Martha
“Segala sesuatu bermula dari imajinasi...”.
Kereta yang sudah ditunggunya dari kemarin tidak jua datang, laki-laki penjaga loket juga sudah jengah menjawab pertanyaan Martha tentang kedatangan kereta api jurusan Semarang - Jakarta. Martha rasa-rasanya sudah menginap di stasiun kecil ini selama bertahun – tahun, semua penghuni bumi tahu jika menunggu adalah pekerjaan yang menguras habis kesabaran.
“Ana, aku masih menunggu kereta. Bapak penjaga loket itu sudah putus asa memberiku harapan bahwa kereta ke kotamu akan datang secepatnya..”, katanya pada gagang telepon genggam.
Martha heran dengan keterlambatan yang tidak lazim ini, dia sudah capek menguap, punggungnya pun sudah enggan merasakan keras bangku stasiun setelah semalaman dia berbaring disitu. Mencoba melupakan segala beban yang tidak hanya memenuhi kopernya tetapi juga pikirannya, Martha melangkah malas ke sebuah kedai kopi di pojok stasiun, memesan double espresso untuk menggertak mata agar tidak kalah pada kantuk, meski ini sudah pukul 10 pagi. Pelayan kedai kopi menyambutnya ramah, beberapa detik berdiri di tengah-tengah kedai mencari tempat duduk yang kira-kira bisa memberinya rasa nyaman, sebuah sofa di sudut kedai menjadi pilihan Martha.
Sepasang kekasih yang duduk tepat didepannya itu memamerkan kemesraan yang mengiris hati Martha, ingatannya melayang pada sentuhan – sentuhan tangan Ana pada punggung tangan Martha setiap kali mereka duduk menonton film di bioskop yang sebenarnya tidak pernah benar- benar diamati oleh Martha, dia sibuk menikmati kehadiran Ana, baginya Ana adalah pemeran utama dalam kehidupannya, segala sesuatu yang menjadi bagian dari setiap scene selalu tentang Ana, tentang kekasih perempuannya yang berambut ikal dengan bulu mata lentik, tentang sekotak cokelat berisi kacang almond yang akan dihabiskan oleh Ana dan Martha akan mengamatinya dengan pandangan penuh takjub meski gigi Ana menjadi berwarna coklat, meski ketika Ana menikmati lumeran cokelat dilidahnya itu maka Martha sekejap menjadi absurd buatnya, tetapi Martha tak berkeberatan menjadi absurd dan tetap membawakan sekotak cokelat berisi almond untuk Ana.
“Ana, apakah kamu sudah minum kopi pagi ini ?. Aku sedang menghirup harum double espresso...”, katanya di ujung telepon genggam untuk kedua kalinya.
Martha mengambil sebuah novel dari dalam tas nya, setelah mereguk pelan kopi yang masih panas, dia membaca paragraf pertama pada halaman 67 dan matanya berhenti pada sebuah kalimat pembuka, “Love your life as you live your life for love..”. Airmatanya meleleh lancang, tangannya gemetar memegang tepi novel dan hatinya demikian dihujani sembilu seperti tertimpa atap gua penuh stalaktit lancip. Tangisnya kian deras, rengekan yang menyayat itu terdengar dari bibirnya yang mungil, kini Martha tak lagi duduk bersandar pada punggung sofa, dia meringkuk meremas kerah bajunya, mencoba mengusir perih yang kerap datang tanpa permisi seperti saat ini. Pandangannya berputar-putar, atap di kedai kopi ini seolah berubah menjadi gasing, Martha kian histeris dan berteriak minta tolong, dia berteriak sekencang-kencangnya, hingga sebuah tangan membungkam mulutnya dan sebuah tusukan jarum terasa di lengan sebelah kanan, beberapa menit kemudian Martha lelap.
Seorang laki – laki setengah baya memandangi Martha dengan tatapan kasih yang apik berpadu dengan kesedihan teramat dalam, seorang laki – laki lain yang tampaknya seorang dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada laki-laki setengah baya itu tentang keadaan Martha. Seorang perempuan berbaju putih tampak membenarkan pakaian Martha dan menyelimutinya. Seorang perempuan muda berambut ikal dan berbulu mata lentik yang berdiri mematung itu hanya memandang ke arah Martha dengan tatapan prihatin sebelum akhirnya dia juga menangis sebulir-dua bulir airmata. Laki-laki yang dipanggil pak dokter itu akhirnya pergi meninggalkan bapak berumur separuh baya dan perempuan berambut ikal itu bersama dengan perempuan berbaju putih yang tadi menyelimuti Martha. Kedua manusia beda usia itu tak beranjak sejengkalpun dari dekat Martha, meski Martha tak mengenali mereka, atau mungkin Martha memiliki mereka di kehidupan sebelumnya, hanya Martha yang tahu.
Martha berteriak kencang tapi rupanya tak seorang pun mendengar, dia terlempar ke sebuah lubang yang menyerapnya kedasar bumi, tangannya berusaha meraih pinggiran lubang tapi sia-sia, dia kian terperosok dalam. Martha berusaha membuka mata agar terjaga dari mimpi buruk ini, tapi tubuhnya kian jauh dari permukaan lantai, menyadari teriakannya hanya kembali menjadi gema, Martha memilih diam dan memejamkan mata kian erat, menikmati gravitasi hingga beberapa saat kemudian tubuhnya membentur tanah, Martha membuka mata dan mendapati dirinya berada di suatu tempat yang tak biasa, sebuah tempat yang tampaknya sangat jauh dari kedai kopi tadi, sangat jauh.....
(bersambung..)