Aku tidak begitu tertarik menikmati ramainya acara yang disajikan. Aku lebih banyak gunakan waktu ngobrol dengan kawan Muchin Simatupang yang datang dari Banda Aceh. Kami berdua agak tersisih dari kegiatan ini, karena sudah banyak peserta dan panitia yang tidak kami kenal. Dan, kami sudah lama tidak ikut serta lagi menggarap program anak. Mojok di sudut warung memperhatikan kegiatan dari jauh sambil ngobrol bernostalgia atau melanjutkan diskusi kami di dunia maya. Pernah aku dan Muchin ingin merancang “Strategi Meningkatkan Minat Anak Menulis”. Tapi rancangan itu tak tuntas selesai. Aku tak konsisten terlalu malas menyusun tahapan pelaksanaan program secara konvensionil (?) agar bisa diterima instansi terkait. Kalau kita sodorkan konsep yang unkonvensionil tidak sesuai norma aturan yang sudah ditetapkan negara, mungkin trawarkan tidak diterima. Belakangan ini aku memang terobsesi metode metode unkonvensionil. Sedangkan Muchin bersemangat karena melihat rancangan kami apabila di terima depdikbud, pasti akan menghasilkan kerja simpatik sekaligus kantongi duit.
Dari buku Panduan yang diterbitkan, kita bisa membaca pergeseran misi visi gerakan anak sejak awal tahun 80-an, tahun 90-an dan saat sekarang ini. Tiga decade gerakan anak harus bergeser menyesuaikan diri dengan era globalisasi.
Supaya pemahaman pembaca tidak keliru bersalahan, ada baiknya kita ikuti kisah tentang pergeseran tersebut langsung diringkas dari buku: Refleksi 30 Tahun Gerakan Anak Indonesia.
Periode 80: Zaman Normalisasi
‘‘Melihat pendidikan sebagai dunia tertakluk, sebagian mantan aktivis mahasiswa 78 yang berhimpun di Olah Kreasi Seni Anak Merdeka dan Olah Kreatif Anak menjadi (Sang) pemula untuk mempromosikan pendidikan alternatif, yang dikemudian hari dikenal sebagai pendidikan hadapmasalah. Dengan lantang mereka melakukan kritik terhadap sistem pendidikan dengan mengajukan pertanyaan: Apa beda pendidikan untuk anjing dan pendidikan untuk anak? Jawabnya adalah: Anjing dididik untuk menghibur atau menyenangkan Tuannya karena bisa menuruti semua perintah diberikan. Sementara Anak-anak dididik untuk bisa memahami persoalan yang dihadapi sekaligus mencari jalan keluarnya serta dilatih kesadarannya untuk melakukan pengaturan diri sendiri oleh mereka sendiri. Pertanyaan dan jawaban yang diajukan mengemakan kembali pikiran Ivan Illich tentang bebas dari sekolah dan pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan kaum tertindas.
kehadiran anak-anak yang hidup di jalan dianggap sebagai menyimpang. Tidaklah mengherankan kalau kehadirannya segera dicap mengganggu ketertiban umum dan oleh karenanya harus didisiplinkan. Untuk menandingi materi-materi yang di(h)ajarkan dalam sekolah formal, lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pendidikan alternative mengembangkan modul-modul pembelajaran melalui gambar bercerita, gambar kelompok, musik lingkungan, drama sampai modul diskusi kelompok. Dalam periode 1980-an ini, pendidikan menjadi medan yang penting untuk memaknai anak-anak. Bila Negara dan elit nasional menggunakan seragam sebagai teknik yang penting untuk melakukan kontrol maka aktivis anak-anak menandinginya dengan mengajarkan menggali budaya lokal yang majemuk.
Periode 90: Zaman Pendisiplinan
Awal ‘90-an, perhatian mengenai anak-anak tidak lagi didominasi oleh medan pendidikan tetapi mulai digantikan oleh gagasan mengenai identitas anak Indonesia. Pada saat itu kehadiran anak-anak jalanan dirasakan mencoreng keberhasilan pembangunan yang didengung-dengungkan selama ini. Berdasarkan relasi dengan keluarga, setidaknya ada dua kategori: anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup dijalan. Yang disebut pertama masih berhubungan dengan keluarga sedangkan yang terakhir sudah putus hubungan dengan keluarga.. Kehadiran anak-anak yang hidup di jalan dianggap sebagai menyimpang. Tidaklah mengherankan kalau kehadirannya segera dicap mengganggu ketertiban umum dan oleh karenanya harus didisiplinkan dan (1990) mencapai titik puncaknya dengan dicanangkannya Gerakan Disiplin Nasional.
Sementara itu organisasi non-pemerintah sebagai lembaga alternatif dari pemerintah tidak memandang anak jalanan sebagai anak-anak yang menyimpang dan karena itu harus ditertibkan tetapi sebaliknya yaitu menempatkannya sebagai anak-anak seharusnya mendapat perlindungan. Pada saat yang sama, gerakan untuk melindungi anak-anak yang dilakukan oleh organisasi non pemerintah mendapat dukungan dari lembaga-lembaga internasional pun mulai terbuka. Tingginya mobilitas anak-anak yang hidup di jalan, membuat penanganan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi non-pemerintah pun berubah. Jaringan antar anak jalanan sudah terbentuk sebelum program lembaganya dijalankan. Akibatnya lembaga-lembaga yang menangani anak jalanan “dipaksa” mengikuti gerak anak jalanan. Mereka dipaksa berjejaring dengan lembaga yang ada di kota lain.. Berlawanan dengan idealisasi pemerintah Orde baru tentang anak Indonesia yang patuh dan penuh tanggung jawab, mereka yang mendapat penghargaan adalah anak-anak yang mampu merenungkan akar masalah menyebabkan dia terpinggir dan tergerak untuk terlibat dalam perjuangan membebaskan dirinya.
Periode 2000: Pendekatan Berbasis Hak
Konvensi Hak Anak telah membawa perubahan yang radikal karena memposisikan anak sebagai manusia dan sekaligus subyek hukum. Ia memiliki hak-hak yang melekat pada dirinya. Reformasi 1998 membawa dampak pada strategi perubahan gerakan untuk anak-anak di Indonesia.. Pengenalan hak anak sebagai nilai baru harus segera dilanjutkan dengan pemberlakuan aturan yang mengikat dan membawa sanksi bagi setiap pelanggarnya. Jalan berpikirnya adalah melalui aturan-aturan berkekuatan hukum yang telah ditetapkan, maka penegakan hukum bisa dijalankan. Dengan demikian satu dua generasi berikutnya, anak-anak mulai terpenuhi haknya. Strategi ini dipilih karena Republik Indonesia sudah ikut menyetujui Konveksi Hak Anak (KHA), karena itu Indonesia terikat pada kewajiban yuridis untuk mengimplementasikan KHA di dalam wilayah hukumnya.
Dalam gerak perubahan itu, organisasi non pemerintah melihat bahwa aksi pemantauan pelaksanaan KHA menjadi kegiatan strategis. Ada 3 hal yang dipantau yaitu kewajiban untuk menghormati, kewajiban untuk melindungi dan kewajiban untuk memenuhi. Apakah negara memberikan perlindungan agar anak tidak dilanggar haknya oleh orang atau individu lain (termasuk orangtua sendiri) dan memberikan sanksi bagi setiap pelanggaran? Apakah negara sudah memberikan apa-apa yang diakui sebagai hak dalam ketentuan konvensi yang ada? Untuk itu kemudian dibangun instrumen-instrumen untuk memantau pelaksanaan pemenuhan hak anak dengan mengacu pada Konvensi Hak Anak. Melalui pemantauan ini bisa dikenali secara lebih terukur sejauh mana negara, perangkat dan aparatusnya sudah memenuhi hak anak di Indonesia. Meski demikian harus diakui bahwa praktik semacam ini masih sangat baru dilakukan di Indonesia. Pertanyaannya: apakah kegiatan pemantauan ini bisa menjadi motor gerakan nasional untuk pemenuhan hak anak?
Aku malas, tidak tertarik dan tak mau habiskan energi mempelajari KHA. Terlalu detail taat azas mengupasnya dengan tekun sangatlah melelahkan jiwa. Aku menilai bahwa Gerakan Anak tahun 80-an akan menciptakan anak menjadi subjek di dunianya. Berani dan mampu secara kritis menerima/menolak nilai nilai konvensionil yang dititipkan oleh generasi sebelumnya. Mental seperti itu yang perlu disiapkan agar anak berhasil meraih masa depan. Dan, aku pikir Pendekatan Anak Berbasis Hak sesuai dengan Konvensi Hak Anak akan menghasilkan anak anak yang pasif.
Tapi, ketika hal ini kuutarakan ke kawan muda aktifis anak di Jogyakarta, dikritiknya aku. Dengan medok jawa menyolok dan lemah lembut dia berkata: “Om Martin…Itu visi missi yang konvensional”. Sudah tidak sesuai lagi pada saat sekarang ini. Dan, tak ada lembaga dana yang mau mendukung misi visi seperti itu. Om Martin penganut pemikiran konvensional ya…Dia tersenyum mengelus pundakku seperti memberi kasih sayang kepada orang tuanya. Dia ngak tahu pada sisi lain aku gencar menghasut orang agar menganut sikap unkonvesionil (lawan dari konvensionil). Sekaligus mengkampanyekan cara nulis yang unkonvensionil.
Baca : kompasiana.com “Sekelumit tentang Unkonvensionil”
Anak itu menyebut : Konvensional sedangkan aku lebih suka mengucapkan :Konvensionil