"Alam memang tak pernah bersahabat denganku, bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan tulisan yang membutuhkan suasana menegangkan? Sedangkan alam begitu indah hari ini," ia menggerutu sembari menyesap teh yang bahkan permukaannya hampir menyentuh dasar cangkir.
Wanita manis dengan kacamata itu adalah Naura. Seorang novelis romance yang baru saja pindah haluan untuk menulis cerita misteri. Tentu saja itu dilakukannya demi beberapa lembaran rupiah. Meskipun itu berlawanan dengan dirinya yang merupakan tipe melankolis pecinta genre romance yang menguras air mata. Namun apa daya, terlalu banyak novelis genre romance di luaran sana. Jangankan beberapa lembar rupiah, satu lembar saja sangat sulit di dapatnya.
Niatnya berubah haluan tak sepenuhnya berjalan lancar. Naura sangat kesulitan membangun suasana cerita misteri. Setiap ia mencoba menulis, justru suasana romantis yang sering muncul. Seperti hari ini, ia masih belum beralih dari tempat duduknya. Setelah semalaman mencoba merangkai kata. Hal itu menjadikan paginya begitu berantakan.
Setelah memikirkan, dia memutuskan untuk pindah ke rumah yang dulu dihuni eyangnya. Meski sudah hampir sepuluh tahun dia tidak mengunjungi rumah yang terletak di ujung timur pulau Jawa itu. Tetapi ia masih mengingat betapa menyeramkannya rumah tua itu. Bergegas Naura memesan tiket pesawat. Diapun bersiap untuk terbang ke kampung halaman orang tuanya.
Setelah satu setengah jam perjalanan, akhirnya dia sampai di sebuah bandara kecil yang sudah tidak pernah lagi diinjak sejak kematian eyangnya. Dari Bandara, ia masih harus melanjutkan perjalanan darat selama lebih dari empat jam menggunakan mobil travel. Karena terlalu lelah, ia tertidur. Sampai tepukan halus sang sopir membangunkannya.
"Mbak sudah sampai, barang dibagasi sudah saya turunkan," ucap sang sopir dengan nada rendah.
"Ia pak, terimakasih," jawab Naura sambil turun dan mulai menarik pegangan kopernya.
Setelah turun dari travel, wanita yang sudah kehilangan ayahnya semenjak usia enam tahun ini, melanjutkan perjalanan. Ia menyusuri sebuah jalan setapak yang kering. Jalan itu begitu sepi dengan pohon-pohon jati berjajar di setiap sisi. Di sepanjang jalan terdengar suara gemerisik yang timbul dari daun-daun jati kering yang gugur. Daun itu bergesekan satu sama lain akibat tiupan angin. Dua puluh menit berjalan, wanita dengan kaos hitam itu sampai di sebuah rumah yang lumayan besar. Halamannya begitu luas dengan pohon sawo yang berbuah lebat. Rumahnya beratap limas dengan kursi goyang masih setia berada di pojok teras. Meski sudah bertahun-tahun ditinggal pemiliknya. Masih sama, rumah ini selalu memunculkan ketakutan dalam diri Naura.
Eyang Naura atau orang setempat memanggilnya eyang Karti adalah orang paling kaya di kampung. Bahkan kekayaannya tidak akan habis tujuh turunan. Hampir semua sawah dan tanah di kampung itu adalah miliknya. Mayoritas mata pencaharian warga adalah mengelola sawah dan hutan jati milik eyang Karti. Ia hanya memiliki seorang pewaris yaitu ayah Naura. Namun, semenjak ayah Naura meninggal akibat kecelakaan kerja. Semua harta eyang Karti dikelola oleh anak angkat keluarga tersebut bernama Pambudi. Naura dan ibunya memilih pergi ke kota dan memulai hidup baru. Disaat Naura tengah mengumpulkan puing-puing memori tentang rumah itu. Tiba-tiba ia tersentak karena sebuah tepukan di pundaknya.
"Cah ayu, kamu sudah besar sekarang dan akhirnya kembali ke sini," ucap seorang laki-laki berperawakan tinggi besar dengan sapaan hangat.
Laki-laki itu adalah orang yang sudah ia anggap paman. Meski seorang anak angkat, keluarga Naura sangat berhutang budi pada paman Pambudi. Dialah yang menggantikan peran ayah Naura untuk mengurus eyang sampai meninggal dunia. Setelahnya, Naura diajak masuk dan ia memilih kamar di pojok. Itu adalah kamar orang tuanya dulu.
Ketika malam tiba, wanita berambut ikal ini kembali mengeluarkan laptopnya. Belum genap satu halaman dia menulis, tiba-tiba dia mendengar suara dari arah depan. Suaranya seperti hentakan kaki kursi goyang. Karena penasaran, ia mencoba melihat ke depan. Benar saja, ia melihat kursi di pojokan teras tengah bergoyang. Naura kembali berpikir positif, bahwa itu hanya tertiup angin. Ia bergegas kembali menutup tirai, namun belum sampai tertutup sempurna terlihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri menatapnya di depan rumah. Laki-laki itu memaki sebuah caping yang menutupi separuh wajahnya. Hanya terlihat sebagian bibirnya yang samar tersungging. Tak lupa parang besar yang di bawa laki-laki itu membuatnya terlihat lebih menakutkan. Karena ketakutan, Naura segera kembali ke kamar. Tidak lama kemudian terdengar pintunya di gedor. Semakin lama, gedoran itu semakin keras. Setelahnya ia mendengar pintu depan terbuka dan suara jejak kaki semakin mendekat. Sampai giliran pintu kamarnya yang digedor, Naura benar-benar ketakutan. Namun ia kembali tenang setelah terdengar suara pamannya.
"Naura kamu kenapa cah ayu?" ucap Pambudi sambil terus menggedor pintu.
"Paman, tadi ada orang aneh di depan rumah," jawab Naura masih dengan keringat dingin yang membasahi tubuhnya.
"Kamu tenang ya, mungkin perampok. Kamu tidur saja, biar paman tidur di depan untuk jaga. Nanti paman panggil bulekmu untuk menemanimu," ucap lelaki itu menenangkan.
***
Bukan hanya sekali, laki-laki bercaping itu selalu datang setiap malam. Hanya berdiam dan menggedor, kemudian pergi ketika paman Pambudi datang. Kejadian yang terjadi setiap malam, bukan satu-satunya kejadian aneh yang menimpa Naura. Suatu pagi di hari ke tujuh, Naura menemukan secarik kertas dengan tulisan berwarna merah seperti darah. Dalam kertas itu hanya ada beberapa huruf yang di jajar 'ATRAHAT UBIDUB MAPKAPAB MUITAM'. Naurapun tidak mengerti maksutnya. Karena penasaran ia mencoba mengutak-atik huruf yang berjajar itu. Namun masih saja gagal. Hingga dua hari kemudian dia baru bisa menyusunnya. Betapa terkejutnya Naura, setelah melihat deretan huruf yang telah berubah menjadi susunan kata 'HARTA BUTA PAMBUDI BAPAKMU MATI'. Namun ia tidak mau terlalu memikirkan, lagi pula dia juga tidak mengerti maksutnya. Naura tidak mau terlalu banyak berprasangka.
Di hari ke sebelas, Naura melihat sebuah keanehan lagi. Ketika ia hendak berkeliling Desa mencari udara segar. Tidak ada seorangpun yang dia temui di jalan mau menjawab sapaannya. Mereka hanya diam, seolah menganggap Naura tidak pernah ada. Sampai di persimpangan ia melihat seorang lelaki tinggi besar tengah mengangkut kayu. Lelaki itu adalah orang yang beberapa malam berdiri di depan rumahnya. Sontak, Naura berteriak memanggil. Karena tidak mungkin jika lelaki itu perampok, ia masih menampakkan batang hidungnya di siang bolong dengan penampilan yang sama.
Namun bukannya berhenti, lelaki itu justru bergegas pergi dan meninggalkan kayu-kayunya. Naura sedikit berlari mengejarnya, sampai mereka tiba di pinggir hutan jati. Lelaki itu terus menerobos masuk, dan tanpa pikir panjang Naura masih saja mengikuti. Tiba-tiba laki-laki itu berhenti, berbalik dan justru menghampiri Naura. Tangan Naura sudah gemetar, ingin rasanya dia berlari dan berteriak. Namun tubuhnya kaku, diam di tempat. Kemudian, tangan Naura ditarik paksa sampai mereka menjumpai sebuah rumah kecil di tengah hutan. Setelah sampai di dalam, lelaki itu membuka capingnya. Samar-samar dia sedikit mengingat wajah laki-laki itu. Namun dia benar-benar lupa siapa lelaki berperawakan tinggi besar itu. Karena bekas sayatan yang mengering, menyamarkan wajahnya.
Laki-laki itu membuka mulutnya, "tenanglah, jangan takut, aku bukan orang jahat!"
Dengan gemetar Naura memberanikan diri bertanya, "lalu siapa kau, kenapa setiap malam menakutiku dengan berdiri di depan rumah?"
"Aku adalah Prapto, sahabat baik ayahmu. Aku hanya ingin mengingatkanmu untuk berhati-hati, segeralah pulang, tempat ini tidak aman untukmu!" Ucapnya terlihat khawatir.