Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Juara Buang Sampah Makanan Versus Distribusi Pangan dalam Islam

14 Juli 2024   06:21 Diperbarui: 14 Juli 2024   06:21 57 1
Juara Buang Sampah Makanan Versus Distribusi Pangan Dalam Islam

Ternyata, orang Indonesia paling "juara"  dalam hal membuang makanan, pun dalam skala ASEAN. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengungkapkan bahwa jumlah makanan yang terbuang di Indonesia sangat besar, bahkan terbesar se-ASEAN. Adapun provinsi yang penduduknya paling banyak membuang makanan adalah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Rugi Ratusan Triliun

Perihal ini, dokumen Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045 menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat fenomena susut dan sisa pangan  ini amat besar, yakni mencapai Rp551 triliun setiap tahun.

Angka ini sangat tinggi,  setara dengan 4-5% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Artinya, makanan yang terbuang tersebut  cukup untuk memberi makan 62% warga miskin di Indonesia yang mencapai 25,22 juta jiwa atau 9,03% dari seluruh penduduk.

Makanan pokok jenis beras dan jagung mendominasi barang yang dibuang.  Penyusutan dan sisa makanan pokok ini  terbuang mencapai 3,5 juta ton. Jika dibiarkan, beras/jagung yang terbuang pada 2045 bisa mencapai 5,6 juta ton.

Untuk mengantisipasi hilangnya potensi ekonomi akibat susut dan sisa pangan, Bappenas telah meluncurkan dua peta jalan. Pertama,  Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045. Kedua,  Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045. Namun, akankah kedua peta jalan ini efektif mengatasi susut dan sisa pangan?

Akibat Penerapan Sistem Kapitalisme

Masalah sampah makanan  bukan hal sepele. Solusinya harus dari hal mendasar, yaitu sistemik. Tidak cukup dengan  memanfaatkan sisa makanan yang masih layak dikonsumsi, namun kita juga harus memperhatikan aspek  yqng menjadi penyebab banyaknya sampah makanan.

Menggunungnya sampah makanan ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Kapitalisme meniscayakan perusahaan pangan melakukan produksi secara maksimal. Inovasi varian produk baru sangat mungkin terus dilakukan. Padahal secara realita tak semua produk yang diproduksi itu mampu terserap oleh pasar.

Sayangnya, produk yang tidak  terjual akan kadaluwarsa dan ditarik dari peredaran untuk dimusnahkan alias dibuang. Sebuah realita yang bikin trenyuh, saat mana di suatu tempat terjadi pemusnahan susu bayi kadaluwarsa, sementara di tempat lain banyak anak  mengalami stunting. Tak hanya makanan kadaluwarsa yang dibuang, makanan  yang masih layak makan juga dibuang akibat tidak laku di pasaran.

Buruknya Distribusi Pangan

Mayoritas makanan yang terbuang adalah beras dan jagung, padahal keduanya bahan pangan pokok. Impor beras oleh pemerintah seringkali bersamaan dengan  panen raya di dalam negeri hingga stok beras menumpuk di gudang. Akibat  lamanya di gudang, beras menjadi berkutu dan mengalami susut.

Hal ini sungguh ironis. Di satu sisi, banyak penduduk  miskin, bahkan mengalalami kemiskinan ekstrim. Mereka  tidak bisa makan nasi beras atau jagung, karena tidak mampu membelinya. Namun, di sisi lain banyak bakan makanan pokok  yang terbuang sia-sia. Hal ini nyata-nyata mencerminkan buruknya distribusi pangan dalam sistem yang ada.

Ketimpangan yang ada merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini fokus perhatiannya pada masalah produksi seraya abai pada distribusi. Akibatnya, bahan dan produk pangan banyak diproduksi, tetapi distribusinya tidak merata.  Kemiskinan selalu ada  dan  tidak kunjung selesai.

Masalah distribusi  merupakan tugas dan wewenang negara. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengatur distribusi pangan agar tidak menumpuk di gudang, melainkan sampai pada tangan rakyat yang menerlukan.  Pemerintah juga bisa membuat mekanisme agar makanan untuk balita yang tidak terserap oleh konsumen bisa didistribusikan pada warga yang membutuhkan. Dengan demikian  persoalan stunting bisa dihindari atau kelar diselesaikan.

Namun dalam sistem Kapitalisme distribusi tersebut tidak dilakukan, karena dianggap akan merugikan industri, yakni merusak pasar. Para kapitalis lebih memilih jalan pangan tersebut dimusnahkan daripada dikonsumsi oleh warga miskin.

Butuh Perubahan Sistemis

Faktor gaya hidup juga berperan dalam menghasilkan sampah makanan.  Sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, telah memunculkan perilaku masyarakat yang tidak bertanggung jawab terhadap makanan. Mereka dengan mudah membuang makanan sehingga sampahnya menumpuk.

Pemerintah telah abai dalam mengawasi industri agar tidak boros sumber daya. Penguasa lebih fokus pada upaya perolehan pajak yang besar dari industri dan menggenjot produksi demi tingginya pendapatan perkapita.

Demikianlah, persoalan sampah makanan bukanlah semata tentang gerakan daur ulang dan aksi sejenisnya, tetapi juga terkait dengan persepsi terhadap makanan, gaya hidup, sistem ekonomi, dan peran pemerintah. Untuk menyelesaikan persoalan sampah makanan membutuhkan solusi komprehensif dengan perubahan sistemis, yaitu dari sistem kapitalisme menuju sistem Islam.

Islam Memberi Solusi

Islam memosisikan makanan sebagai rezeki dari Allah Swt. bagi manusia. Berkat adanya makanan, manusia bisa hidup dan beraktivitas dengan baik.  Oleh karenanya, Allah Swt. memerintahkan kita untuk menghargai makanan dan tidak mencelanya.

Dari Abu Hurairah ra., "Nabi saw. tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun tidak memakannya." (HR Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064).

Akidah Islam mengajarkan pada umatnya untuk bersikap berhati-hati dalam hidup dan zuhud. Salah  satu wujudnya adalah tidak berlebih-lebihan dalam hal makanan. Allah Swt. berfirman, "Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan." (QS Al-A'raf [7]: 31).

Islam juga mengajarkan untuk tidak bersikap mubazir terhadap makanan. Allah Swt. berfirman, "Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros." (QS Al-Isra [17]: 26---27).

Seorang muslim hendaknya  meyakini dalam benak bahwa makanan yang ia miliki akan ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak pada hari akhir. Dengan begitu, ia tidak akan berlaku seenaknya dengan membuang-buang makanan atau rizki yang lain.

Semua aturan terkait pengelokaab makanan ada dalam syariat Islam secara kafah yang diterapkan oleh Islam. Negara akan menanamkan kepribadian Islam melalui kurikulum pendidikan sehingga zuhud menjadi gaya hidup masyarakat. Sementara masyarakat juga akan terpola untuk makan secukupnya, tidak berlebih-lebihan.

Negara juga akan mengawasi industri agar tidak ada praktik membuang-buang makanan. Di dalam sistem Islam, makanan diproduksi secukupnya, sesuai dengan kebutuhan pasar yang dihitung secara cermat. Jika ada industri atau pelaku usaha yang terbukti membuang-buang makanan, negara akan memberikan sanksi tegas.

Selanjutnya, negara akan  mendistribusikan bahan makanan pada warga yang membutuhkan hingga tidak ada lagi rakyat yang miskin dan tidak bisa makan. Di samping itu, negara menyediakan dana yang besar dari baitulmal, untuk memastikan tiap-tiap rakyat bisa makan secara layak.

Negara memfasilitasi warganya yang memiliki kelebihan harta untuk menyedekahkannya pada orang-orang yang membutuhkan.  Sikap semacam ini  pernah dicontohkan oleh Umar bin Khaththab ketika beliau menolak makan daging karena rakyatnya sedang mengalami krisis pangan. Dengan semua mekanisme syar'i ini persoalan susut dan sisa makanan akan terselesaikan secara tuntas.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun