Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Manusia dan Kebebebasan Berpikir: Sebuah Refleksi

19 November 2024   18:40 Diperbarui: 19 November 2024   18:42 47 0

Manusia adalah makhluk yang tak terkunci oleh rantai dogma apa pun. Pikiran manusia tidak semestinya terpenjara dalam belenggu keyakinan yang sempit. Dalam sejarahnya, manusia telah membuktikan dirinya sebagai makhluk yang mampu menavigasi berbagai kemungkinan pemikiran: dari theisme hingga deisme, dari atheisme hingga agnostisisme, bahkan hingga gnostisisme. Semua itu adalah manifestasi logis dari akal, pikiran, dan budi manusia, sebuah anugerah yang menjadikan kita mampu merenung, mempertanyakan, dan mencari.

Seperti yang diungkapkan oleh Rene Descartes, *"Cogito, ergo sum"* --- "Aku berpikir, maka aku ada." Pernyataan ini adalah landasan bagi manusia untuk memahami keberadaannya, bukan semata-mata sebagai makhluk yang beragama, tetapi sebagai entitas yang berpikir. Di sinilah letak paradoks besar: jika beragama adalah bagian dari keberadaan manusia, maka ia seharusnya lahir dari akal dan kebebasan berpikir, bukan dari ketakutan atau paksaan. Beragama, dalam hakikatnya, seharusnya sejalan dengan akal, karena tanpa akal, keimanan hanyalah refleksi ketundukan buta, bukan pencarian kebenaran sejati.

Namun, apakah manusia pada dasarnya *percaya atau tidak percaya* pada Tuhan? Pertanyaan ini, pada tingkat yang lebih mendalam, mungkin salah arah. Manusia tidak sepenuhnya terdefinisikan oleh konsep percaya atau tidak percaya. Manusia, pada dasarnya, berada dalam posisi "mengenal" atau "tidak mengenal" Tuhan. Mengenal Tuhan adalah proses yang melibatkan perjalanan intelektual, spiritual, dan eksistensial. Sementara tidak mengenal Tuhan bisa jadi bukan tanda ketiadaan iman, melainkan refleksi dari ambiguitas yang melekat dalam hubungan manusia dengan keberadaan tertinggi.

Ambiguitas ini tampak dalam perbedaan antara religiusitas dan spiritualitas, antara beragama dan bertuhan. Religiusitas sering kali berbicara tentang sistem yang mapan, tentang doktrin, institusi, dan aturan. Sedangkan spiritualitas lebih dekat dengan pengalaman personal, hubungan langsung dengan Tuhan atau sesuatu yang lebih besar dari diri manusia. Di sinilah konflik sering terjadi: apakah bertuhan harus selalu tersertifikasi oleh agama, ataukah ia adalah kebebasan individu untuk mencari dan menemukan jalan sendiri?

Dalam perjalanan sejarah, agama telah menjadi institusi yang sering kali lebih peduli pada pembenaran daripada kebenaran. Dogma yang ditegakkan oleh agama sering kali menjadi belenggu bagi akal, menjerat kebebasan berpikir manusia. Sebuah ironi yang tak terhindarkan, mengingat agama seharusnya menjadi pemandu manusia menuju kebijaksanaan. Pergeseran hakikat ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah keberadaan Tuhan harus dibuktikan melalui pengakuan agama, ataukah ia adalah hasil dari kehendak bebas manusia untuk mencari yang ilahi?

Akal budi manusia, meskipun dihormati dalam agama-agama besar, sering kali ditundukkan oleh otoritas dogma. Kebenaran mutlak yang dipaksakan oleh institusi agama sering kali bertentangan dengan naluri manusia untuk mencari, mempertanyakan, dan memahami. Akal budi menolak pemaksaan kehendak, sebagaimana ia menolak pembenaran tanpa dasar yang logis. Di sinilah letak konflik abadi antara iman yang bebas dan doktrin yang kaku.

Bagi saya, iman adalah hasil dari pikiran yang merdeka. *"Berdasarkan iman dari pikiran dalam benak saya, maka saya ada,"* begitulah saya memahami eksistensi saya. Iman bukanlah sekadar percaya tanpa alasan, tetapi sebuah pilihan yang lahir dari perjalanan panjang pencarian. Pilihan ini adalah jalan yang saya tempuh untuk mencari kebenaran, sebuah jalan yang mungkin berbeda dari apa yang orang lain katakan, tetapi tetap valid sebagai ekspresi dari kebebasan saya sebagai manusia.

Kita hidup di dunia di mana istilah dan definisi sering kali membatasi pemahaman. Apa itu kebenaran? Apa itu iman? Apa itu Tuhan? Semua ini sering kali dibingkai oleh tradisi dan dogma yang sudah mapan. Tetapi, apakah kita harus menerima definisi tersebut tanpa pertanyaan? Saya rasa tidak. Karena manusia, dengan akal budinya, diciptakan untuk mempertanyakan dan menantang batas-batas pemikiran.

Alih-alih menjadi makhluk yang tunduk pada dogma, manusia seharusnya menjadi pencari yang tak kenal lelah. Pencarian ini tidak selalu mudah; ia penuh dengan keraguan, pertanyaan, bahkan mungkin penolakan. Tetapi di sinilah letak kemuliaan manusia: bukan dalam kepastian, tetapi dalam keberanian untuk bertanya, dalam keteguhan untuk mencari, dan dalam kerendahan hati untuk menerima bahwa mungkin ada lebih banyak hal yang belum kita ketahui.

Dalam perjalanan ini, kita tidak harus takut terhadap perbedaan pandangan. Theis, deist, atheis, agnostik, atau gnostik --- semuanya adalah ekspresi dari kebebasan manusia untuk berpikir dan mencari. Tidak ada satu jalan yang benar untuk semua orang, karena kebenaran itu sendiri adalah sesuatu yang personal, sesuatu yang ditemukan oleh masing-masing individu dalam perjalanan hidupnya.

Pada akhirnya, manusia bukanlah makhluk yang dibatasi oleh definisi dan dogma. Manusia adalah makhluk yang bebas, yang berpikir, dan yang mencari. Tuhan, jika Ia ada, mungkin lebih memahami pencarian ini daripada kita memahami diri kita sendiri. Dan di sinilah letak keindahan eksistensi manusia: bukan dalam kepastian, tetapi dalam pencarian yang tak pernah berakhir.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun