AKU BODOH. YA AKU LELAKI BODOH. Penyesalan paling besar yang pertama kulakukan dalam hidupku. Sebab aku juga sulit mengerti dengan diriku sendiri akhir-akhir ini. Mengapa aku membiarkanmu kemarin pergi dengan benci. Biarkanmu menghapus segala yang sudah terjalin. Dan putus semua yang terajut. Karena aku marah. Aku murka. Oleh bodohku.
Kebodohan terbesar dalam hidupku bukan membiarkan cinta ini tumbuh di antara kita. Juga bukan menolak khilaf ini singgah di hati. Tidak! Kebodohan terbesarku adalah membiarkan cintamu berubah benci. Dan rasa sayangmu itu terhenti. Pergi. Kemana lagi aku bisa mencari? Segala indah yang diimpi telah mati. Lalu sepi. Lalu sedih. Demikian hari-hariku.
Pagi ini, kulewati jalan ini. Tapi tak seperti pagi lainnya dengan handphone menempel di telinga. Sebotol air mineral di tangan. Wajah masih separuh dibasuh. Langkah pasti menginjak dedaunan yang luruh. Bersandar senyum di bawah bangku ketapang. Mendengar riuh telponmu di antara desing kereta.
Tak ada lagi suaramu di seberang. Tak ada lagi kita bertukar kabar. Bertanya keadaan. Saling memompa semangat kerja. Mendesah rindu dan berhasrat menggapai keindahan. Yang kita impikan. Yang kental mengalir di setiap percakapan demi percakapan seolah tiada habis. Pantai, laut, pasir, gunung, kolam, dansa, wishky. Dan entah. Hingga geng keretamu bingung dengan perubahanmu. Yang sibuk menelpon setiap pagi. Seperti lupa menyapa mereka. Asing.
Dan ketika jalanan pagi ini berubah sepi tanpa suaramu. Aku galau lagi. Ya, izinkan aku galau lagi. Dengan cintaku padamu yang tak sedikit pun berubah dan rinduku yang tak pernah berkurang. Hujan mengguyur kotaku. Sampah berserakan di jalan. Kendaraan macet membentuk antrian panjang. Banjir dan lumpur menyerang. Aku terjebak di dalamnya. Mengapa aku tiba-tiba ingat kau? Ingat kata-katamu, seperti sabda Michel Foucault: tentang pria, cinta, kota, kuasa, wanita, harta, lalu amarah dan petaka?
Sepekan ini, aku bangun menikmati segelas air putih dan membaca warta kota yang tengah dihimpit duka perih. Ada hujan peluru misterius bersarang dari dada ke dada. Pagi siang malam. Tentang pemberontakan yang tiada pernah disudahi. Tentang korupsi dan air mata pejabat yang mengaduh mencari simpati rakyat, setelah salah. Oleh bodohku, kuanggap semua yang misterius ini seperti menganggap kata-kata cinta indahmu padaku. Dengan selusin mulut kotorku menistamu: perempuan mulut manis, penipu, penakut, dan entah! Duh!
Seperti polisi yang berjanji menangkap pelaku penembakan. Menenangkan warga di kota ini bahwa bakal tak ada korban lagi. Seperti itu pula kau menenangkan rasa cintaku dan hasrat memilikimu dengan berjanji akan pulang dan menemuiku. Dan aku mula-mula percaya, hilang resah dan curiga. Juga laksana jaksa dan hakim yang ingin segera memutuskan korupsi para pejabat. Menegakkan keadilan demi rakyat yang kalah dan tak berdaya. Demikian pun aku selalu memintamu mengambil keputusan. Menegakkan harga dirimu yang dilukai olehnya. Biar aku bisa lebih luas lapang mengobatimu hingga sembuh. Tiada kambuh.
Tetapi mengapa seperti para polisi bombay di kota ini. Juga bak jaksa dan hakim berdasi, kau selalu kuanggap tak bisa memberiku harapan nyaman, putusan tegak, dan kebebasan memilikimu? Mengapa aku bermain-main dengan pikiranku sendiri, menenun mata curiga dan memahat rasa tak percaya padamu? Lalu mengubah semua keindahan yang kita impikan jadi sampah kata, berubah emosi dan amarah yang terlampau cepat, seperti saat kau datang bulan, dengan amarah liarku tiada terkendali padamu?
Aku ingat, berapa kali kau kubuat menangis. Berapa kali kau kubuat merokok melebihi batas. Berapa kali kau kubuat membelokkan langkah dari jalan ke rumah untuk singgah di kafe sekedar menenangkan diri. Aku salah. Aku menyesal. Kita bertemu karena ketakbahagian di antara kita. Berkomitmen belajar dari luka yang telah kita alami. Dan mencintai dengan santun lembut. Tetapi mengapa aku gagal? Mengapa aku seperti lelaki pemarah yang kesurupan? Mengapa cintamu yang besar itu tak bisa kuubah jadi energi dan semangat menjalani hariku dan bangkit meraih mimpi kita? Duh!
Malam-malam, aku tidur dengan dada sesak. Berhari-hari, aksara dan keyboard di layar laptop yang menyala tanpa tersentuh jemariku sebulan terakhir. Deadline editingku molor takaruan. Tubuhku yang kurus dikuras energi cemburu yang teramat besar. Hingga asam lambung itu naik lagi. Kaki dan tangan berkeringat. Mata kunang-kunang. Wajah pucat pasi. Dan sakitku yang dulu, dua tahun lalu, ketika mereka menggotongku ke rumah sakit di malam-malam, kambuh lagi. Tepar. Terkapar.
Kadang aku bertanya pada diriku dengan bingung: apakah sakitku yang membuatku marah atau amarahku yang membuatku sakit? Aku sudah berusaha untuk menekan perasaan amarah ini, tetapi selalu pula aku gagal, gagal dan gagal lagi. Mulai dari terapi menulis lewat diary. Mengikuti Joseph Buttler untuk cool self-love: cinta diri yang tenang untuk menilai setiap kata dan perbuatanku. Kadang lewat relaksasi: berbaring sambil mendengar lagu. Atau yang sederhana sesuai anjuranmu, menarik nafas panjang dan jalan-jalan di halaman rumah.
Setahun terakhir, jauh sebelum kau datang, aku sebenarnya telah merasa asing dengan diriku sendiri: jarang senyum, sensitif, dan mudah marah. Aku pernah berkonsultasi dengan dokter spesial penyakit dalam dan menanyakan sakitku dengan amarahku. Dokter mengiyakan, ada hubungannya. Padahal, aku juga sadar, bukan narsis, aku cerdas secara intelek. Aku matang secara umur. Bahkan, sebelas tahun aku tinggal dan digembleng moralku di tempat khusus tentang kebaikan dan keburukan, yang mestinya buatku lebih dewasa dari dirimu yang tak selesai kuliah.
Aku juga punya potensi. Punya bakat dan kemampuan menulis. Di tengah sakit dan keterpurukanku, aku telah menunjukkan diri dengan mampu berkarya dan menghasilkan buku yang tak bisa dianggap kecil nilainya selama dua kali ini. Kepercayaan demi kepercayaan para pejabat mengalir. Harapan untuk bangkit meraih masa depan hadir. Tetapi semuanya itu sirna oleh amarahku. Oleh emosiku. Yang kadang liar tak terkendali. Seperti orang gila dan tak sadar. Dan setelah terjadi, menyesal lagi dan lagi.
Kutulis curahan hati ini agar kau harus tahu malam ini. Tentang rahasia hidupku yang sedikitnya memberi jawaban dari pertanyaan tentang diriku. Aku baru menyadari sedalam-dalamnya, semua amarah itu sesungguhnya lahir dari diriku yang haus kasih sayang, termasuk kasih sayang darimu. Rasa haus yang membuatku mencintaimu hingga sakit, sembari berharap bisa memilikimu dengan cepat, walau kutahu itu sulit dan berat. Rasa haus yang muncul dari masa laluku yang hitam. Tentang kurangnya kasih sayang dari ibuku yang bertangan besi. Tiada sama sekali perhatian dari ayahku yang cepat berpulang ke pangkuan-Nya. Sepertimu, aku tumbuh dalam ketiadaan. Padahal kau tahu, cinta adalah energi terbesar dalam hidup kita. Cinta yang membuat kita bisa semangat, kuat, dan hebat.
Aku masih ingat kisah masa lalumu yang kau ceritakan padaku bagai dongeng di saat-saat awal kita berkenalan. Bahwa sesungguhnya kita punya masa lalu yang mirip. Hanya saja, cara kita berbeda untuk mengatasinya. Kau lebih senang menegaskan kata-kata Erich Fromm, mencari penyaluran sesat sesaat yang katamu nikmat: ekstasi, rokok, mabuk dan menari. Sementara aku lebih memilih katharsis-nya Plato: memurnikan jiwa dengan kata-kata, puisi, cerita pendek, novel, dan diary.
Hingga kau yakin telah menang melawan masa lalumu di saat kita bertemu. Sementara aku masih berjuang melawan emosi, mengatasi amarah. Dan ketika dadaku ini masih sesak berbaring melukis wajahmu di langit-langit kamar setiap malam, apakah bijak kau tinggalkan aku, melepas cintamu dan pergi dengan benci yang berbunyi? Kembalilah, kembalilah, aku telah menemukan masa lalu hitamku. Aku ingin mengubahnya itu menjadi lebih cerah bersamamu. Bukankah itu pernah kau janjikan padaku?
Sesungguhnya aku lelaki romantis, penyayang, dan mencintai keindahan, sama seperti dirimu. Aku telah belajar dari kebodohan terbesarku kali ini dengan mengaca lebih dari sekedar bercermin. Aku juga tak sanggup lagi menyiksa dan menyakiti diri dengan marah dan marah lagi. Kuingin ikuti kebenaran kata-katamu yang selalu kau tulis di status facebookmu: berpikir postif, tersenyum gembira, semangat penuh harapan, dan mencintai dengan lembut. Kuingin kita bangkitkan kembali mimpi kita, bersama meraih masa depan, dengan semangat struggle for life yang sama.
Aku menulis ini, sejam sesudah lampu di rumahku padam. Dan aku tiba-tiba terbayang sedang berlari mengejarmu di atas pasir, memeluk dan menggendongmu menuju air laut, dan kita berenang bersama penuh senang. Aku ingin membalut luka yang kau tanggung selama ini, melarutkan setiap kata-kata laknat yang pernah kau terima, dan membasuh ludah yang pernah bersinggah di wajahmu, di dalam asinnya air laut cintaku.
Aku percaya, aku tak lelah menunggumu di senja yang kita sepakati. Aku percaya, kau masih memberi kesempatanku untuk menelponku di kereta pagi dan senja. Aku percaya, di antara seribu bencimu, masih ada satu cinta dan rindu yang terselip buatku. Datanglah, datanglah! Aku telah menunggu dengan seribu sesal dan salah. Kau abadi tak terganti. Kita bisa menjadi seperti yang kita mimpi. Peluklah aku penuh hangat dalam bayangan saat goresan hati ini kuakhiri. Jika rindu, telpon aku, sekarang!
GMR, Abepura-Jayapura, 09.06.12
(Maafkan Aku Telah Membuatmu Pergi Dengan Sakit)