Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyatakan prihatin atas adanya racun berupa gandrungnya polisi terhadap judi online . "Ketika Polri tengah sibuk melakukan penindakan terhadap pelaku , justru anggotanya sendiri main judi online, padahal itu pun pidana." (Republika, 13-6-2024).
Kecanduan judi online oleh penegak hukum ini tentu menjadi masalah. Dipastikan mental gandrung judi ini memengaruhi fungsi strategis hal pelayanan, perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum.
Pakar Ilmu Hukum Pidana Khusus dari Universitas Jenderal Soedirman Prof. Agus Raharjo menyinggung soal adanya  satgas judi online yang ada, seharusnya  bukan dibentuk untuk mreaksi terhadap kasus-kasus viral.  Menurutnya, hal yang  harus dilakukan justru melakukan evaluasi terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam memberantas judi online. (Tempo, 14-6-2024).
Penyebab  Utama
Hal yang menjadi pemicu utama adanya judi online adalah  duterapkannya sistem kapitalisme. Sistem yang sekuler ini melekat padanya azaz manfaat seraya membuang peran agama dalam mengatur perbuatan manusia. Sistem ini meniscayakan sikap menghalalkan segaql cara untuk mendapatkan harta. Judi pun dilakukan demi impian beroleh harta. Bahkan penyedia perjudian menyiapkan hiburan untuk daya tarik bagi pengguna dalam bentuk game. Muncullah aplikasi game yang tujuannya untuk perjudian.
Lenyapnya saldo dalam rekening suami karena untuk main judi tentu menyulut emosi istri, terlebih saat kebutuhan membengkak.
Meski demikian,  tidak juga dibenarkan  untuk mengambil tindakan yang berakibat lenyapnya nyawa manusia. Game mengandung judi itu bersifat adiktif membuat pelakunya kecanduan. Membuat pelakunya kehilangan akal sehatnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman meminta Polri agar rutin memeriksa gawai anggotanya , demi mencegah praktik judi online. Langkah tersebut guna meningkatkan kewaspadaan Polri.
Kasus kecanduan judi online ternyata tidak hanya terjadi pada aparat kepolisian. Hal serupa  juga dialami oleh anggota Dewan di suatu daerah. Dalam penerapan sistem kapitalisme, profesi apa pun sangat mungkin terpapar judi online karena perjudian ini mudah diakses khalayak manapun. Adapun tentang sanksi, bila oknum aparat yang terlibat judi online hanya diberikan sanksi teguran, bagaimana dengan penegak hukum yang lain? Â
Tentunya sangat disayangkan ketika aparat penegak hukum malah melanggar hukum. Berarti mereka telah melanggar UU 1/2023 KUHP tentang Pelarangan Perjudian di Indonesia, dan UU 1/2024 tentang Perubahan Kedua atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Alangkah lemahnya  penegakan hukum di negeri ini.
Rapor Merah  Penegak Hukum
Kasus judi di lembaga kepolisian ini semestinya membuka mata publik bahwa lembaga penegakan hukum dalam sistem demokrasi tidak menjamin kepastian dan keadilan. Jika demikian, pada siapa publik menaruh kepercayaan atas jaminan penegakan hukum yang adil?
Lagi-lagi Ironi
Terkait kasus ini, Menko PMK Muhadjir Effendy berpendapat bahwa korban judi online dimasukkan ke Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai penerima bantuan sosial. Ia mengatakan dampak judi online mengakibatkan banyak masyarakat jatuh miskin. (Detik News, 14-6-2024).
Sepintas, pendapat itu menjadi alternatif solusi atas problem kesejahteraan. Sayangnya, solusi itu ibarat hanya memadamkan sesaat api yang sedang menyala, sedangkan sumber api tidak kunjung dipadamkan. Pun dengan sasaeqn tqng tidqk tepat.
Sehaarusnya menjadi hal yang mudah bagi kepolisian untuk menuntaskan masalah judi online. Bahkan bukan sekadar menangkap bandar judi dan menciduk para mafianya seraya menutup akses secara permanen semua aplikasi dan jaringan judi online.
Anehnya, penegak hukum seolah tak nerdaya menghadapi para bandar judi online. Â Diduga mereka memiliki sejumlah "back up" yang kuat yang berasal juga dari oknum terkait. Di sinilah nampak jelas kebusukan dari sistem Kapitalisme yang menghalakan segala cara, asalkan memperoleh keuntungan. Bila demikian, kapan lingkaran isetan ni bisa diputus?
Solusi Islam
Rusaknya suatu institusi tidak terlepas dari sistem yang diterapkan negara, yaitu Kapitalisme sekuler. Bila hendak, memperbaiki institusi kepolisian, harus haruslah dari perkara yang mendasar yaitu dengan menerapkan sistem Islam. Karena telah terbukti bahwa sistem kapitalisme adalah rusak dan merusak.
Pada sistem Islam, negara sangat selektif dalam merekrut seseorang menjadi aparat penegak hukum. Terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi terutama perihal ketakwaan.
Tercatat dalam sejarah Kekhalifahan Abbasiyah. Kepolisian pada masa itu diangkat dengan dasar keilmuan, ketakwaan, penguasaan fikih, dan mereka yang menegakkan hukum Allah. Ada seorang kepala kepolisian bernama Ibrahim bin Husain. Ia orang mulia, baik, ahli fikih, dan menguasai tafsir. Kisahnya cukup mashur  dalam menghukum orang yang telah bersumpah palsu (lihat Kitab Tabshiratu al-Hukkam).
Orang-orang yang akan tergabung dalam kepolisian akan diseleksi dengan sangat ketat. Itu karena mereka adalah orang-orang yang menegakkan seluruh hukum Allah Taala. Tanggung jawab mereka bukan hanya kepada negara, melainkan kepada Allah. Jika perangai dan akhlak mereka rusak, bagaimana mungkin bisa menjadi penegak hukum?
Berikut beberapa tindakan tegas negara terhadap aparat penegak hukum yang melanggar aturan negara. Pertama, memecat kepala kepolisian yang rusak, tak tepat dalam melakukan eksekusi, atau tanpa menggunakan bukti.
Kedua, memaksa kepala kepolisian yang lalai menjalankan tugasnya untuk segera memperbaiki kesalahannya dan kepadanya diberikan sanksi sepadan perbuatan. Hal ini agar bisa mencegah terjadinya bahaya tersebarnya kesalahan tersebut di tengah masyarakat.
Ketiga, memberikan sanksi tegas bagi anggota yang terlibat kasus seperti judi, narkoba, korupsi, dan sebagainya. Bukan sekadar teguran, melainkan pemecatan. Hal tersebut dilakukan demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian.
Sungguh, kembalinya sistem Islam merupakan kebutuhan, di samping keniscayaan. Sejarah kegemilangan dan sederet catatan prestasi penegakan hukum dalam sistem Islam bisa kembali kita rasakan jika memperjuangkan penegakan sistem Islam.