Untuk menilai benar atau salah, mesti menggunakan alat ukur yang tidak salah, yaitu pengetahuan tentang sunnah Nabi. Meskipun sunnah Nabi itu benar, tetapi tidak serta merta harus diikuti dan menyalahkan yang Tidak.
Kita sepakat, Muhammad bin Abdullah, adalah Nabi, penyampai syari'at, tetapi Ia juga suami dari banyak isteri, anggota masyarakat yang beradat budaya, kepala negara yang berkonstitusi, hakim yang memutuskan hukum, da'i yang mengajak kebaikan, guru yang mendidik murid2, ayah dari anak2, dan berbagai status lainnya. Setiap status memiliki peran dan fungsi yang berbeda dan digerakkan oleh sebab yang berbeda juga
Untuk memahami Nabi, kita lihat dua ayat: pertama, Allah memastikan, Nabi adalah teladan yang baik (alAhzab: 21). Kedua, Allah juga memerintahkan, agar Nabi memberitahu kepada umatnya, bahwa Dia adalah manusia biasa, yang diberi wahyu (alKahfi: 110)
Wahyu itu berisi syari'at, yang wajib disampaikan dan menjadi identitas spesifik bagi umatnya. Orang Islam wajib mengikuti hal-hal spesifik yang dicontohkan, diperintahkan, dianjurkan atau dilarang Nabi berdasarkan wahyu Tuhan.
Tuhan mewahyukan syari'at untuk orang-orang beriman. Inti syari'at adalah aqidah dan ibadah. Keduanya bersifat khusus untuk membedakan muslim dengan non muslim. Sunnah yang spesifik itu disebut sunnah tasyri'iyyah, inti agama.
Selain sunnah spesifik, disebut sunnah ghairu tasyri'iyyah, tidak disyari'atkan, karena bukan hanya Nabi saw. yang melakukan, maka tidak menjadi ukuran benar atau salah.
Termasuk sunnah ghairu tasyriiyyah, adalah kebiasaan Nabi saw. sebagai manusia biasa. Dan kebiasaan itu juga menjadi kebiasaan orang lain, ia bersifat umum. Seperti Nabi saw. memakai jubah dan sorban. Keduanya, jubah dan sorban, juga dipakai oleh semua orang Arab ketika itu, termasuklah Abu Jahal dan Abu Lahab.
Jenggot begitu juga. Hadist mengabarkan, bahwa Nabi meminta umatnya memanjangkan jenggot dan mencukur kumis. Tetapi jangan lupa, jenggot adalah adat resam budaya, sekaligus kebanggaan orang Arab. Orang Arab dewasa di zaman Nabi memanjangkan jenggot, dan Nabi orang Arab.
Dapatlah dimengerti, memanjangkan jenggot itu adat budaya Arab, bukan syariat. Melihat Abu Jahal juga berjenggot panjang, bukan berarti ia mengikuti syariat Nabi atau Nabi sedang meniru Abu Jahal. Tidak lebih, tidak kurang, karena keduanya sama-sama orang Arab yang mewarisi adat budaya yang sama.
Apabila ditelisik lebih jauh tentang hadist memanjangkan jenggot, dapat pula diketahui, bahwa perintah itu didasari oleh kepentingan sebagai pemimpin. Beliau ingin mengetahui secara pasti keadaan pengikutnya. Karena waktu itu umat Yahudi dan Islam berpenampilan sama, maka Nabi sulit membedakan antara muslim dan yahudi. Dengan cara mencukur kumis dan memanjangkan jenggot memudahkan Nabi mengenal, karena berbeda penampilan.
Dengan demikian, jika orang Yahudi tidak ada dan umat sudah saling mengenal, maka perintah itu sudah kehilangan makna generiknya. Atau seandainya orang Yahudi ketika itu berbuat sebaliknya, mencukur kumis dan memanjangkan jenggot, kira2 apa yang akan diperintahkan Nabi?
Semua itu tidak perlu dipikirkan dan diperdebatkan, karena masalah jenggot panjang bukan syari'at. Malakukan atau tidak, itu pilihan, mengikut keperluan.