Ironis memang kedengarannya, makanan tradisional masyarakat Indonesia dan makanan yang dicap "murahan", harus berhenti produksinya lantaran bahan bakunya mahal. Lebih ironis lagi lantaran bahan baku makanan "ndeso" itu ternyata harus diimpor dari negara adidaya seperti Amerika Serikat. Lha dhalah..kok bisa ya? begitu komentar seorang ibu yang mungkin tak banyak tahu perkembangan pembangunan negeri ini.
Tapi itulah kenyataannya. Kedelai yang menjadi bahan baku tahu tempe itu memang harus diimpor dari negeri Paman Sam, karena produksi kedelai dalam negeri tak pernah mencukupi, selain kualitasnya juga kalah jauh dibanding kedelai impor.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata kebutuhan kedelai di negeri ini setiap tahunnya kurang lebih 2,3 juta. Sementara produksi dalam negeri pada 2010 baru mencapai 907.031 ton (Angka Tetap/ATAP), yang berarti hanya memenuhi kurang lebih 41,22 persen dari kebutuhan yang ada.
Pada 2011, produksi kedelai dalam negeri malah turun menjadi sekitar 870.068 ton (Angka Ramalan/ARAM III) atau hanya 37,85 persen dari total kebutuhan. Nah, darimana untuk memenuhi kekurangannya, ya dari impor. Artinya impor kedelai Indonesia mencapai 60-70 persen!.
Negara pemasok terbesar kedelai ke Indonesia adalah Amerika Serikat kemudian Kanada, China, Ukraina, dan Malaysia.
Tentu yang menjadi pertanyaan, kenapa produksi kedelai dalam negeri rendah? bukankah negara kita negara agraris?, bukankah sebagian rakyat kita juga petani? dan sederet pertanyaan lain.
Ternyata, bagi para petani, kedelai memang belum menjadi komoditi yang populer seperti padi, jagung atau palawija lainnya lantaran secara ekonomis hasilnya kurang menjanjikan, serta petani merasa kurang mendapat bantuan atau insentif yang cukup dari pemerintah.
Menurut data BPS, produktivitas kedelai di tingkat petani rata-rata hanya mencapai 13,78 ku/ha (ARAM III 2011), sedangkan potensi produksi beberapa varietas unggul bisa mencapai 20,00–35,00 ku/ha.
Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, produksi kedelai hanya meningkat sedikit, yaitu luas panen sebesar 2,72 %, produktivitas 1,22 % dan produksi 4,06 %.
Departemen Pertanian sebenarnya sudah mengidentifikasi masalah rendahnya produksi kedelai. Masalah itu adalah lambatnya penerapan teknologi, rendahnya penggunaan benih bermutu, rendahnya penggunaan pupuk berimbang, bio hayati dan organik, serta persaingan lahan dengan komoditi lain.
Persoalan lainnya adalah harga kedelai yang kurang menarik dibanding komoditas lain, adanya anggapan kedelai hanya menjadi tanaman sela dalam sistem budidaya, pemasaran yang kurang terjamin, kurangnya modal petani serta belum berkembangnya kelembagaan dan kemitraan agribisnis kedelai.
Selain masalah dari dalam, Departemen Pertanian juga mengidentifikasi kendala dari luar seperti kebijakan impor yang tidak dibatasi dalam Bea Masuk 0%, semakin berkurangnya ketersediaan lahan produksi akibat alih fungsi lahan, berkurangnya ketersediaan air irigasi dan persaingan penggunaan air dengan industri dan pemukiman dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Jika menyimak kajian Departemen Pertanian tentang masalah yang dihadapi, maka sesungguhnya pemerintah sudah mempunyai arahan untuk bergerak dan bertindak mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada petani kedelai. Ini memerlukan "political will" yang kuat agar negeri kita tak terjajah oleh produk-produk impor.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika banyak kebutuhan kita kini dipenuhi dari barang-barang impor, mulai dari mainan anak-anak, gunting sampai celana kolor. Bahkan beras dan gulapun kita mengimpor.
Tanpa "political will" yang kuat, mustahil Departemen Pertanian mewujudkan target peningkatan produktifitas kedelai sebesar 1,5 ton/ha ditingkat petani, dan produksi kedelai sebesar 1,9 juta ton pada 2012.