Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Mosalaki dalam Perspektif Politik, Sosiologis, Pemerintahan

19 Februari 2024   19:38 Diperbarui: 5 Maret 2024   11:23 101 1


A. PENDAHULUAN


Kehadiran Mosalaki dapat dilihat dari berbagai perspektif atau cara pandang. Tergantung pada saat mana, dimana, dan oleh siapa. Mosalaki yang kita pahami sebagai suatu model kepemimpinan kolegial (bersama ) dapat diinterpretasi secara subyektif oleh siapapun berdasarkan dimensi atau ukuran tertentu; paling tidak pada waktu kapan, di tempat mana, dan / atau  berdasarkan sudut pandang orang tertentu. Artinya bahwa eksistensi Mosalaki bukan segala-galanya dan juga tidak dapat dianggap sepeleh. Salah satu agenda yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu ( AMATT ) dengan melaksanakan seminar di Desa Saga, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, beberapa waktu lalu,  hendaknya ikut memberikan kontribusi konstruktif bagi pemahaman terhadap kedudukan dan peran Mosalaki dalam sistem Adat Lio sesuai dengan wilayah hukum adat  ( keulayatanya) dimana ia berada. Dalam konteks pertemuan itu, para pemikir kontemporer dengan aliran post positifistiknya mencoba membangun sebuah pemahaman yang interpretatif terhadap eksistensi Mosalaki bersama lingkunganya. Ada apa dibalik keberadaan Mosalaki diantara sistem sosialnya ?, bagaimana kedudukan Mosalaki dalam sistem adatnya ?, Mengapa Mosalaki selalu menjadi perhatian dalam proses pemerintahan, politik, dan pembangunan ? pertanyaan-pertanyaan di atas bukan retorika tetapi akan menjadi batasan bagi pemberian argumentasi yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Hal ini tentunya berangkat dari beberap argumen tasi konseptual kultural antara lain : Mosalaki adalah sebuah pranata yang sah dalam sistem sosialnya, Mosalaki adalah sebuah sistem kepemimpinan kolegial, personafikasi dari sebuah sistem abstrak yang sangat sakral, Mosalaki adalah seperangkat nilai yang perlu digali, dimanfaatkan dan dilestarikan dan segudang argumen lainnya yang sarat makna dan kontekstual.

Mosalaki adalah sebutan khusus pemimpin tradisonai. Kepala Adat, Pemimpin Wilayah Persekutuan Adat, Penguasa Adat di wilayah Kabupaten Ende. Flores NTT, Indonesia. Mosalaki terdiri atas dua suku kata “Mosa : Jantan /tangguh/Kuat/hebat, Laki :  bisa disebut Tuan, atau oleh Paul Arndt dalam Patrizia Wakers bahwa dalam bahasa Lio “Iaki” dipahami sebagai klasifikasi  atau kata bilangan untuk pribadi manusia. Selain itu ada sebutan Ata Ria ( orang besar/kuat) ata : orang, ria : besar/tangguh/kuat. Kedua istilah ini kadang dibedakan dengan Mosalaki karena tidak semua Ata Ria itu Mosalaki. Ata Ria bisa dilekatkan kepada setiap pemimpin pada semua level. Penyebutan apapun kepada para pemimpin adat di Lio sebagaimana gambaran singkat diatas sesunguhnya secara sosio kultural terikat pada beberapa elemen utama : a. ada kekuatan supranatural yang menjadi panutan secara skaral.( dua nggae geta lulu wula, ghale wena tana: penguasa tertinggi  diatas langit tertinggi, dan dibawah bumi terdalam) b. Ada pemimpin sebelumnya yang menjadi pewarsinya secara lurus turun temurun ( genealogis)  ( Embu Mamo : nenek moyang/leluhur pewaris kekuasaan) c.ada wilayah adat ( “tana watu” : tanah dan batu ), baik yang terdiri dari beberapa wilayaah dalm bersatu dalam sebuah persekutuan adat, atau wilayah tunggal  d. ada warga adat ( ana kalo fai walu ), e. Ada tempat adat yang terdiri dari beberapa sarana pendukung untuk area tinggal, ceremony, kuburan leluhur, tempat sesajen yang disebut beberapa disini seperti : Sao Ria : rumah adat besar, keda Kanga : pelataran upacara adat dengan beberapa kelengkaapaan lainnnya, Tubu Musu : Tugu sesembahan saat upacara adat, Rate : kuburan leluhur, dan masih banyak lainnnya disekitar area ini, f. Nggua : ceremony adat tahunan. Tulisan ini tidak akan menjangkau seluruh ulasan tentang hal ini karena penuli membatasi diri pada pembahasan pemimpin adat di daerah ini dalam beberapa perspektif. 


Secara empirik, Mosalaki berada diantara sekian lembaga politik, lembaga formal pemerintahan, lembaga sosial lainnya yang ikut memberi warna bagi keberadaan, kedudukan, peran dan fungsinya. Warna kehadiran Mosalaki diantara berbagai komponen inilah yang menarik untuk ditelaah secara praktis, manakala ditarik dalam perspektif tiga dimensi pokok yaitu ; dimensi waktu, manusia penilai, dan tempat dimana berada. Berdasarkan berbagai cara pandang dan pendekatan untuk menterjemahkan kedudukan dan peran Mosalaki, maka tulisan  ini akan berangkat dari sudut pandang sosiologis, kultural, politis, lalu menukik pada pandangan dari sudut pandang pemerintahan dan pembangunan. Kontreks tulisan ini tentunya merupakan sebuah argumen yang disampaikan secara subyektif, artinya bahwa siapapun Mosalaki, ketika ia ditempatkan dalam konteks tertentu akan memiliki nilai dan makna yang tidak harus sesuai persis dengan esensinya pada momentum dan kesempatan lain. Mari kita menempatkan dia secara proporsional menurut perspektif yang tepat sehingga kesimpulan yang ditarikpun tidak bias makna tetapi kontesktual. Ada pepatah Lio tentang bagaimana menempatkan secara tepat sesorang atau seseorang menempatkan diri dalam dimensi ruang dan waktu "Kura faja no'o lowo-lowo, ro'a loka no'o keli-keli"( si udang lincah dari sungai ke sungai,  sang monyet boleh lincah dari bukit ke bukit ). Katakanlah dalam sistem politik, Mosalaki merupakan bagian atau sub sistem dalam struktur infra yang kedudukan dan peran sebagaimana Mosalaki dalam sistem Adatnya akan bergeser. Demikian pula dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan. Kedudukan dan peran Mosalaki akan tidak sepadan dengan kedudukan dan peran sebagaimana dalam konteks wilayah persekutuanya. Lebih jauh tentang ini, dapat diikuti dalam pembahasan di bawah ini.


B. PANDANGAN TERHADAP EKSISTENSI MOSALAKI.

           1. Tinjauan dari Perspektif Soliologis.


Dalam kajian  ilmu sosiologis, umumnya setiap sistem sosial pasti terdiri atas struktur, fungsi dan kultur. Untuk menjalankan ketiga aspek tersebut dibutuhkan berbagai pranata sosial, sebagai wadah yang menampung, membentuk dan melaksanakanya. Secara empiris dan berdasarkan beberapa peniliti adat Lio seperti : Paul Arndt,SVD, P. Sareng Orinbao, Peneliti Jerman Signe Howell, dan Patricia Wackers, bahwa  Mosalaki adalah salah satu lembaga kepemimpinan bersama dan sistem Adat Lio. Dalam bahasa sosiologis disebut kepemimpinan Kolegial atau yang lazim sebut dengan Persekutuan Mosalaki. Sebagai sekelompok pemimpin, atau Dewan Mosalaki, atau persekutuan Mosalaki, keberadaanya tidak sendiri-sendiri atau orang-perorangan baik dalam konteks pemegangan dan pengelolaan kekuasaan maupun dalam pembuatan keputusan. Untuk itu penilaian terhadap jenis kepemimpinan Mosalaki harus tetap dilihat sebagai bentuk kepemimpinan kolegial. Sifat dasarnya adalah model pemimpin genealogis yaitu dipilih dan ditetapkan berdasarkan garis keturunan darah lurus.

Dalam sistem adat Lio, terdapat empat komponen dominan yaitu : pertama : Dua Nggae-Gheta Lulu Wula, Ghale Wena Tana, sebagai wujud tertinggi penguasa langit dan bumi dan Embu Mamo sebagai wujud pewaris keturunan Mosalaki, kedua : tana watu sebagai simbol kekuasaan secara teritorial, dan wujud pijakan kesejahteraan Ketiga : Mosalaki sebagai agen daripada wujud tertinggi ( Dua Nggae dan embu mamo ) di bumi dengan kedudukan  sebagai pemimpin dan berperan menjalankan berbagai aturan adat yang diyakini sebagai amanah Dua Nggae dan embu mamo. Keempat : "ana kalo fai walu"  sebagai unsur warga adat yang berasal dari satu turunan  suku dan berada dalam suatu wilayah persekutuan adat, yang wajib diayomi sesuai dengan titah sang tertinggi, antara lain untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran melalui pembagian lahan secara adil dan bijaksana. Keempat komponen ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Struktur Mosalaki dalam adat Lio dikenal padat fungsi dan terbagi secara samar dalam struktur yang lasim, seperti : ada Mosalaki Pu'u, ( Mosalaki Utama ) ada Mosalaki Ria Bewa,( Ria : Besar, Bewa : Panjang Tim Mosalaki sesuai jangkauan dan besaran fungsi dan peran ) dan sebagainya, walau berbeda antar  wilayah persekutuan. Ada pembagian tugas dan peran yang didasarkan pada kedudukan secara historis dan genealogis. Struktur terbagi secara tersamar, karena dipahami bahwa antara Mosalaki tidak saling subordinat ( tidak saling membawahi), tetapi subservient ( saling melengkapi dalam pelayanan  adat ) sesuai tugas pokok dan fungsinya. Dalam prakteknya saling berbagi peran dan tugas sebagaimana terurai menurut sejarah kepemimpinan genealogis Mosalaki bersangkutan. Komunikasi dalam struktur Mosalaki lebih bersifat fungsional ketimbang struktural, sehingga kesan komando tidak ada, tetapi sharing peran dan tugas yang langsung dipahami secara genealogis. Setiap Mosalaki memahami akan kedudukan, tugas dan fungsinya pada setiap momentum adat. Hal ini tidak nampak dalam keseharian tetapi lebih menonjol pada saat upacara adat. Keseharian seorang Mosalaki terikat pada dimensi ruang dan waktu, sehingga statusnya juga kental dengan tempat dimana ia berada ( wilayah persekutuan atau tana watu), dan kapan terjadi peristiwa adat ( seremoni adat). Dengan demikian ia harus menempatkan diri secara proporsional dengan memperhatikan dua dimensi ini secara ketat . Hal ini perlu dipahami agar status ke-Mosalaki-an tetap memiliki nilai dan makna dimanapun dan kapanpun ia berada. Pengharagaan terhadap nilai ke-Mosalaki- an ini harus tercermin dari ekspresi yang proporsional dengan menjunjung semangat “ kura faja no’o lowo-lowo, roa loka no’o keli-keli”. Dengan demikian Mosalaki tetap mendapat penghormatan yang pantas di luar wilayah adatnya, dan mendapatkan penghargaan yang sepadan pada setiap suasana. Sehingga seorang Mosalaki tidak berpayah-payah mengejar kehormatan atau mengemis penghargaan dari pihak lain ketika berada di luar wilayah adatnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun