Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Kisah Perempuan Bernama Suzana

8 Februari 2020   20:22 Diperbarui: 8 Februari 2020   20:27 264 6
Di teras rumahnya yang kecil,  Suzana duduk termenung seorang diri.  Memikirkan semua yang  telah terjadi. Semua orang seperti tak peduli dengan keadaannya sekarang.   Orang-orang kampung yang  dulu telah dibantunya saat ia masih muda dan cantik,  seakan menutup mata.

Kini ia sendiri,  di usia yang  makin renta. Bahkan tak ada  siapa-siapa. Orang-orang yang ia cintai telah pergi selamanya.  Termasuk anak semata wayangnya yang terlahir cacat tak bisa apa-apa.

Hanya rumah kecil ini yang ia miliki. Uang yang ia dapatkan selama bekerja tak menyisakan apapun.  Nyaris semuanya habis untuk makan dan keperluan hidupnya.

Kisah perjalanan panjang ditempuhnya.  Keterbatasannya sebagai perempuan dusun yang kurang berpengalaman menyebabkan ia terpaksa masuk dalam dunia kelam berpredikat kupu-kupu malam.

Berawal dari kelahiran anak mereka, yang mengalami kelainan saraf motorik.  Suzana tak paham penyakit apa.  Yang jelas suaminya tak suka dan pergi meninggalkannya begitu saja.

Tak ada yang bisa ia lakukan,  ia pasrah pada nasib.  Merawat bayinya yang cacat juga ibunya yang telah renta.

Lalu suatu hari,  seorang kawan perempuannya menawari sebuah pekerjaan menarik di luar kota.  Katanya tak perlu modal bahkan semua keperluannya terpenuhi.

"Pokoknya enak mbak", rayu teman perempuannya sembari memamerkan perhiasan yang melingkar di tangannya.
Sepatu berhak tinggi,  dandanan menor dan berbaju seksi.  Dari tubuhnya semerbak parfum peningkat percaya diri.

Suzana termakan rayuan.  Ia pergi meninggalkan anak dan ibunya,  setelah kawan perempuannya meninggalkan segepok uang untuk bekal hidup di rumah.

Di kota tujuan,  kawan  Suzana memberikan sebuah kamar,  lengkap dengan cermin dan seperangkat alat untuk riasan.

"Ini semua untuk kamu", kata kawan Suzana ramah.

"Nanti setelah jam 8 malam kamu harus sudah berdandan,  pakai baju yang ini, pasti akan kelihatan lebih menarik", kata kawan Suzana  sambil memberikan sebuah rok mini  lengkap dengan dengan kaos yang terlihat transparan.

Ia masih belum faham benar untuk apa ini semua,  sampai kemudian seorang lelaki mengantarnya ke sebuah hotel.
Di dalam sudah menunggu laki-laki gendut berkulit putih.

Tanpa basa basi,  lelaki gendut ini menyuruh Suzana membuka bajunya.  Ia meronta,  dan menolaknya.  Tapi laki-laki gendut ini mengatakan,  "aku sudah membayarmu".

Suzana pasrah.  Ia diam saja saat laki-laki itu menuntaskan hasratnya.

Lalu seorang laki-laki yang tadi mengantarnya menjemput kembali Suzana kembali ke kamar semula.

Kawannya mengulurkan sejumlah uang sambil mengatakan,  "mulai besok semua keperluanmu harus kau penuhi sendiri"

Sejak itu, berpuluh laki-laki hidung belang menidurinya tiap malam, bahkan ia sudah tidak bisa menghitungnya lagi.
 Ia korbankan semua harga diri demi menangguk uang untuk keperluan keluarganya di kampung.

Bau busuk mulut laki-laki sudah tak ia hiraukan lagi.  Akting pura-pura klimaks menjadi hiburan tersendiri bagi para lelaki.  Bahkan pria-pria mabuk memperlakukannya seperti barang mainan.

Suzana sudah bertekad akan melakukan apapun demi uang.

Tak terasa waktu berjalan. Ia sudah 24 tahun menghuni lokalisasi.  Umurnya sudah lebih dari 40 tahun.  Tamu-tamu lebih memilih perempuan yang lebih muda dan menggairahkan daripada dirinya. Ia tersingkir dari persaingan.

Lalu datanglah Pak Burhan,  lelaki tua pengusaha yang pernah jadi langganannya.  Menawarinya untuk hidup berumah tangga.

Suzana diboyong ke luar kota.  Tinggal di sebuah rumah kecil yang hanya ada dia dan pak Burhan.  Belakangan diketahui,  suzana hanya sekedar istri simpanan.  Tanpa nikah tanpa ikatan.

Suatu hari datang seorang perempuan,  mengaku sebagai istri pak Burhan. Ia marah-marah di rumah kecilnya dan melontarkan sumpah serapah.  

Suzana dipaksa pergi.  Ia memilih kembali ke  kampung halamannya meskipun di sana sudah tidak ada siapa-siapa.

Usianya kini sudah 67 tahun,  tak berdaya menghadapi keadaan.  Tak ada sudara atau kerabat. Di rumahnya hanya berisi kasur buruk tempat ia melepas lelah.

Untuk makan sehari-hari ia harus rela mencari botol plastik dan kertas bekas,  yang ia jual dengan hasil tak seberapa.

Terdengar suara cacing di perutnya  meronta,  ia segera mengambil karung  lalu pergi entah ke mana...




Kisah ini hanya fiktif semata, kesamaan nama, tempat, dan kejadian hanya kebetulan belaka.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun