Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Perempuan - perempuan luka (bag.3)

12 September 2013   17:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:59 200 0

Jenny

“Karma itu ada........”

“Maaf, aku mencintai orang lain..”, kata Faisal kepada Jenny tanpa rasa bersalah.

“Siapa dia ?, apakah dia lebih cantik dari aku ?”, tanya Jenny terbata-bata menahan tangis yang hampir menderu.

“Kamu lebih cantik, tapi kami seagama. Itu yang penting..”, kata Faisal sembari mengarahkan tangannya untuk menggenggam tangan Jenny.

Hujan bengis mendera tanah tetapi itu tak membuat Jenny merasa takut ataupun menggigil, dia tetap berjalan ditengah hujan yang sempurna menggelontor airmata hingga rasa asin tak singgah di bibirnya. Faisal pergi  begitu saja ketika Jenny menyuruhnya pergi dari hadapannya. Kini ia berjalan pulang dari kantor dengan jiwa separuh yang seolah gontai mengimbangi langkahnya ditengah terpa deras hujan. Jenny tak habis pikir tentang sikap Faisal yang berubah drastis dari mencintainya habis-habisan menjadi seorang laki-laki yang takluk di cengkeraman orang tuanya lalu pasrah mencintai perempuan lain hanya karena keyakinan yang sama.

“Tuhan ada berapa, kak ?”, tanyanya suatu hari pada Nathan.

“Satu, katanya. Kenapa ?”, Nathan menimpali pertanyaan adiknya itu dengan enggan.

“Enggak, kok kayaknya Tuhan ada banyak, rupa-rupa warnanya..”, jawab Jenny sambil memainkan ujung rambutnya, matanya menatap kosong kearah dinding, pikirannya bersembunyi dibalik bayangan Faisal.

Beberapa hari lalu Faisal menelepon Jenny malam-malam hanya untuk mengatakan bahwa mamanya marah besar karena dia belum juga memutuskan hubungannya dengan Jenny, di ujung sana suaranya terdengar parau entah karena kantuk atau karena habis menangis, sepengetahuan Jenny, Faisal adalah laki-laki berhati dan berwatak lembut, sayangnya dia juga terlalu penurut pada orang tua. Jenny juga seorang anak penurut, tetapi dia memiliki prinsip jika menyangkut kebahagiannya maka itu adalah hal paling essensial yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun, termasuk orang tuanya. Mati-matian dia memperjuangkan hubungannya dengan Faisal dihadapan orang tuanya hingga mereka mengalah, tetapi hal itu justru tidak dilakukan Faisal, kekasihnya itu memilih untuk menuruti mamanya karena takut masuk neraka, sedangkan Jenny tidak mempercayai bahwa seseorang akan semudah itu masuk neraka, bukankah Tuhan maha adil yang akan menimbang kesalahan dengan kebaikan yang telah dilakukan seseorang selama dia hidup, manusia lah yang meracuni pikirannya sendiri dengan rekaan – rekaan mengerikan tentang dosa dan neraka.

Terlahir didalam keluarga katolik yang taat, Jenny tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta pada Faisal, seorang anak laki-laki sulung dari sebuah keluarga muslim yang fanatik. Keduanya bertemu ketika mereka terburu-buru akan berangkat ke kantor dan berebut taksi, akhirnya mereka berbagi taksi yang sama. Faisal mencoba memecah kecanggungan antara mereka berdua dengan melontarkan sedikit pertanyaan basa-basi tentang dimana kantor Jenny, entah kenapa Jenny yang tadinya berusaha untuk jaim akhirnya menjawab semua pertanyaan Faisal hingga mereka memiliki 20 menit pembicaraan yang membuat keduanya terperangkap didalam tatap mata masing-masing dan enggan keluar.

Faisal adalah tipe laki-laki yang dicari oleh Jenny, dia tahu bagaimana cara memperlakukan perempuan dan sebagai anak bungsu, Jenny sangat suka dimanjakan. Faisal tahu jika Jenny akan melupakan jam makan siang ketika harus mengerjakan berkas kliennya apalagi jika firma tempat dia kerja sebagai pengacara rekanan itu kebanjiran klien, maka Faisal akan mengirimkan seporsi dimsum melalui layanan pesan antar dan Jenny akan memakannya dengan lahap sambil tersenyum bahagia, melupakan segala tetek-bengek urusan hukum orang lain yang dikuasakan kepadanya. Faisal menyukai sikap manja Jenny, sedari dulu dia membayangkan memiliki seorang adik perempuan untuk bisa dijaga olehnya dan Faisal juga menyukai cara Jenny memperhatikan jadwal rutinitasnya setiap hari, Jenny tidak pernah lupa membangunkan Faisal untuk sholat malam setiap pukul 2 dini hari, Jenny mengingatkan Faisal untuk pergi mengantar mamanya ke dokter spesialis jantung setiap rabu dan Jenny juga sering mengirimi Faisal artikel-artikel humor sekedar untuk mengalihkan Faisal dari kepenatannya menghitung estimasi bahan baku pada setiap proyek gedung yang dibangun oleh perusahaan konstruksi tempatnya bekerja.

“Apakah kamu tahu jika kamu sudah sedemikian kurang ajar melukaiku ?”, tanyanya tadi saat Faisal mengatakan kenyataan bahwa dia jatuh cinta pada seorang gadis berjilbab. Faisal tak menjawab barang sekecap kata, dia meremas-remas tangannya sendiri dan menunduk, matanya tak lagi berani menyelami kedalaman mata Jenny, hal yang biasa suka dia lakukan.

Basah kuyup badan Jenny begitu juga dengan hatinya, kuyup oleh airmata. Dia mengunci pintu kamar, lalu meringkuk dibawah shower kamar mandi dengan tangis yang pecah. Tangannya mengepal memukul-pukul tembok hingga memar, matanya bengkak seperti disengat ratusan lebah dan hatinya seperti gelas yang dibanting dari gedung lantai 10. Pengacara muda itu hancur malam ini, dia tidak setangguh perkiraannya, dia mampu menghadapi kesulitan di setiap persidangan, tapi dia takluk pada cinta yang sudah menikamnya dari belakang.

Tubuhnya berbalut handuk, Jenny duduk di tepi ranjang sebelum akhirnya membuka laci dan menemukan satu tabung kecil berisi obat tidur, sebelum kenal dengan Faisal dia selalu menenggak sebutir obat berwarna pink itu hanya untuk mendapatkan kantuk, pekerjaannya menguras pikiran dan tenaga, tapi itulah karir yang selama masa kuliah dia idamkan untuk dijalani, setiap harga yang dibeli harus dibayar. Jenny diam melamun menatap sebotol kecil berisi obat tidur yang ada di telapak tangannya kemudian menengadah berharap melihat pantulan wajah Tuhan di langit-langit kamar, lalu memejamkan mata dan menghembuskan napas berat. Tangannya meraih segelas air, kemudian membuka tutup botol kecil itu dan menenggak sebutir isinya, kedamaian semu perlahan merembes kedalam hati seiring dengan kelopak mata yang berat. Jenny tenggelam didalam bendung limpahan mimpi.

“Jenny, kamu sakit ?”, tanya pak Bondan, pengacara senior di firma itu pagi tadi, dan Jenny hanya menggeleng dan memberi sebuah senyum yang dipaksakan.

“Wid, ntar malem clubbing ye”, Jenny menelepon sahabatnya, Wida. Perbincangan dua perempuan yang sudah berteman sejak sekolah menengah pertama itu berjalan serius selama beberapa menit dan ditutup dengan isak Jenny.

Jenny dan Wida menuruni tangga menuju arah dentum musik berasal, seruangan yang hanya diterangi oleh kilatan lampu laser warna-warni dan pengap oleh deru napas orang-orang yang menyesap nikmat dunia bercampur dengan asap rokok, tempat yang dipilih Jenny untuk melewatkan malam tanpa sebutir obat tidur.

“Cocktail satu, pake tropical juice. Diaduk ya,  jangan dikocok”, teriak Wida dari ujung meja bar pada bartender di ujung lain.

Jenny menyulut sebatang rokok, tubuhnya bergoyang pelan mengikuti ritme musik. Beberapa pasang mata melirik nakal kearahnya. Asap yang keluar dari bibirnya yang ranum itu seperti jampi-jampi pengikat hati untuk lawan jenis, siapa yang percaya pada bocah kecil bernama cupid jika ada seorang perempuan cantik sedang cuek menikmati kegilaan dengan anggun, laki-laki mana yang tidak akan jatuh cinta, udara di klab malam itu seolah pekat oleh eros.

“Wid, pesenin gue Lady Margarita, less ice.. Gue mau turun dulu”, Jenny setengah berteriak kearah Wida, suaranya timbul tenggelam dalam keriuhan tempat itu, kakinya melangkah kearah kerumunan orang-orang yang bergoyang terbuai musik, melodi dengan ritme yang  agresif dan menghentak – hentakkan dada.

Jenny berjalan menuju meja bar sambil terengah – engah dan cekikikan dengan seorang laki-laki yang menemaninya bergoyang tadi, menenggak habis minumannya lalu kembali menyulut sebatang rokok. Wida menatap laki-laki itu dengan curiga, mencoba mengajak Jenny menjauh kearah sofa, tetapi Jenny menolak.

“Bro, Jack Daniel.. sebotol, nggak usah coke !!”, teriak Jenny kepada bartender, Wida melotot kearahnya dan Jenny tak hirau, dia kembali berbincang dengan laki-laki yang baru dikenalnya itu, Leo.

“Jenny, lo mau jackpot habis-habisan ?!. Gue males bopong lo pulang”, Wida mencengkeram pergelangan tangan Jenny, sinyal bahwa Jenny sudah kelewatan.

“Udaaah, bawel banget sih lo malem ini. Nikmati aja, gue yang traktir !”, Kata Jenny sambil menepuk – tepuk pipi kiri Wida.

“Bir aja kenapa gila ?!”, balas Wida ketus, dia kuatir pada sahabatnya dan masih sangat curiga pada Leo.

“Hahahaa... nape lo ?, kena cenoscillicaphobia lo ?.. Udah ah, turun lagi yuk”, balas Jenny tak kalah ketus pada Wida kemudian menggamit lengan Leo hingga keduanya hilang ditengah kerumunan tubuh yang bergoyang bak orang kesetanan.

Beberapa hari setelah perkenalan di klab malam, hubungan Jenny dan Leo menjadi semakin akrab, Jenny mencurahkan semua keluh kesahnya pada Leo dan Leo memberi Jenny kebahagiaan yang benar-benar baru, kebahagiaan yang disebut Jenny lebih dahsyat daripada jatuh cinta, kebahagiaan yang seketika hadir ketika serbuk putih itu dihirup masuk oleh hidungnya, meracuni darah dan sel – sel otaknya, bahagia yang semu, kamuflase.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun