Keputusan ini seperti mimpi buruk yang berulang. Ketimpangan yang menganga antara fasilitas pendidikan di perkotaan dan pedesaan seolah diabaikan. Di kota-kota besar, siswa menikmati laboratorium lengkap, akses internet cepat, buku-buku terbaru, dan tenaga pengajar berkualifikasi tinggi. Sementara itu, di desa-desa terpencil, murid harus belajar di ruang kelas yang sering kali rusak, tanpa akses internet, dengan jumlah guru yang tidak memadai.
Mengapa UN Kembali Diberlakukan?
Menurut Kementerian Pendidikan, pemberlakuan kembali UN bertujuan untuk:
1. Standarisasi Pendidikan Nasional: UN dianggap sebagai instrumen untuk mengukur kualitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.
2. Seleksi Masuk Perguruan Tinggi: Dengan adanya UN, siswa diharapkan memiliki tolok ukur kompetensi yang seragam untuk melanjutkan pendidikan.
3. Meningkatkan Kualitas Pendidikan: UN diklaim mampu mendorong sekolah-sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Namun, alasan-alasan ini tampaknya hanya relevan di atas kertas. Dalam realitasnya, UN lebih mencerminkan ketidakadilan struktural yang mengorbankan siswa di wilayah yang sudah termarjinalkan.
Ketimpangan yang Mengakar
Pemberlakuan kembali UN menunjukkan bahwa para pengambil kebijakan pendidikan menutup mata terhadap fakta-fakta berikut:
1. Fasilitas Pendidikan
Sekolah-sekolah di kota memiliki akses ke infrastruktur memadai, seperti komputer untuk ujian berbasis daring, listrik stabil, dan akses materi pembelajaran digital. Sebaliknya, di pedesaan, banyak sekolah masih kesulitan mendapatkan listrik yang memadai, apalagi fasilitas digital.
2. Tenaga Pengajar
Guru di daerah perkotaan umumnya memiliki kualifikasi dan pelatihan yang lebih baik dibandingkan rekan mereka di pedesaan. Banyak sekolah di pelosok Indonesia bahkan masih bergantung pada guru honorer dengan bayaran yang jauh dari layak.
3. Akses Informasi
Siswa di kota memiliki akses luas terhadap informasi dan materi pembelajaran tambahan melalui internet dan bimbingan belajar. Sebaliknya, siswa di pedesaan hanya bergantung pada buku teks yang sering kali sudah usang.
Dampak pada Siswa di Daerah Tertinggal
Pemberlakuan UN hanya akan memperbesar jurang ketidaksetaraan. Siswa di pedesaan, yang sudah menghadapi berbagai keterbatasan, kini dipaksa bersaing dalam sistem yang tidak berpihak pada mereka. Hal ini berpotensi:
Menghambat Kesempatan Melanjutkan Pendidikan
Hasil UN yang rendah dapat menghalangi siswa dari pedesaan untuk masuk ke perguruan tinggi, meskipun mereka memiliki potensi akademik dan semangat belajar yang tinggi.
Menambah Beban Psikologis
Tekanan menghadapi UN sering kali memicu stres dan rasa rendah diri, terutama bagi siswa yang merasa tidak memiliki cukup dukungan atau fasilitas.
Solusi yang Seharusnya Diprioritaskan
Sebelum memberlakukan kembali UN, pemerintah seharusnya fokus pada langkah-langkah berikut:
1. Pemerataan Fasilitas Pendidikan
Pastikan semua sekolah, baik di kota maupun desa, memiliki fasilitas yang setara, termasuk akses internet, komputer, dan perpustakaan yang memadai.
2. Peningkatan Kualitas Guru
Lakukan pelatihan berkelanjutan bagi guru, terutama di daerah terpencil, untuk meningkatkan kompetensi mereka dalam mengajar.
3. Akses Beasiswa dan Program Khusus
Berikan beasiswa dan program afirmasi untuk siswa di daerah tertinggal agar mereka memiliki kesempatan yang sama untuk melanjutkan pendidikan.
4. Evaluasi Berbasis Kebutuhan Lokal
Gantilah UN dengan sistem evaluasi yang lebih fleksibel dan berbasis kebutuhan lokal, sehingga dapat mengakomodasi perbedaan kondisi antarwilayah.
Refleksi: Pendidikan untuk Semua
UN seharusnya menjadi alat untuk mendorong pemerataan pendidikan, bukan malah memperkuat ketimpangan. Jika sistem pendidikan nasional terus memaksakan standar yang sama tanpa memperhatikan kondisi yang berbeda, maka siswa di pedesaan akan terus menjadi korban ketidakadilan sistematis.
Pendidikan adalah hak semua anak Indonesia, bukan hanya mereka yang lahir di kota-kota besar. Jika pemerintah serius ingin meningkatkan kualitas pendidikan, langkah pertama yang harus diambil adalah memastikan semua siswa memiliki pijakan yang setara, bukan memaksakan kebijakan yang hanya relevan bagi segelintir pihak.
Pada akhirnya, kesuksesan pendidikan nasional tidak diukur dari seragamnya nilai Ujian Nasional, melainkan dari seberapa besar pendidikan mampu mengangkat potensi setiap anak, di mana pun mereka berada.***MG