Di dekat Masjid Safinah Sapen Yogyakarta kami tinggal. Dalam kamar kost yang berderet panjang. Sehingga kami saling dekat satu sama lain. Tanggal kritis adalah tanggal 25 ke atas, karena kiriman orang tua kami sudah habis bersih tak tersisa. Bahkan untuk fotocopy makalah pun kami saling berhutang satu sama lain.
Untuk menyiasati soal makan kami biasanya masak sendiri. Patungan beberapa orang dan membeli lauk pauk seadanya. Atau kami masak bareng nasi beserta lauknya sekaligus.
Bermula dari sini, kami berniat masak bareng siang ini. Biasanya salah seorang teman kami yang paling jago masak menghandle sampai selesai. Tapi hari ini karena dia ada kuliah di kampusnya terpaksa urusan memasak kami urus sendiri.
Di depan rumah Bu kost ada pohon kecubung yang sedang berbuah lebat. Salah seorang teman kami memetik beberapa biji.
Lalu menggorengnya sebentar dan diulek bercampur dengan sambel yang barusan kami buat.
Kami sudah mengambilnya sebagian yang belum dicampur dengan kecubung dan menikmatinya dengan gorengan ikan asin dan lalapan sayuran pemberian Bu kost.
Beberapa saat kemudian, teman kami, sebut saja namanya Mad Dalil pulang kuliah. Dengan masih memakai sepatu ia langsung menikmati masakan yang kami bikin tadi.
Nampaknya ia sangat lapar. Semua sisa nasi dan sambal yang dicampur kecubung ia sikat habis. Sampai beberapa menit kemudian belum terjadi efek apa-apa.
Kemudian Mad Dalil masuk ke kamar kostnya dan terdengar jeritan. Kami semua masuk ke kamarnya. Ia meronta-ronta sambil matanya terpejam dan mengoceh tidak karuan. Kami mencoba memegangi tapi ia lebih kuat.
Teriakannya yang keras ternyata terdengar sampai ke luar kost, sehingga ibu kost dan beberapa tetangga datang.
"Jangan-jangan kesurupan ini mas", kata salah seorang yang datang. Lalu entah siapa yang menghubungi, datanglah seorang yang katanya kiai. Memakai sorban hijau berbaju putih dengan jenggot panjang.
Ia komat-kamit sembarang lalu meminta kami menggotong Mad Dalil masuk ke dalam masjid.
Lalu adegan di dalam masjid, pak Kiai komat kamit dan mengisyaratkan seperti memukul Mad Dalil .
Mad Dalil jatuh lemas denga keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
"Sudah mas, jinnya sudah keluar", kata kiai.
Kami dengan terpaksa memberikan amplop beberapa rupiah dengan patungan sebagai ucapan terima kasih.
Sepeninggal kiai, Mad Dalil masih tergolek lemas di masjid dan masih ditunggui beberapa orang.
Lalu tiba-tiba ia kembali meronta dan meracau tidak karuan. Entah darimana idenya, salah seorang teman kami membawanya ke kamar mandi masjid. Kami siram tubuh Mad Dalil dengan masih menggunakan pakaian penuh.
Kami terus menyiraminya sampai basah kuyup, lalu tiba-tiba Mad Dalil memuntahkan semua isi perutnya. Sambel kecubung bercampur nasi tumpah ruah keluar dari mulutnya.
Salah seorang teman kami memijit-mijit tengkuk Mad Dalil untuk memperlancar ia memuntahkan isi perutnya.
Lalu setelah itu, Mad Dalil nampak bengong.
Ia bertanya," kenapa aku disiram air dalam kamar mandi?"
Lalu setelah semuanya berlalu tiba-tiba kami semua terpingkal-pingkal dengan kejadian barusan.
Lha wong orang mabuk kecubung kok disangka kemasukan jin.
Sampai Mad Dalil lulus dari kuliahnya kami masih terus mengingatnya bahkan sampai sekarang.
Konon Mad Dalil teman kami ini sekarang menjadi Kepala KUA di salah satu kecamatan di Cirebon Jawa Barat. Semoga ia membaca artikel ini.