saya tinggal di kontrakan sendiri. Tak apalah daripada masalah menjadi berlarut-larut dan tak terhenti.

Tapi meskipun sudah tinggal di kontrakan, kakak ipar dan ibunya tetap saja berkunjung, bahkan terkadang nada bicaranya seperti sebuah teror,  selalu ikut mencampuri karena ia merasa di situ adalah anak lelakinya. Sampai suatu saat keponakan saya hamil anak kedua. Bahasa keras  dari kakak iparnya  menampar hati makin gulana.

Masak saudara sendiri dikatakan banyak tingkah karena telah hamil lagi?

"Untuk makan saja kesulitan, mengapa harus hamil lagi? "

Demikian kata kakak ipar keponakan saya ini. Sampai akhirnya jantung tak kuat, tekanan terlalu berat, sehingga ia melahirkan bayi yang cacat, jantungnya bocor.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun