Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Dosenku, Prof. Munzir Hitami

8 Januari 2015   18:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:33 147 0
ilmuan Islam yang terbuka, peduli dan tawadhu'

Dengan sosok berkarakter yang berpostur tubuh tinggi ini, saya tidak bergaul akrab dan kebersamaan dengan beliau juga sangat singkat. Ketika di kampus, Doktor alumni Sunan Kalijaga, Yogya ini mengampu mata kuliah tafsir. Semuanya berlangsung biasa saja. Apalagi beliau seorang yang sangat santun dan tidak mahu banyak omong. Praktis di bangku kuliah tidak terjadi sesuatu yang luar biasa.

Kejadian yang sangat luar biasa terjadi ketika saya menemukan disertasinya di perpustakaan. Judulnya, alQuran dan Sejarah: Tafsir alQuran tentang Peran Rasul-rasul Sebagai Agen Perubahan. Promotor: Prof. Quraisy Shihab dan Kuntowijoyo, Ph.D. Kedua orang promotor disertasi itu merupakan sosok yang saya kagumi, karena keilmuan dan produktifitas dalam menulis.

Belum sempat saya baca, selain hanya judul dan nama promotornya, tiba-tiba pria kelahiran Bangking ini masuk ke perpustakaan untuk satu keperluan. Sayapun menyempatkan menyapa dan bertanya tentang figur kedua orang promotor desertasinya yang sedikit banyak saya sudah pernah membaca biografi singkat dan  karya tulis mereka. Dari situ pembicaraan nyambung dan dengan isyarat tangan, saya diajak ke ruang kerjanya.

Di dalam ruangan itulah baru saya sadar, bahwa dosen tafsir yang bertubuh ideal, di hadapan saya adalah ilmuan besar yang lebih sering menunduk karena sikap tawadhu', bahkan kepada seorang mahasiswa dari kampung seperti saya. Penghargaan yang diberikan melebihi yang bisa saya lakukan kepada dosen dan guru saya. Luar biasa alim dan tawadhu' ketika berbicara, bersikap dan bertindak.

Jabatannya ketika itu direktur Paska Sarjana UIN Suska, dengan rendah hati mengambilkan air untuk minum saya dengan tangannya sendiri, walaupun bisa dilakukan dengan cara memerintah staf atau asistennya, tetapi beliau tidak pernah lakukan. Bahkan menurut staf dan asistennya, Prof. munzir tidak pernah memerintah sesuatu yang masih bisa dikerjakan sendiri. Saya jadi malu dan banyak belajar dari situ. Ya Allah berilah kemuliaan kepada dosen yang telah memuliakan saya ini dan mampukanlah saya untuk meneladani keilmuannya, pikirannya dan kerendahan hatinya. Amin.

Di ruang kerjanya, kami sembang-sembang tentang disertasi dan perkuliahan layaknya sahabat. Pria yang juga alumni pesantren Darun Nahdhah ini dengan santun dan penuh senyum menjawab seperlunya, dan dengan senang hati meminjamkan buku-buku yang dimiliki, bahkan menunjukkan nomor halaman untuk saya baca. Saat itulah saya bersentuhan dengan pemikiran Islam kontemporer yang sedang mengguncang paradigma ilmu-ilmu Islam tradisional.

Buku-buku itu diambil dari atas rak dan ditempatkan di atas meja, tempat kami duduk berbincang. Kebanyakan berbahasa asing, ada bahasa Arab, Inggris, Belanda dan mungkin juga Perancis. Ketika itu saya melihat judul dan pengarangnya secara cepat. Dari banyak buku buku yang ada, semua belum pernah saya lihat sebelumnya. Semua mempesona untuk dibaca, tetapi orang pemalas seperti saya tidak mungkin melakukan itu, lebih lagi yang berbahasa asing.

Dalam kondisi tidak memahami buku yang di hadapan saya, sehingga tidak mungkin mendiskusikan isinya. Dengan penuh penghormatan, dosen yang kemudian mengajari saya bahasa Belanda ini memilihkan buku untuk saya baca. Ada tiga judul buku dari tiga penulis. Nama2 penulisnya: Nasir Hamid Abu Zaid, Syahrur dan Hasan Hanafi. Saya berterima kasih dan saya bawa pulang untuk dicopy. Hasil copian itu saya baca dan ternyata isinya sangat mencerahkan. Di hadapan buku itu saya menjadi sangat bodoh dan saya sadar, ternyata ajaran Islam sangat dinamis, sekaligus menjadi motor penggerak perubahan.

Para penulis Islam kontemporer tersebut sesungguhnya sangat corncen dan sangat peduli dengan Islam dan ajarannya. Mereka semua menginginkan agar ajaran islam tidak menjadi masa lalu, hanya hebat dalam tumpukan kitab, melainkan menjadi ajaran masa kini dan masa depan yang senantiasa hidup dan membimbing umatnya menghadapi perkembangan zaman yang memiliki percepatan luar biasa.

Kita semua menyaksikan, Islam yang dipelajari di sekolah dan pesantren saat ini adalah produk masa lalu yang jauh, zaman pertumbuhan dan kegemilangan. Setelah itu semuanya gelap, pintu ijtihad seakan tertutup, walaupun sebenarnya tidak. Sehingga ketika ajaran yang sudah dikontruksi oleh pemikir masa lalu dalam bentuk praktis seperi fiqh atau hukum Islam dipraktekkan di dunia hari ini, maka akan banyak terjadi benturan dengan sesama warga dunia. Contoh, tentang kedudukan saksi atau waris perempuan yang dihargai setengan manusia (laki2), begitu juga kedudukan non muslim sebagai warga kelas ke-2 dalam hidup bernegara, dlsb.

Produk hukum seperti yang masih diajarkan sampai sekarang di sekolah dan pesantren itu, tentunya akan berbenturan dengan semangat modern yang mengedepankan azas persamaan hak dan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan. Akibatnya secara praktis produk hukum masa lalu ditinggalkan oleh umat Islam sendiri di negara2 berpenduduk muslim, termasuk Indonesia.

Para pemikir kontemporer menyadari itu. Maka lewat kreatifitas berfikirnya, dengan menggunakan metode filsafat hermeneutik yang dipelajari dari Erofa, ditawarkanlah sebuah pola atau paradigma baru untuk menafsirkan sumber ajaran Islam, agar dihasilkan hukum praktis yang bersesuaian dengan perkembangan modern kita, bahkan dengan paradigma baru itu, ajaran Islam lebih unggul dan sangat progressif untuk memimpin perubahan.

Tetapi harapan dan kerja keras pemikir muslim, yang saya mengenalnya dari Prof. Munzir Hitami tersebut, mendapatkan banyak perlawanan dari kalangan Islam sendiri. Bahkan Nasir Hamid Abu Zaid dihukum murtad di negaranya sendiri, Mesir, dan dipaksa bercerai dengan isterinya serta diusir. Sekarang beliau tinggal dan mengajar di Belanda, sering melanglang dunia memenuhi permintaan seminar dan mengajar, termasuk ke Jepang. Melihat kondisi negara Islam yang dengan mudah memvonis mereka yang berbeda sebagai murtad dan terusir dari tanah kelahirannya, tentu kita bersyukur hidup di Indonesia. Walaupun pemikiran kontemporer tidak juga mudah diterima oleh beberapa kelompok dan ormas Islam radikal, tetapi negara memberi ruang untuk terus hidup dan berkembang. Bahkan di perguruan tinggi Islam, semuanya mengajarkan pemikiran Islam kontemporer tersebut dengan mata kuliah Hermeneutik.

Bapak Prof. Munzir Hitami sekarang adalah rektor UIN Suska. Kehadiran beliau dalam kehidupan saya memberi arti tidak ternilai. Tanpa pertemuan singkat itu, mungkin saya akan menjadi manusia yang paling keras ketika berhadapan dengan hiruk pikuk umat Islam yang terus memanas disebabkan masalah politik. Berkat kerendahan hati beliau memperkenalkan pemikir2 Islam yang handal dan mengguncang paradigma lama, saya menjadi mudah berhadapan dengan suasana panas akibat kepentingan politik seperti saat ini.

Terimakasih Prof. Munzir Hitami. Saya mendoakan agar Bapak senantiasa sehat dan bersama Allah. Semoga UIN Suska yang Bapak pimpin menjadi kawah candradimuka bagi generasi muda Islam di bumi Melayu tercinta ini. Sejarah membuktikan, bahwa perubahan selalu disemangati dan diawali dari kampus. Dan semoga generasi muda Islam yang sedang menuntut ilmu di UIN Suska menjadi agen2 perubahan yang berkarakter seperti Bapak: cerdas, terbuka, peduli dan tawadhu'. Amin.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun