Lepas Isya, aku melihat-lihat stori di wa. Mataku tertuju pada stori Alil, adik sahabatku yang juga humas di salah satu lembaga pendidikan. Meski tanpa memuat wajah, tak salah lagi, nama beliaulah yang terpampang dibawah ucapan belasungkawa.
Sekitar tahun 1998, aku mengenal beliau, ketika itu sedang aktif-aktifnya berdakwah dengan metode Tarbiyah. Lewat beliau juga aku melahap berbagai bacaan seperti Ummi, Tarbawi, Sabili, dan sebagainya. Kelak, majalah-majalah itu kubawa ke perpustakaan sekolah, dipinjamkan pada siapa saja yang gemar membaca.
Suatu ketika beliau bertanya, apakah aku sudah bisa baca Qur'an? Kujawab jujur, belum bisa, karena repot harus menghafal rumus alif-alif. Anda bisa bayangkanlah, harus pakai rumus alif date a, alif dopan u, alif bawah i, a, i, u. Aku yang suka hal-hal praktis tidak lagi melanjutkan belajar Alif-alif.
Kemudian beliau menawarkan program baca Qur'an metode Iqra 9 jam, inshaallah bisa tulis baca. Aku tertarik, berempat dengan Bou Pungut, Bu bangko, dan Bu Komariah, kamipun belajar dengan media papan tulis, persis anak SD. Ternyata benar, qadarullah kami bisa tulis baca bahkan dalam kondisi Qur'an dibalik.
Waktu berjalan terus, terkadang beliau mengajakku mengikuti pengajian di berbagai tempat, bahkan pernah diberi tugas menggantikan jadwal beliau. Ketika itu aku nggak pede, namun beliau bilang, 'Kau bisa dek, sampaikan saja hal-hal yang umum". Maka, basmalah aku mengisi pengajian kaum ibu untuk pertama kalinya.
Ketika rinai-rinai gerimis menghampiri aktivitasku, beliau mengingatkan, jangan sampai meninggalkan majelis taqlim. Seburuk apapun kondisi orang-orang di dalamnya, luruskan niat, demikian wejangan beliau.
Dan satu kalimat beliau yang menjadi pegangan bagiku adalah 'Sabar itu pada benturan pertama', maknanya dalam. Barangkali, ini jugalah yang membuatku ridho atas kepergian anak sulung kami setahun yang lalu. Pun juga kegiatanku di majelis taqlim, menguatkan kesabaranku.
Berbagai ucapan yang mengungkapkan kebaikan-kebaikan beliau, silih berganti diucapkan kaum ibu didekatku. Aku menyimak dan membenarkan, bahwa beliau adalah Ustadzah berhati lembut, tempat mengadukan hal ikhwal para ibu-ibu, dan beliau selalu jawab dengan kalimat 'bersabarlah, sebab Allah ingin kita lebih khusyu".
Beliau juga peruqyah khusus perempuan, yang kadang-kadang tengah malampun harus mengurangi jatah istirahat ketika ada yang butuh pertolongan. Secara khusus, beliau juga adalah pembimbing kaum muallaf, yang butuh dukungan dan pendampingan.
Hari ini, kami telah menyaksikan bersihnya wajah beliau, bahkan ibu-ibu berucap, "Glowing tanpa skincare". Ya, wajah beliau bersih, tiada menyiratkan rasa sakit meski sudah bertahun menderita sakit. Jama'ah pentakdziyah tumpah-ruah, sholat mayit dilaksanakan tiga gelombang. Allahuakbar..., beristirahatlah dengan ridho-Nya, Wak ulong kami, Ustadzah Khairul Hayati Aruan.