Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Melarat

26 Januari 2015   00:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:23 65 2
"Hidup tidak lebih baik dari mati." Itulah ungkapan yang bisa menjelaskan keadaan keluarga Muhammad, warga Pengkalan Batang, Bengkalis, Riau. Rumahnya, lebih tepat disebut gubuk, jauh dari jalan. Hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau bersepeda. Itupun sulit, karena ada parit pembatas kebun yang tidak dijembat. Bukan pula miliknya, hanya numpang untuk sementara.

"Menjelang mati," kata isterinya nyeletuk, saat sahabatku menceritakan keberadaan gubuk itu.

Isterinya saat itu baru berumur sekitar dua puluh tahun dan sudah memberikan tiga orang anak. Mereka menikah dalam usia sangat muda. Pernikahan yang tidak direncanakan, terpaksa, karena hamil akibat pergaulan bebas. Perempuan itu masih beruntung, karena Muhammad, lelaki yang menghamili, mahu menikahi.

Saat kami datang, Muhammad sedang tidak di rumah. Hanya ada Isteri dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Yang sulung, umurnya lebih tiga tahun, dan yang tengah dua tahun setengah. Kemudian si kecil, yang sedang munyusu di gendongan, belum sampai setahun. Begitulah penjelasan ibu muda itu saat ditanya.

"Abang entah kemana, barusan keluar jalan kaki, katanya 'nak cari kerja," jawab isterinya sambil menyusui di depan pintu, yang hanya ditutup triplek yang digeser. Sementara anak pertama dan kedua sedang menangis, bergelayut di kaki, karena mengharap sesuatu yang tidak didapat.

"Diam," katanya berulang kali menenangkan kedua anaknya yang menangis, sambil memukuli dengan satu tangannya, secara bergantian. Tetapi kedua anaknya tidak bisa mengerti, tetap berharap dan berharap agar keinginannya didapat.

Sudah tidak mempan dengan kata-kata dan pukulan telapak tangannya letih, ia pun pergi ke dapur mengambil periuk dan dibanting dengan geram, di hadapan anak-anaknya yang masih juga menangis.

"Lihat sendiri! Sudah habis, kan?," bentaknya sambil membujuk dan menunjuk tempat menanak nasi yang memang tidak berisi, kosong.

Kedua anaknya yang masih kecil itu memandangi wajah ibunya, memelas. Namun rasa lapar yang terus menyerang membuat mereka sulit untuk diam, tetap terisak, sesenggukan.

Melihat anaknya menengadah memandangi wajah, ibu muda itu memeluk keduanya, bertiga dengan yang di gendongan, juga ikut menangis, di depan pintu.

Kami tidak sanggup melihat lebih lama. Dan kami tinggalkan sedikit uang zakat yang memang haknya, sebatas cukup untuk mengganjal perut sehari dua. Tidak bisa lebih. Karena hanya itulah adanya.

Cerita di atas benar terjadi, di negeri yang kaya ini. Muhammad bukan orang lain, dia adalah saudara isteri sahabatku, pengurus BAZ kab. Bengkalis, Riau. Sahabatku jugalah yang mengajak pergi ke rumah Muhammad untuk membagi uang zakat yang terkumpul di BAZ kab. Bengkalis.

Kisah Muhammad hanyalah contoh. Adapun yang sama, walau tidak persis masih tidak terhitung banyaknya. Bahkan ada yang lebih parah dari itu, seperti orang tua sebatang kara, tinggal di Wonosari, Bengkalis, hidup di gubuk orang, di kebun orang. Sampai meninggal tidak ada yang menunggu. Baru diketahui setelah bahu busuk kematian tercium warga yang melintas.

Begitu juga beberapa keluarga yang tinggal di Taman Kota Layu, Kebun Kapas, Bengkalis, yang sudah beranak pinak tetapi tidak jelas keberadaan ayahnya. Dan, dan, ...Dan mereka ada di seluruh desa-desa dan kota di kecamatan se-kabupaten Bengkalis: Rupat, Rupat Utara, Mandau, Pinggir, Bukitbatu, Siak Kecil dan Bantan.

Dulu, waktu saya masih menjadi pengurus di BAZDA kab. Bengkalis, data para mustahiq (yang berhak menerima zakat) sudah dibuat dan terus disempurnakan. Tetapi data hanya tinggal data. Uang zakat yang terkumpul tidak mampu berbuat apa-apa. Sangat sedikit bila dibandingkan dengan yang berhak menerima.

Orang politik biasanya lebih senang membagi uang zakat sendiri ke orang miskin di daerah pemilihannya. Para pejabat dan pengusaha begitu juga. Lebih mantap dan puas, begitu katanya, jika uang zakat kekayaannya dibagikan sendiri kepada orang-orang miskin yang dikenalnya dan dikehendakinya.

Dengan demikian, uang zakat yang terkumpul tidak seberapa, dan tidak bisa diapa-apakan, sesuai rencana. Ya, rencana membagikan dana zakat dalam bentuk modal usaha, agar mustahiq yang mendapat, berubah status menjadi muzakki (pembayar zakat) pada tahun berikutnya, hanya tinggal angan-angan, hanya enak didiskusikan.

Dan, uang zakat yang terkumpul, kira-kira 2,5 milyar, dibagi rata ke mustahik. Didapatlah bagian Rp.50.000.- perkepala. Menyedihkan. Tetapi, mahu dibilang apa? Tidak mungkin untuk membuat sebuah terobasan yang memberdayakan dengan uang sebesar itu, sementara yang sangat membutuhkan juga banyak.

Apa yang terjadi? Rp.50.000.- membuat orang miskin menangis, penuh kesyukuran. Begitu besar nilai uang Rp.50.000.-. "Alhamdulillah, bisa untuk membeli daging," ucapan tulus kesyukuran yang saya dengar dan saksikan dari ibu-ibu dan bapak-bapak setelah menerima bagiannya.

Sekarang saya tidak aktif lagi di kepengurusan BAZ, tetapi saya yakin, tidak banyak berbeda dari sebelumnya. Karena BAZ tidak memiliki kekuatan memaksa atau memberi sanksi kepada para muzakki, agar membayarkan uang zakat melaluinya. Begitupun kemiskinan masih tetap sama, mungkin bertambah.

Kemiskinan bertambah?

Yang saya saksikan di KUA kec. Bengkalis, tempat saya bekerja sekarang. Paska diterbitkan Peraturan biaya nikah di kantor gratis, setiap hari kantor melaksanakan prosesi pernikahan. Bisa beberapa pasang sehari.

Peristiwa nikah di kantor adalah indikator tingkat kemiskinan yang nyata di masyarakat.

Mengapa?

Secara adat Melayu, masyarakat  menikahkan anak di rumah, bukan di kantor. Karena banyak prosesi adat yang harus dilakukan, sebelum dan sesudah akad nikah. Dan prosesi adat yang dilaksanakan menyebabkan akad di kantor dianggap sulit.

Dan adatnya pula, hanya mereka yang menikah karena kecelakaan lah yang dilaksanakan di kantor, guna menutup aib keluarga. Adapun yang normal tetap di rumah. Sehinggalah menjadi semacam penanda bagi masyarakat bahwa, jika nikah di kantor berarti ada masalah yang dirahasiakan kepada masyarakat.

Tetapi, semua sudah dan terus berubah. Kemiskinan telah mengalahkan  rasa malu, mengalahkan adat. Dan, tidak tertutup kemungkinan, mengalahkan iman.

Siapa yang harus dipersalahkan?

Melihat kemiskinan yang belum berkurang dan uang lima puluh ribu begitu berharga, maka wacana Pemilu bersih adalah mustahil, mengada-ada. Hanya untuk didiskusikan. Pemilu, Pilgub, Pilbup, juga Pilkades tidak bisa terlepas dari permainan uang.

Uang bagi orang miskin bukan harga diri, bukan kekayaan, melainkan hanya sesuap nasi. Tidak lebih. Sudah berhari-hari, bahkan berminggu dan berbulan, anak pergi sekolah tanpa uang jajan. Maka lima pulu ribu menjadi sangat berarti dan menyelamatkan.

Dengan uang itu, mereka dapat menikmati makan dan memberikan anak uang jajan, yang sudah berhari sampai berbulan tidak pernah dirasakan. Kalau dengan uang lima puluh ribu menyebabkan kafir sekalipun, mereka sudah tidak takut dengan neraka, apatah lagi sekedar hukuman mati atau penjara.

Sahabatku adalah Muhammad Nurin, Spdi. Sengaja saya tidak sebutkan dalam cerita. Karena masih banyak cerita lain yang saya lewati bersamanya. Saatnya akan saya ceritakan. Nanti. Dan Muhammad adalah nama yang saya buat sendiri. Juga saya sengajakan. Demi menjaga harga diri. Karena kemiskinan adalah aib dan saya harus menutupi dengan tidak membuka identitas resmi. Semestinya saya harus menghilangkannya, tetapi...

Semoga menjadi cermin buat kita.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun