Namun, penerapan nilai-nilai Pancasila di era digital tidak terlepas dari tantangan yang signifikan. Salah satu hambatan utama adalah penyebaran disinformasi dan hoaks, yang dapat memengaruhi opini publik dan merusak proses musyawarah yang sehat. Selain itu, polarisasi sosial di media digital sering kali memperburuk konflik antar kelompok, sehingga dialog produktif menjadi sulit dilakukan. Hambatan lain adalah ketimpangan akses teknologi, yang membuat sebagian masyarakat belum mampu ikut serta dalam musyawarah daring. Rendahnya literasi digital juga menjadi kendala, karena banyak masyarakat yang belum memahami cara berpartisipasi secara bijaksana dalam diskusi online. Semua tantangan ini menunjukkan bahwa penerapan musyawarah digital membutuhkan upaya lebih untuk menciptakan ruang yang kondusif dan inklusif. Â
Untuk menjadikan Pancasila sebagai kepribadian bangsa, diperlukan strategi yang terarah dan menyeluruh. Meningkatkan literasi digital masyarakat menjadi langkah awal yang penting agar mereka mampu menggunakan teknologi dengan bijak dan memahami informasi secara kritis. Pemerintah juga perlu mengembangkan platform digital resmi yang mendukung musyawarah publik secara transparan dan terorganisir, memungkinkan masyarakat menyampaikan aspirasi secara langsung. Selain itu, regulasi yang tegas terhadap penyebaran hoaks dan ujaran kebencian harus ditegakkan untuk menjaga kualitas diskusi daring. Tidak kalah penting, pendidikan nilai-nilai musyawarah harus ditanamkan sejak dini, baik di sekolah maupun komunitas, untuk membentuk generasi yang menghargai dialog, toleransi, dan pengambilan keputusan kolektif. Akhirnya, para pemimpin harus menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan melalui diskusi dan konsultasi daring yang rutin. Dengan strategi ini, nilai-nilai luhur Pancasila dapat terus hidup dan relevan, menciptakan demokrasi yang transparan, adil, dan berpihak pada kepentingan rakyat di era digital.