Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Memutus Siklus Kebencian

23 Agustus 2012   18:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:24 2143 20

Saya tinggal di Texas. Negara bagian di Amerika Serikat  yang terkenal basis kaum konservatif-republik. Di kampungnya George Bush ini, bahkan televisi di ruang publikpun sering default/setelan utama-nya adalah Fox News, media yang cenderung menyuarakan pandangan konservatif-republik dan sering menampilkan berita ‘tidak enak’ tentang Islam.Satu hari, ketika saya menjadi relawan di rumah sakit setempat, seorang pria tak dikenal menghampiri saya dengan muka masam dan bertanya. "Are you a muslim? Do you hate America? Do you hate Jews?" Belum habis kaget saya, ia sudah mencerocos marah sambil berkata, bahwa setiap kali ia berjumpa dengan wanita berjilbab seperti saya, bulu kuduknya selalu merinding menahan marah bercampur ngeri. Ia pergi berlalu. Tak puas sampai di situ, saat kembali melewati meja saya, ia melintangkan telunjuk di lehernya, menggambarkan kode/ancaman "potong leher" , sembari berkata "all muslims should be vanished from this world"; semua muslim harus lenyap dari muka bumi.

Jadi kalau ditanya 'Bener gak sih, Amerika (khususnya Texas) diskriminasi terhadap muslim?'. Saya akan jawab, secara institusi, tidak. Di manapun, selalu ada segelintir orang gila, pembenci (haters) ataupun orang biasa yang punya kecenderungan demikian. Umumnya merekalah yang membuat headline.

Dalam kasus penyerangan terhadap saya di atas, memang benar ada SATU orang gila yang menyerang dan mengancam saya. Tetapi sebagai perbandingan, tak kurang SEPULUH orang yang menolong dan mendukung saya. Pertama, rekan saya Patricia yang berusaha menegur si orang gila. Kedua dan ketiga, rekan relawan pasangan suami istri Herman dan Marie. Marie ikut menyaksikan kejadian itu dan tanpa sepengetahuan saya, suaminya Herman bertindak cepat melapor ke sekuriti rumah sakit. Kepala sekuriti rumah sakit berikut stafnya turun tangan dan menghubungi polisi setempat. Selanjutnya, polisi setempat mendeteksi wajah sang penyerang lewat tangkapan kamera video rumah sakit, mengidentifikasi pelaku dan mencetak fotonya untuk kemudian disebarkan dan sang penyerang dilarang masuk di seluruh area rumah sakit. Belum lagi rekan dari bagian SDM /HR Department menghampiri dan memeluk saya sembari berkata "I heard what that man said to you. I am so sorry about that, you know that is NOT America." Mungkin perasaan malu dia terhadap kaumnya, sama dengan perasaan malu saya ketika orang menyerang mengatasnamakan agama saya.

Ternyata SATU orang yang menyerang saya berlatar belakang sama dengan sekian banyak orang yang menolong saya. Mereka semua adalah kaum konservatif, republikan,  Kristen atau Katolik yang religius , penonton setia Fox News dan hampir semuanya keluarga militer/veteran. Semua atribut–atribut yang 'biasa'nya diasosiasikan dengan kaum haters. Namun kenyataannya, lebih banyak yang menolong daripada yang membenci. Atasan saya, James, seorang veteran perang dan penganut Kristen Methodist yang sangat cinta keluarga -selain saat itu bertindak tegas dan protektif; menelpon suami saya untuk memastikan bahwa saya terlindungi- juga sehari-hari merupakan teman diskusi yang menyenangkan. Dari soal kerjaan, acara TV, tak jarang diskusi merambah ke urusan agama dan politik bahkan topik 'hot button issue' seperti konflik Israel dan Palestina yang biasanya tidak bisa didiskusikan dengan kepala dingin, bisa kami diskusikan dengan leluasa. Ini karena pemikirannya sejalan dengan saya bahwa konflik politik dan kepentingan media, membuat kerukunan dalam level komunitas yang sesungguhnya selalu ada, seolah tidak pernah eksis. Satu hari James berkata, ia sering sekali mendapatkan e-mail dari rekan-rekannya, orang Yahudi dan Nasrani, yang bernada benci dan curiga terhadap muslim. Seperti ‘Waspadalah terhadap setiap muslim, karena pada dasarnya mereka adalah teroris;  Bukan tergantung orangnya, tetapi memang ajaran Islam itu sendiri demikian; Bila ada orang muslim yang kelihatannya damai, itu karena mereka tidak mengamalkan kitabnya, padahal di Al Quran sendiri mengajarkan kekerasan’ dan sebagainya. Paham seperti ini sangat umum di kalangan yang curiga terhadap muslim. Namun menurutnya, ia tidak akan pernah meneruskan email-email semacam itu. Saya sepakat sekali dengan tindakannya. Sebagaimana saya tidak akan meneruskan berita "Awas bahaya Kristenisasi; Menghamili gadis muslim agar masuk Kristen" dsb, yang dibumbui kalimat-kalimat provokator dan tidak proporsional. Saya ingin menjadi pemutus siklus kebencian, bukan penyambung siklus kebencian itu.

Ada satu contoh warga negara Amerika, penduduk Texas yang juga menginspirasi saya dalam ide memutus siklus kebencian ini. Dia adalah Rais Bhuiyan. Ia muslim yang menyaksikan sahabatnya tewas, sementara matanya sendiri buta sebelah, akibat ditembak seorang kulit putih yang menyerang mereka karena "bertampang Arab/Islam". Si penyerang mengaku kehilangan saudara dalam peristiwa 9/11 dan menimpakan kekesalan pada orang Islam dengan menembak beberapa orang India dan Pakistan tak bersalah di kios setempat. Texas adalah salah satu negara bagian  di Amerika yang masih menerapkan hukuman mati bagi pencabut nyawa orang, maka si bule ini pun terancam hukuman mati.

Kebanyakan orang bila mengalami peristiwa seperti Rais, mungkin akan  gembira sekali karena pembunuh temannya dan pembenci agamanya ini mendapatkan hukuman mati yang setimpal. Apalagi jika membaca blog/diary Mark Stroman, demikian nama si pembunuh, yang penuh kebencian dan sama sekali tidak menyesali tindakannya. Kebanyakan orang mungkin akan "playing the victim card" alias memainkan peran korban dengan seoptimal mungkin: berkoar-koar dan cari dukungan di media sosial, membuat 'umat' panas, memancing komentar dan solidaritas umat Islam agar berkata “tuh kan Amerika/non-muslim emang benci kita!!”. Tapi tidak dengan Rais Bhuyan. Sebaliknya, ia malah mengajukan petisi untuk meringankan hukuman mati terhadap Mark Stroman menjadi hukuman seumur hidup. Alasannya sederhana. Ia tak mau anak Mark Stroman menjadi yatim dan ikut-ikutan jadi pembenci seperti ayahnya. Selama ini iapun berupaya memberikan pengertian pada anak-anak temannya yang menjadi yatim akibat ulah Mark: bahwa jangan pernah membenci orang karena agamanya, bencilah  tindak kriminalnya. Bahwa dalam agamanya, Islam, memang hukuman mati dibenarkan, tapi memaafkan jauh lebih baik.

Saya pribadi termasuk yang beranggapan hukuman mati diperlukan, apalagi buat pembunuh/pemerkosa berantai atau teroris yang meledakkan bom di ruang publik dan merenggut banyak nyawa tak berdosa. Tetapi semangat perjuangan Rais Bhuiyan untuk memutus siklus kebencian tetap menyentuh saya. Walaupun akhirnya gubernur Texas Rick Perry konsisten pada hukum Texas dan tetap menghukum mati Mark Stroman, walaupun kemudian sikap Rais ini dimanfaatkan lagi ke polemik politik antara kaum demokrat yang anti hukuman mati dengan kaum konservatif yang pro hukuman mati, tetapi inti pesan yang ingin disampaikan Rais tetap membuka mata saya. Bahwa setiap orang punya pilihan untuk memutus siklus kebencian, atau terus membuktikan anggapan bahwa agama adalah biang kerusuhan, juga membiarkan diri menjadi komoditi media dan politisi untuk saling membenci.

Menimbulkan polemik dan kebencian dengan mengatasnamakan agama, bukan monopoli negara berkembang ataupun maju. Sebagaimana kita ketahui, di Indonesia, dalam Pilkada DKI kemarin, jargon “Jangan memilih pemimpin yang bukan Islam” mendadak populer lagi. Tiba-tiba ayat Al Quran mereka tafsirkan di luar konteks seolah-olah agama di KTP jadi lebih penting daripada kinerja dan akhlak pemimpin, padahal selama ini ketua RT, RW, lurah yang non muslim tidak pernah diributkan. Mungkin minim atau kurang setorannya :)

Di Amerika pun demikian. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Barrack Obama sempat diisukan beragama Islam, agar suara beralih ke lawan politiknya. Kemudian yang baru-baru ini, Mitt Romney, kandidat presiden partai Republik, juga sempat dirundung kampanye negatif oleh rekan sesama kandidat Republiknya, karena ia beragama Mormon, salah satu aliran minoritas dalam Kristen yang kurang disukai sebagian besar pemeluk Kristen/Katolik sendiri. Sekalipun negara maju, isu dangkal seperti sentimen agama/aliran masih laku dijual untuk komoditas politik.

Selama masih banyak pemilih-pemilih yang gampang diadu domba dan diprovokasi oleh hal seperti itu, media, politisi dan penulis yang cari makan lewat isu agama akan terus memanfaatkan isu ini untuk kepentingan mereka, entah itu agar menaikkan oplah, menaikkan jumlah visitor dan komentator di situsnya, mengundang pemirsa dalam debat, merangkul pemilih untuk pemilu, ataupun agar jualan buku dan talk show-nya laku.

Walaupun sebagian besar dari kita menganggap saling membenci dan curiga atas nama agama itu hanya perbuatan orang bodoh, namun, tanpa sadar, kita sering ikut membesarkan para pembenci (haters) itu dengan dengan ikut meneruskan berita-berita negatif tentang mereka. Sebagai contoh, sudah bukan rahasia umum kalau banyak umat Islam kesal tehadap suatu organisasi tertentu yang tindakannya atas nama Islam tetapi sering berbuat kerusakan. Okelah, FPI. Saking gondoknya, kita kerap meneruskan berita tentang kerusakan yang mereka lakukan, lengkap dengan makian dan kutukan, berbalas pantun di status Facebook, media sosial dan forum online dan sebagainya. Memang benar kita kesal dengan perbuatan mereka, kita ingin perbuatan mereka ditindak secara hukum. Tetapi terkadang, tanpa tersadar, kita telah ikut “membesarkan” FPI dan melupakan kalau sebagian besar umat Islam itu cinta damai. Bahkan pura-pura tidak mau tahu kalau FPI pun tidak semuanya begitu! Suatu ketika teman saya memuat berita tentang FPI yang melakukan kegiatan sosial sangat positif dan tidak diliput media. Tidak seperti berita negatif tentang FPI, berita baik ini sangat minim "likes" "komentar" ataupun forward/share. Sudah terlanjur benci dan curiga. Bahkan saya sendiri yang sebetulnya pernah menyaksikan langsung bagaimana produktifnya FPI sewaktu sigap membersihkan dan menguburkan mayat saat bencana tsunami di Aceh, jadi tergiring juga ikut-ikut lupa dan mengeneralisasi mereka. Ini bukan soal pro-kontra, tapi proporsional sajalah!

Berbagi cerita positif tentang kerukunan umat beragama, jarang kita sebarkan. Kita menjadi ‘tersetir media’ atau ‘pandangan kolektif’ yang kurang kreatif mencari berita selain yang itu-itu saja. Kita jadi cenderung bertindak reaktif terhadap berita negatif. Malas dan tidak proaktif mengobservasi untuk suatu berita positif. Cukup meneruskan apa yang diinginkan media dan politisi? Tidak, kita jelas lebih baik dari mereka. Semoga.

---------------------------

Bacaan terkait:

1. Blog Rais Bhuyan: http://worldwithouthate.org/

2. Tulisan Mark Stroman sang terpidana mati: http://www.executionchronicles.org/stroman/mark-writes.htm

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun