"Ayah sudah pergi meninggalkan kita," bisikku ke anakku di gendongan. Aku mematung di seberang jendela kamar itu. Menatap hampa jasad yang tidak bernyawa. Dia suamiku, bang Merin namanya. Anak yang baru berumur lima bulan dipelukanku adalah buah hati kami, saya dan bang Merin.
Kematian datang tiba-tiba. Warga masih kurang percaya. Sanak dan saudara dekat serta tetangga ramai berdatangan untuk memastikan. "Baru saja dia pulang dari minum kopi di kedai simpang." Kudengar Atan, sahabat dekat suamiku berbicara dengan muka setengah tidak percaya.
"Katanya dia sakit perut, lalu mandi. Dari kamar mandi duduk di kursi mengeringkan badan." Milah menjelaskan kepada yang datang. "Tiba-tiba terdengar meja jatuh dan pecah, ketika kulihat abang sudah lunglai di atas kursi," kata Milah mengakhiri cerita.
Aku hanya dapat menangis dan meratapi dari balik jendela kayu yang tidak berterali. Anakku yang baru berumur lima bulan ikut menangis di gendongan. Pastilah tangis anakku bukan karena rasa sedih ditinggal mati ayahnya. Anak sekecil itu belum dapat merasakan makna sebuah kematian. Tetapi aku memahami tangis itu, karena seperti juga ibunya yang tengah menitikkan air mata, meratapi nasib diri.
Walaupun kematian adalah kepastian yang tidak mungkin terhindarkan dan ditinggalkan orang yang dicintai sudah pernah kurasakan, tetapi di setiap peristiwa ada menggoreskan kedukaan yang berbeda. "Kasihan bang Merin, suamiku," aku membatin dalam suasana duka mendalam. "Anak kita masih sangat kecil, Bang." "Dengan siapa lagi kami akan mengadu?"
Para pelayat sangat ramai berhimpun pepat. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Anggota persyerikatan kematian sibuk mempersiapkan acara ritual adat terhadap jenazah. Sedangkan sebahagian lagi sibuk memasang tenda dan kursi untuk para pelayat yang membeludak sampai ke pinggir jalan.
Sahabat dan keluarga dekat sibuk memberi bantuan terakhir untuk jasad bang Merin: dimandikan, dikafankan, dishalatkan dan terakhir dikuburkan.
Kembali kepada keadaan semula ketika dilahirkan, semua membutuhkan pertolongan orang. Tetapi bukan saya, isterinya yang kehadirannya tidak diharapkan. Bahkan dianggap penyebab kematian bang Merin, suamiku.
Tidak ada seorangpun yang mempedulikan diriku. Keberadaanku dan anak bang Merin yang kugendong dibiarkan. Tidak ada yang menyapa, memandangpun tidak. Satu dua mata melihatku sinis, seperti mengusir. Tangis anakku yang mungkin ingin melihat ayahnya semakin membuat aku tidak dapat membendung air mata.
Terbayang kembali semua peristiwa yang pernah kulalui bersama bang Merin. Ketika dia selalu menggodaku dari sebalik jendela, tempatku melihat jasadnya. Bang Merin selalu mnungguku di jendela ini, mengharapkanku keluar dan duduk di teras samping rumah. Rumahku dan rumah bang Merin beradu teritis, hanya berjarak parit sepadan saja.
Sebelum menikah dengan bang Merin, aku pernah menikah. Tetapi karena tidak mendapat anak setelah dua tahun menikah, suami menceraikan. Ketika menjanda aku kembali ke rumah orang tua, bertetangga sebelah rumah dengan bang Merin. Ketiadaan anak menjadikan alasan suamiku mengembalikan aku ke rumah orang tua.
Janda tanpa anak seakan menjadi aib di keluarga dan tetangga. Saya selalu merenungi diri dalam kesendirian di teras samping rumah, berhadapan dengan jendela samping rumah bang Merin. Ketika itulah bang Merin selalu menggodaku dari jendela. Jendela yang kini memisahkan jasadnya dengan diriku dan anaknya.
Bang Merin di rumah hanya berdua dengan isterinya, Milah. Mereka sudah lima belas tahun menikah dan tidak memiliki keturunan juga. Tetapi bang Merin tetap setia dengan isterinya. Tidak pernah dia menyalahkan isterinya karena tidak kunjung hamil. Sifat bang Merin sangat berbeda dengan sifat mantan suamiku. Walaupun tidak mendapat anak dari perkawinannya, bang Merin tetap mencintai Milah, isterinya. Sedangkan suamiku sebaliknya, ia mencampakkan diriku.
Bermula dari soal tidak memiliki anak itulah aku selalu ngobrol dengan bang Merin. Namun tidak berselang lama Milah mulai menaruh curiga, ketika memergoki kami asyik berbual sampai tengah malam di titian parit sepadan.
Semenjak itu bang Merin tidak berani lagi membuka jendela yang menghadap ke teras rumahku. Berhari hari aku menunggu di teras rumah ketika malam-malam, berharap bang Merin mahu membuka jendela itu dan keluar menemuiku kembali dengan melompat jendela seperti dulu. Tetapi itu tidak pernah lagi dilakukan.
"Aku harus menghormati perasaan Milah." Begitulah kata bang Merin memberitahuku lewat sms. Saya semakin mengagumi kepribadian bang Merin yang sangat penyayang dengan isterinya, walaupun tidak memiliki anak.
Berbulan-bulan kami menjalin komunikasi dengan bang Merin melalui hp, kadang sms-an saja, tidak jarang juga kami teleponan. Saya hanya tinggal bertiga dengan emak dan bapak di rumah. Ketika bang Merin menelepon, maka aku langsung saja masuk kamar pura-pura tidur, untuk mengelabui emak dan bapak. Sedangkan bang Merin, kalau menelepon selalunya ketika isterinya tidak di rumah atau dia yang pergi jauh dari rumah.
Frekwensi kami ngobrol di hp sangat sering, bisa berkali-kali dalam sehari. Semua aktifitas yang kami lakukan seharian, pasti diberitahukan lewat hp. Terkadang bang Merin dulu memberitahu kalau dia sedang nonton tv sendiri, agar aku menonton siaran tv yang sama dengan yang dia tonton. Tidak jarang aku juga memberitahu mahu mandi, agar dia juga ke kamar mandi di rumahnya.
Akhirnya perasaan ingin memiliki sama-sama bersemi di hati kami berdua. Pernah bang Merin tidak membalas sms yang kukirim. Perasaanku menjadi sangat risau. Ingin mengirim sms kembali tidak berani, sangat risau menunggu balasan sms darinya. Namun ketika bang Merin mengirim sms balasan yang sudah hampir satu hari kutunggu, saya sengaja pula tidak membalasnya kembali seukuran waktu yang dia tunda untuk membalasnya. Itulah rasanya jatuh cinta.
Entah dorongan darimana, malam itu terasa sangat lambat. Saya susah memejamkan mata. Siaran tv juga tidak menarik lagi. Pintu ke teras rumah yang sudah sebulan lebih tidak dibuka, seakan meminta tanganku untuk membuka dan duduk di teras. Waktu membuka pintu, secara kebetulan pula bang Merin membuka jendela kamar rumahnya yang sudah cukup lama tidak dibuka juga. Ketika itu kami saling berpandang. Dia melempar senyum terindahnya dan melambaikan tangan ke arahku. Aku membalas juga dengan senyuman yang mendadak serta melambaikan tangan menggoda.
Malam hari setelah kejadian itu, bang Merin meneleponku. Langsung kujawab didering pertama sebelum berakhir. Ketika itulah dia mengungkapkan keinginannya menikah denganku. Aku tidak dapat menjawab, walaupun itulah sebenarnya ucapan yang kutunggu dan harapkan. Gemuruh ombak di dadaku tidak mampu kuredakan. Aku membisu tidak bersuara, meski sangat bahagia.
Setelah tertunda seminggu, sayapun tidak mampu untuk menyembunyikan persetujuan menikah dengannya. Menjadi isteri kedua dari lelaki yang sangat setia, meskipun tidak memiliki anak. Tetapi bukan itu yang menjadi penyebab pernikahan kami. Melainkan karena kami saling mencintai. Kami siap dengan apapun kemungkinan yang akan diterima.
"Kamu pasti dituduh merampas suami orang," seperti kata emakku mengingatkan. Tetap saja telingaku tertutup untuk menerima pelarangan menikah dengan bang Merin.
Setelah mendapatkan kepastian dariku, bang Merin segera membujuk isterinya untuk bersedia dimadu. Sayalah yang menjadi madu itu, tetangga sebelah rumah. Meskipun sangat berat bagi isteri untuk memberi izin suaminya menikah lagi, tetapi bang Merin mendapatkan restu itu dari Milah, isterinya.. Kamipun menikah secara resmi dan sah menurut undang-undang yang berlaku.
Kami menikah sebatas memenuhi legalitas formal beragama dan bernegara. Tanpa pesta dan ucapan selamat dari saudara dan teman dekat, juga tetangga. Ketika itu ayah megantarkanku ke kantor KUA kecamatan. Sedangkan bang Merin pergi sendirian bersepeda motor. Dan di ruang itu hanya ada pak KUA, dua orang saksi dari kantor, ayah, bang Merin dan saya.
Setelah menikah, kami juga tidak bisa leluasa bergerak sebagaimana layaknya suami isteri yang lain. Bang Merin dapat kapanpun pergi ke rumahku, tetapi saya tidak bisa pergi ke rumah bang Merin, walaupun status saya adalah isteri yang sah dari bang Merin. Itulah yang diminta bang Merin, agar isteri pertamanya tetap dihormati dengan baik. Seperti juga aku, isteri pertama bang Merin juga tidak pernah ke rumahku. Bahkan semenjak kami menikah, menegurkupun dia tidak mahu.
aku sangat memahami bagaimana perasaan isteri pertama bang Merin. akupun tidak perlu mempermasalahkan. Yang penting bagiku adalah bang Merin sudah menjadi suamiku. Dia leluasa masuk kerumahku, meskipun dengan sangat berat hati meninggalkan Milah sendirian di rumah. Sehingga sangat jarang bang Merin bermalam di rumahku. Andaikan bermalampun, subuh gelap bang Merin segera pulang ke rumahnya. Untuk menjaga perasaan Milah.
Dua bulan setelah menikah, saya dinyatakan bidan kampung positip hamil. Kebahagian yang tidak terbayangkan sebelumnya menjadi milik kami. Saya sangat tersanjung, akan menjadi ibu. Begitu juga bang Merin.
"Sempurnalah sudah bahwa aku lelaki," kata bang Merin ketika mengetahui kehamilanku. Ketika itu dia menangis sambil mengusap perutku yang mengandung benih dari kelaki-lakiannya. Kemudian dia melanjutkan perkataannya, "andaipun mati hari ini, hidupku sudah sempurna, ada keturunan yang akan melanjutkan kehidupan, ada bukti bahwa aku pernah hidup."
Tetapi kebahagian yang kami dapatkan dari hubungan ini tidak berlangsung lama. Bang Merin menjadi sering terlihat bingung dan murung ketika menemuiku dengan janin yang kukandung dari pernikahan kami.
Entah mengapa, bang Merin merasa sangat berdosa dengan isteri pertamanya karena kehamilanku. Sedangkan isteri pertamanya merasa tidak dihargai karena tidak dapat memberi keturunan seperti diriku. Itulah sebabnya bang Merin menjadi semakin tidak tenteram dengan keadaan.
Tidak ada siapapun yang dapat dipersalahkan. Bukan Milah atau bang Merin. Juga bukan diriku. Cara menanggapi keadaan yang terlalu sensitif itulah yang salah. Keadaan kehamilanku membuat Milah dan bang Merin tidak harmonis lagi, seperti juga hubunganku dengan bang Merin.
Milah tidak salah dengan persaan tersisih yang dimiliki dan bang Merin juga tidak salah dengan perasaan selalu bersalah karena menikahiku. Adapun aku sendiri menurut orang kampung adalah yang paling berdosa atas semua yang terjadi.
Janin yang kukandung hanya memberi keceriaan yang sebentar. Aku menjadi serba salah. Inginnya selalu didampingi suami, tetapi bang Merin tidak sampai hati meninggalkan isteri pertamanya yang sudah sekian lama hidup bersama. Aku tahu, bang Merin sangat mencintai diriku dan anak yang kukandung, tetapi ia juga menyayangi isteri pertamanya. Bang Merin tidak mampu membawa diri dengan dua cinta di hatinya.
Sampailah anak yang kukandung lahir, sayang bang Merin tertahan. Kegelisahan menjadi lebih menguasai hari-hari bang Merin. Sampai-sampai orang kampung menganggap bang Merin stress karena menikahiku. Kata orang yang pernah kudengar, terlalu banyak tuntutanku kepada bang Merin. Padahal aku tidak pernah menuntut apapun. Bahkan untuk biaya hidup aku masih meminta orang tua, bukan dengan suamiku, bang Merin.
Akupun merasakan, bang Merin hidupnya menjadi tidak tentu arah dan tujuan. Ia kehilangan kendali, senang menyendiri. Ketika di rumah isteri pertama, selalu teringat aku dan anaknya yang telah lama dinantikan kehadirannya. Dan ketika bersamaku dan anaknya di rumahku teringat isteri pertamanya yang sedang sedih karena merasa tersisih. Perasaan dirinya sendirilah sebenarnya yang membuat bang Merin terombang ambing, stress.
Puncak dari kegundahannya, bang Merin pergi menyendiri, tidak mahu lagi pulang ke rumah, tidak di rumah isteri pertama, juga tidak di rumahku. Dia tinggal di surau yang jauh dari rumah penduduk. Isteri pertamanya tetap setia mengantarkan makanan untuknya sehari dua kali.
Saya tidak dapat berbuat banyak dengan keadaan yang dirasakan bang Merin. Aku sadar. Aku hanya ingin mencoba memahami. Aku tidak ingin mengganggu kesendirian bang Merin yang sedang membawa diri. "Biarlah dia menghayati hidupnya yang sedang dalam kegundahan. Seiring berjalan waktu, ia akan mengetahui bagaimana seharusnya hidup ini dilalui", aku membatin.
Akupun mengisi waktu dengan kesibukan baru. mengasuh si kecil, bukti cinta kami dan bukti bahwa kami pernah hidup.
Ternyata waktu dan keadaan semakin membuat bang Merin menderita. Dia mungkin lelaki yang tidak berbakat membagi cinta. Hari-hari setelah mendapatkan anak menjadikan kesehatannya memburuk. Karena dia lebih mengikuti pikiran dan perasaan yang serba bingung. Diapun lebih senang bersama teman-teman mengobrol di kedai kopi, ketika bosan sendirian di surau, dari pada bercengkerama dengan keluarga dan anaknya di rumah. Milah juga ditinggalkan sendirian di rumah tanpa teman.
Akhir hidupnya juga menjadi sangat memilukan. Karena perutnya terasa sakit dia segera pulang. Teman-temannya menduga ia pulang ke surau, seperti biasanya. Ternyata malam itu ia pulang ke rumah Milah, rumahnya sendiri.
"Saya terkejut juga, ketika abang pulang ke rumah," kata Milah kepada yang datang dan bertanya. Aku hanya dapat mendengar dari luar jendela kamar tempatku mematung menggendong si kecil. Kamar tempat tempat bang Merin mencuri pandang kepadaku yang sedang duduk di teras samping rumah. Kamar yang jendelanya telah menyatukan hati kami dahulu. Dan hanya dari jendela kamar inilah aku bisa melihat jasad bang Merin untuk terakhir kali.