"Buat cadangan le", demikian pesan simbok ramah.
Simbok seperti memahami, ekonomi naik turun tak terkendali. Ia seperti bisa membaca masa depan, dalam kondisi apapun kita harus tetap makan.
"Besok kalau mau masak, direndam dulu pakai air kapur biar empuk saat dimasak", kata simbok mendetailkan pesannya.
Sejak simbok pamit pulang, saya terus mengamati sekarung jagung ini. Mau buat apa?
Untuk pakan ayam, saya belum punya ayam waktu itu. Untuk ditanam, mau ditanam di mana? Kami tak lagi punya lahan.
Sampai suatu hari, kami tak lagi punya persediaan apapun. Beras habis, gula habis, minyak habis, dan uang pun sudah menipis.
Malam itu istri saya merendam beberapa gelas jagung kering pemberiian simbok dengan air kapur. Kemudian menutupinya.
Pagi hari jagung kering tersebut dicuci dan ditiriskan. Lalu dikukus beberapa jam. Tak lupa diberi beberapa daun salam.
"Biar lebih gurih", kata istri saya.
Tak berapa lama, panci diangkat dari api. Lalu terlihat bayangan indah biji jagung yang berubah nama jadi grontol. Biji jagung yang awalnya mulus berubah merekah seperti bunga. Tampak lipatan-lipatan biji jagung yang menggugah selera.
Istri saya memarut kelapa muda, dan menaburkannya ke grontol yang sudah ditaruh di atas piring. Dan tak lupa memberinya sedikit garam agar grontol ada rasanya.
Pagi itu kami sarapan grontol, siang juga makan grontol, tanpa sayur tanpa lauk. Baru sore hari kami bisa membeli beras, dan istri saya memasaknya untuk makan malam.
kalau soal makan, kami sudah tidak punya masalah. Makan apa saja yang penting halal. Bahkan tak perlu minta tetangga, atau berhutang di warung sebelah.
Terlebih grontol memiliki kandungan nutrisi lebih tinggi dari nasi. Bahkan jadi obat mujarab bila perut kembung salah isi.
Meskipun jaman sudah maju, kami tetap ingat pesan simbok. Apapun keadaannya kita harus tetap makan.