Meskipun laki-laki itu baru pertama kali bertandang ke ruman, namun Martha telah mengenalnya hampir setahun lalu. Memang tidak mudah untuk menghadirkan sosok laki-laki di rumah ini. Perlu pertimbangan-pertimbangan khusus.
Selain statusnya sebagai janda – yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah dan bahan pergunjingan tetangga-tetangga, adalah sikap ketiga putrinya yang jelas-jelas tak menghendaki ibunya, Martha, bermain-main dengan mahluk berjenis laki-laki. Apalagi sampai kemudian berlanjut ke jenjang yang lebih serius.
Maka Martha pun berusaha keras meyakinkan putri-putrinya, diciptakanlah sandiwara, bahwa hubungan dengan Sammy hanyalah sekadar urusan bisnis semata. Tak lebih dari itu.
Terpaksa Martha menempuh cara bersandiwara bersama laki-laki itu agar hubungannya tetap langgeng. Setidaknya, laki-laki itu tidak disambut sikap apriori dan prasangka buruk ketiga putrinya apabila bertamu ke rumah.
Pada awalnya Martha ragu juga meminta laki-laki itu bersandiwara. Sebab, Martha tidak bisa menjamin dengan pasti apakah ketiga putrinya telah siap menerima laki-laki itu di rumah ini? Menghadirkan seorang calon ayah baru setelah sepuluh tahun lamanya terbiasa hidup mandiri tanpa didampingi laki-laki.
“Ini cuma sementara saja, Sam … biar kamu kenal lebih dekat dengan anak-anak, mengakrabkan diri, dan mudah-mudahan mereka menerimanya.”
“Sampai kapan kita mainkan sandiwara ini, Martha? Masalahnya kita tidak mungkin terus menerus dalam kepura-puraan. Toh, mereka sudah dewasa. Biarkan saja anak-anak berfikir, menilai, dan mengambil keputusannya sendiri.”
“Kita lihat saja nanti …”
Marha tak mau ambil resiko. Ia mencoba dulu membawa laki-laki itu ke rumahnya, memperkenalkan pada anak-anak, lalu melihat reaksi yang akan muncul kemudian.
Cukup menegangkan ketika Rosa, putri sulungnya, menyambut laki-laki itu dengan tatapan selidik. Bagaikan melihat mahluk asing, diplototi, diperhatikan, dicermati begitu teliti dari ujung sepatu hingga rambut di atas kepala. Segalanya serba dicurigai.
Martha yang sejak mula telah memprediksi adegan akan muncul seperti itu, cepat-cepat mencairkan suasana kaku dengan mengatakan kepada putri-putrinya bahwa tamu itu kliennya. Orang yang patut dibela dan dilindungi karena dia adalah seorang korban penipuan.
Sungguh lega hati Martha. Ia merasa beruntung karena sandiwara yang diciptakan berhasil sesuai skenario. Laki-laki itu ternyata mampu merebut simpati di mata anak-anak. Jelas terlihat dari perkenalan yang wajar, sambutan hangat, serta keakraban yang terpancar disela-sela pertemuan singkat itu. Bagi Martha ini merupakan fenomena baru yang patut dipelihara sebaik-baiknya. Setidaknya, pintu masuk untuk seorang laki-laki telah dibuka lebar-lebar oleh ketiga putrinya. Meskipun itu baru sebatas sambutan seorang tamu.
***
“Sandiwara kita berhasil, Sam … mereka tidak menaruh curiga. Namun yang membuat hatiku bahagia, anak-anak akhirnya mau juga menerima kehadiran kamu.”
“Dengan bersandiwara? … apalah artinya, Martha? Mereka bukan anak kecil lagi. Mereka tentu akan bertanya-tanya terus, mencari tahu ada apa dibalik hubungan kita. Sudahlah, Martha … kita ini bukan ABG lagi. Kamulah yang mestinya bersikap lebih bijaksana, dan memberi pengertian kepada anak-anak.”
“Akan kucoba.”
“Bagus! … lebih cepat itu lebih baik.”
“Tapi, … aku butuh bantuan kamu.”
“Bersandiwara lagi?”
Martha mengangguk kecil.
“Martha, … Martha, … peran apa lagi yang akan kumainkan?”
“Sederhana kok, … datang ke rumah temui aku dan anak-anak. Katakan pada kami, bahwa kamu bermaksud mengajak makan bersama, terserah di mana tempatnya. Yang jelas, kedatangan kamu sebagai ungkapan terimakasih karena kasusnya telah selesai dengan sukses.”
“Kalau bukan karena cintaku yang menggunung, mungkin sejak awal aku sudah mengundurkan diri,” kata laki-laki itu berseloroh.
Martha tersenyum sumir melihat wajah laki-laki itu menegang. Terlihat gelisah. Bisa jadi dalam sejarah hidupnya ia belum pernah melakoni peran seperti ini.
Kali ini Martha bertekad untuk mengakhiri sandiwara yang diciptakannya, dan ia ingin berterus terang dihadapan anak-anak mengenai hubungannya dengan Sammy, dan merencanakan untuk hidup serumah dalam satu ikatan sakral.
Maka malam itu juga, Martha telah mempersiapkan diri menunggu kedatangan tamu spesial. Dikenakanlah gaun terbaiknya, meski sempat mengundang tanya di hati putri-putrinya.
“Mau ke pesta?” sindir putri sulungnya bernada curiga.
“Mama cantik sekali malam ini, pasti sedang menunggu seseorang,” kali ini si Bungsu memuji.
“Siapa dia, Ma?” selidik putri keduanya.
Martha tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, sebab dering bel pintu lebih dulu berbunyi. Segera ia menuju beranda rumah. Ketiga putrinya menguntil di belakang tapi langkahnya merandek tepat di sisi gorden, dan melalui jendela kaca mereka mengintipnya. Tamu itu tak lain adalah sosok laki-laki yang pernah bertamu ke rumah ini.
“Ayo, anak-anak … berdandanlah secantik mungkin. Tamu itu mengajak kita makan di restoran terbaik di kota ini,” anjur Martha kepada ketiga putrinya, setelah lebih dulu mempersilakan tamunya duduk di ruang depan.
Tak ada sambutan gembira mendengar tawaran itu, sebaliknya mereka bersikap acuh, duduk-duduk santai di ruang tengah.
“Kalian tidak mau ikut?” tanya Martha heran. Ia memandangi satu per satu putrinya, melirik si Sulung yang asyik memainkan ponselnya, lalu menatap ke arah putri keduanya, dan terakhir memperhatikan ulah si Bungsu serius bersama Ipad-nya.
“Hei, … ada apa dengan kalian? Ayolah, jangan permalukan Mama di depan tamu itu dong. Dia ‘kan bermaksud baik,” bujuk Martha.
“Iya, baik untuk Mama belum tentu baik untuk kami.” Si Sulung yang menjawab, mewakili suara-suara adiknya.
Martha menoleh, “Mama tidak mengerti, bisa diperjelas?”
“Ingat baik-baik ya, Ma … apa yang Mama lakukan di Cafe Amor pada Kamis kemarin tepat jam tiga sore, duduk di meja nomor dua bersama seorang laki-laki berkemeja lengan panjang abu-abu, bercelana hitam dan berdasi biru tua … Ingatkah itu, Mama? … Bagus kalau Mama ingat. Seharusnya Mama juga ingat dengan sumpah yang dulu pernah diucapkan di atas makam Papa. Masih ingatkah sumpah itu, Mama?” tutur Rosa melontarkan lusinan kata-kata dalam intonasi tenang, namun meluncur deras seperti tumpahan air hujan. Membuat Martha, ibunya, berdiri kaku tak ubahnya seorang Terdakwa duduk di kursi pesakitan.
“Itu, … itu hanya pertemuan biasa, Sayang…" suara Martha tercekat seolah tenggelam dalam kubangan air. Gugup. Bagaimana mungkin mereka bisa menguntil sejauh itu?
"Salahkah Mama, sebagai pengacara memenuhi undangan seorang klien, membicarakan seputar kasus yang sedang Mama urus. Dan sekarang, klien itu hendak berterima kasih dengan mengajak kalian makan bersama. Apakah itu salah?”
“Tidak ada yang salah, Ma … sekalipun Mama mencintai dia, tidak ada yang perlu dipersalahkan. Itu hak Mama mencintai dan dicintai.”
Martha tertegun. Telinganya hampir tak percaya mendengar enunsiasi keluar dari mulut putri sulungnya, yang bulan depan akan merayakan hari seventeen-nya.
“Tidak, Sayang … cinta ini hanya untuk Papa seorang. Tak ada yang bisa menggantikannya, …”
“Sudahlah, Mama … semua sudah terang bagi kami,” tukas putri keduanya.
Martha semakin terpojok. Jelas ini bukan sandiwara yang diharapkan. Tidak tertulis dalam naskah. Ini sebuah realita. Dan Martha sepertinya kehabisan akal untuk berakting di depan anak-anak.
“Mama sungguh bingung, apa yang mesti Mama lakukan agar kalian ikut merasakan kebahagiaan ini.”
“Ini ‘kan acara Mama, …”
“Dan Mama-lah yang layak mendapatkan kebahagiaan itu …”
“Ma! … kasihan tamu itu terlalu lama menunggu,” cetus Reni, si Bungsu sekonyong-konyong.
Martha terperanjat namun hanya sebentar. Sesaat kemudian ia menciumi satu per satu kening anak-anak, lantas merapikan riasannya, sebelum akhirnya pergi bersama laki-laki itu meninggalkan rumah bercat kuning gading.
Walaupun hatinya bahagia menikmati makan malam di sebuah restoran terbaik berduaan bersama orang yang dicintai, tetapi terasa belum sempurna kebahagiaan itu tanpa kehadiran anak-anak. Terlebih meninggalkan mereka dalam sikap yang sukar dipahami.
Bagaimana bisa memahami sikap ketiga putrinya yang dulu begitu apriori dan sinis tiap kali berhubungan dengan laki-laki, tiba-tiba berubah dratis. Tidak saja menerima dan menyambut seorang pria di rumahnya, tetapi juga merestui hubungannya dengan Sammy, laki-laki yang dikenalnya setahun lalu. Benarkan mereka merestui hubungan kami?
Martha masih ingat penuturan si Sulung setelah setahun ditinggal kepergian suaminya.
“Mama jangan menikah lagi yach, … kasihan Papa di surga.”
“Percayalah, … Mama telah bersumpah di depan nisan Papa. Kalian dengar sendiri ‘kan?”
Saat itu mereka masih kanak-kanak. Tapi kini, … benarlah kata Sammy, mereka telah tumbuh dewasa. Pola pikirnya tidak senaif dulu. Dan masalah sumpah itu, ….. biarlah anak-anak mencari jawabnya sendiri.
Menjalang tengah malam, Martha baru pulang ke rumah dan didapati pintu gerbang tidak dikunci. Ia merasa heran. Bertambah heran sewaktu memasuki beranda rumah, matanya menyergap pucuk surat tergeletak di atas meja. Segera diambil dan dibaca surat itu.
Mama, … kami sekarang berada di rumah Nenek. Kami tak bisa pastikan kapan kembali pulang, namun Mama tak usah cemas. Kami baik-baik saja. Kami pergi bukan karena benci Mama telah menjalin hubungan serius dengan seorang laki-laki, tetapi kami tidak mungkin hidup bersama dalam satu atap dengan seorang calon ayah, yang lebih pantas sebagai Kakak daripada orang tua kami.
teriring salam dari putri-putri Mama
NB.
Mama … jangan lupa jemput Reni Senin lusa yah. Sekalian kebayanya dilaundry untuk acara Kartini-an di sekolah.
Butiran air bening tanpa diduga-duga meluncur begitu saja dari sudut kelopak matanya. Membasahi secarik kertas yang sedang ia genggam. Tulisan tangan di akhir surat tersebut, membuat perempuan paruh baya itu terduduk lesu dan menangis tersedu-sedu. Menangis karena ia hampir saja melupakan ulang tahun si Bungsu yang kebetulan bertepatan dengan tanggal kelahiran seorang pejuang wanita. Kartini ! …
***