Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Selamat Jalan Sahabat: Idris Sardi

29 April 2014   06:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:05 54 0
Aku bangkit dari tempat duduk memberi penghormatan. Seperti juga pengunjung yang lain, semua memberi tepukan bergemuruh dengan berdiri. Ribuan orang di auditorium itu terhipnotis dengan penampilan solo instrumentalia lagu-lagu perjuangan yang dibawakan. Antusiasme penonton yang menyaksikan gesekan biola, dibalas oleh sang maestro dengan menundukkan kepala dan badan yang dicondongkan ke depan hampir sembilan puluh derajat.

Saat itulah pertemuan pertamaku dengan Idris Sardi, anak ajaib untuk biola di Indonesia yang menjadi bintang malam itu. Tepatnya malam tanggal 17 Agustus 2010, ketika menghadiri resepsi kenegaraan yang dilaksanakan pemerintah ibukota kabupaten Bengkalis. Idris Sardi yang mengenal biola pada umur 6 tahun ini diundang hadir secara khusus oleh Pemerintah Daerah untuk membawakan lagu-lagu patriotisme melalui gesekan biola, untuk hiburan dan sekaligus juga kenangan dan renungan.

Begitu acara usai, hadirin berdiri berdesakan menuju panggung utama, tempat sang maestro biola yang sudah membuat pertunjukan pada usia 10 tahun. Mereka secara tertib ingin menjabat tangan dan berfoto bersama. Idris Sardi dengan senyum dan kelembutan sikap yang semula jadi, melayani semua hadirin tanpa mempedulikan waktu yang semakin larut.

Aku dan beberapa tamu undangan yang lain masih terpana menyaksikan keakraban yang tulus. Getaran dawai biola yang digesek oleh sang maestro meluluhkan hati, juga menggelorakan jiwa yang kehilangan semangat kebersamaan untuk membangun bangsanya. Nada biola itu benar-benar telah menyatukan dan juga menundukkan jiwa-jiwa yang kehilangan jati diri sebagai bangsa.

"Foto ini adalah bukti, bahwa seni mampu menggerakkan", kata isteriku setelah berhasil berdesakan demi mendapatkan kesempatan berfoto bersama. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Aku belum mampu bersuara. Tenggorokanku seperti tercekat bongkahan salju yang enggan meleleh. Batinku menangis dalam suasana kemeriahan yang penuh khidmat. Kebahagiaan yang penuh kesenduan begitu menyelimuti sisi terdalam jiwaku. Perasaan senang yang membuat air mataku tertumpah.

Isteriku memberi tisu untuk mengeringkan air mataku yang terjatuh. Air mata kebahagiaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Bunyi senar biola yang bernada patriotis tanpa sa'ir dari sentuhan tangan Idris Sardi membuat diriku bangga memiliki Indoneisa dan bersyukur dengan kebersamaan anak bangsa yang tulus. Begitu indah, damai dan menyentuh jiwa.

Ketika aku menoleh isteriku yang duduk disebelah, matanyapun berkaca-kaca. Kemudian bertengadah memandang langit-langit. Mungkin untuk manahan air matanya agar tidak tertumpah. Segera iapun mengambil tisu untuk megeringkan. Perasaan yang sama sedang kami rasakan. Aku, isteriku dan beberapa tamu undangan yang lain menikmati kesenangan yang syahdu.

Pemain biola Indonesia yang setingkat dengan pemain biola dunia Zacharias ini, dengan talenta seni yang dimiliki mampu menghadirkan kebahagiaan syahdu penuh kasih dan ketulusan. Auditorium malam itu mengharu biru dan menghanyutkan setiap hati dan jiwa. Gesekan biola yang mengalunkan nada seolah bernyawa, memberi kehidupan baru di sisi terdalam anak-anak bangsa yang menyaksikan. Semangat nasionalisme, patriotisme dan optimisme tumbuh dalam kesyahduan yang tulus.

Setelah sesi bersalam-salaman dan foto bersama berakhir, anak Betawi yang pernah belajar biola dengan George Setet ini, turun meninggalkan panggung melalui tangga utama. Aku berdiri memberikan penghormatan secara khusus dengan membungkukkan badan. Ia langsung menghampiriku mengulurkan tangannya untuk saling berjabatan. "Penampilan yang sungguh luar biasa Bung", ucapku sebagai bentuk pernyataan kagum. "Terima kasih", ucapnya sambil tersenyum.

Maestro biola yang diterima Sekolah Musik Indonesia (SMIND) pada usia 14 tahun sebelum tamat SMP inipun berdiri di hadapanku dan berbincang sejenak. " Apa resep khusus untuk dapat tampil dengan begitu membius para pendengar?, aku bertanya di sela-sela perbincangan sambil berjalan menuju pintu keluar. "Hati", jawabnya sambil menunjuk ke arah dada. "Biola ibarat hati dan jiwa dalam hidup saya. Saya memainkan biola dengan sepenuh hati dan segenap rasa. Permainan itu benar-benar menyatu dan membuat saya fana", anak pemain biola Orkes RRI Studio Jakarta, Bp. Sardi ini memberikan penjelasan. Aku mengangguk tanda persetujuan atas informasi yang diberikan.

"Kamu tidak ingin berfoto dengan saya?, tanya sang maestro biola yang pada usia 16 tahun harus menggantikan kedudukan sang ayah sebagai violis pertama dari Orkes RRI Studio Jakarta pimpinan Saiful Bahri ini menggodaku. "Hati", jawabku menirukan beliau dengan isyarat jari telunjuk yang sama, ke arah dada. "Kebersamaan itu akan terjaga dan abadi di sisi, dihati dan jiwa ini", aku menjelaskan kesungguhanku sebagai seorang sahabat yang tidak akan mungkin melupakan.

"Dalam moment apapun aku tidak suka berfoto untuk dijadikan kenangan, karena aku butuh kebersamaan yang harus terulang lagi. Bukan hanya sebatas kenangan, melainkan kebersamaan yang abadi yang kuinginkan. Maka pertanda foto untuk kenangan itu tidak terlalu kuperlukan", aku melanjutkan filsofi hidupku. Iapun menngangguk-anggukkan kepala tanda persetujuan. Setidaknya itulah yang kuinginkan.

Setelah sampai di luar auditorium, mobil Land Cruiser BM 1 D sudah menunggu di depan ujung tangga. Kamipun berjabat tangan perpisahan. Ia bermalam di Wisma Daerah Sri Mahkota Bengkalis, tempat beristirahat tamu-tamu istimewa. Wisma bergaya Erofa abad pertengahan yang begitu megah. Akupun mengambil sepeda motorku di tempat parkir. Kebetulan isteriku sudah menungguku di tempat parkir sepeda motor tersebut. Segeralah kami pulang ke rumah.

Setelah pertemuan pertama itu, aku tidak pernah lagi bertemu. Ketika kerinduan untuk bersamanya mengganggu, kuputar lagu-lagu instrumentalia patriotis yang dimainkannya. Setiap kali mendengar lagu dari permainan biolanya, air matakupun berlinang. Suasana kebahagiaan penuh haru nan syahdu itu senantiasa membayang dan membayang.

Kerinduan untuk dapat berbincang bersama memang sulit kulakukan. Aku tidak mungkin bisa menghadiri pertunjukannya di ibukota Jakarta, sedangkan ibu kota provinsi saja kakiku belum pernah jejak. Harapanku selama ini hanya kugantungkan ke Bupati Bengkalis agar mahu mengundangnya kembali. Tetapi harapanku sia-sia belaka. Sahabatku Idris Sardi tidak pernah lagi diundang guna memeriahkan acara hari kemerdekaan di ibukota kabupaten.

Siang ini aku pulang dari kebun lebih cepat dari biasanya, jam tiga sore. Tidak biasanya isteriku memutar lagu-lagu instrumentalia patriotis dari permainan biola Idris Sardi. Karena biasanya kami memutar lagu itu untuk didengar bersama-sama. "Bang, pemaian biola kesayangan kita sudah meninggal", kata iteriku sambil menangis. "Kapan?", aku ingin keterangan lebih detail tentang waktu kepulangannya kepada isteriku. "Tadi pagi, setelah abang pergi ke kebun." jawabnya sambil sesenggukan.

Segera kunyalakan tv dan mencari saluran berita. Tidak lama muncullah running teks:

Idris Sardi telah meninggal dunia pukul 07:25 WIB di Rumah Sakit Meilia. Akupun terkenang kembali pertemuan singkat dengannya 4 tahun yang lalu di auditorium ibukota kabupaten. Lagu patriotis dari gesekan biolanya terus mengalun. Kubiarkan segenap hati dan jiwaku terhanyut mengenang kembali kebersamaan itu.

Segera kuambil kertas dan pena. Lalu aku menuliskan apa yang sedang kupikirkan.

Selamat jalan sahabatku Idris Sardi

Kebersamaan denganmu tidak mungkin akan berakhir. Walaupun jasadmu telah pergi mendahului, tetapi tidak dengan hati dan jiwamu. Hati dan jiwamu tetap hidup di hati dan jiwaku. Semoga kelak aku mendengar kembali merdu suara gesekan biolamu di sana: surga.

Dari sahabatmu,

Masdar.

Bengkalis, 28 April 2014

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun