Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Politisasi Kenaikan Pajak Jadi 12%, antara Pembangunan dan Beban Rakyat

22 Desember 2024   19:07 Diperbarui: 23 Desember 2024   09:33 58 1
Kenaikan pajak selalu menjadi isu yang memancing polemik. Tak hanya menyangkut beban masyarakat, tapi juga menjadi panggung politik yang kerap dimanfaatkan partai-partai untuk mendulang dukungan. Salah satu isu yang sedang hangat adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang akan berlaku tahun 2025.

Wacana ini kembali mencuat setelah Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Gerindra, Wihadi Wiyanto, menyatakan bahwa kenaikan PPN ini diinisiasi oleh PDI Perjuangan (PDIP) melalui Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). "Kenaikan PPN 12 persen itu merupakan keputusan UU Tahun 2021 dan menjadi 11 persen pada 2022, hingga 12 persen pada 2025. Ini diinisiasi oleh PDIP," ujarnya, Minggu (22/12).

Namun, kini PDIP berbalik arah dan terlihat seperti menentang kebijakan yang sebelumnya mereka usulkan. Sikap ini mengundang kritik dan menyoroti bagaimana partai politik sering memanfaatkan isu pajak untuk agenda politik mereka.

Proses Pembuatan UU dan Tanggung Jawab Partai Politik

Sebagai undang-undang, kenaikan PPN tentu telah melalui proses legislasi yang melibatkan DPR dan pemerintah. Proses ini seharusnya dilakukan dengan pertimbangan matang dan profesional, mengingat dampaknya yang luas bagi masyarakat. Partai-partai yang terlibat dalam penggodokan UU ini memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk konsisten dengan keputusan yang telah mereka setujui.

Namun, kenyataannya sering kali berbeda. Saat kebijakan itu mulai diterapkan dan mendapat kritik masyarakat, beberapa partai memilih "cuci tangan" demi menjaga citra. Padahal, sebagai wakil rakyat, mereka seharusnya menjelaskan manfaat dan urgensi kebijakan tersebut kepada masyarakat, bukan malah memperkeruh suasana dengan sikap kontradiktif.

Pemerintah dan Implementasi yang Bijak

Di sisi pemerintah, kebijakan ini berada di tangan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Setelah mendapat banyak kritik, penerapan PPN 12 persen akhirnya dibatasi hanya untuk barang mewah. Langkah ini dapat meredam sebagian kritik, tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan keresahan masyarakat.

Kenaikan PPN memang memiliki dampak domino. Selain menaikkan harga barang dan jasa, beban pajak ini juga memengaruhi daya beli masyarakat. Pemerintah perlu memastikan bahwa penerapan pajak ini benar-benar digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar untuk menutupi defisit anggaran akibat kebocoran seperti korupsi.

Korupsi dan Ketidakpercayaan Publik

Isu korupsi menjadi salah satu alasan utama mengapa masyarakat skeptis terhadap kenaikan pajak. Data Transparency International menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2023 berada di angka 34, jauh dari kategori bersih. Dengan kondisi ini, wajar jika masyarakat mempertanyakan ke mana uang pajak mereka akan digunakan.

Kritik ini menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa reformasi pajak harus diiringi dengan transparansi dan pengawasan yang ketat. Jika tidak, kebijakan ini hanya akan memperdalam ketidakpercayaan publik.

Belajar dari Vietnam: Alternatif Kebijakan Pajak

Salah satu contoh menarik datang dari Vietnam. Alih-alih menaikkan pajak, pemerintah Vietnam justru menurunkan pajak untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan ini berdampak positif pada ekonomi mereka, dengan pertumbuhan PDB mencapai 8 persen pada 2022, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.

Sistem perpajakan Vietnam juga sederhana, dengan tarif PPN standar sebesar 10 persen, lebih rendah dibandingkan Indonesia. Pendekatan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dicapai melalui kebijakan yang merangsang konsumsi, bukan hanya mengandalkan peningkatan pendapatan pajak.

Bagaimana Seharusnya Partai Politik dan Pemerintah Bersikap?

Melihat polemik yang ada, beberapa hal perlu menjadi perhatian:

1. Konsistensi Partai Politik: Partai yang terlibat dalam proses legislasi harus konsisten dengan keputusan mereka. Jika ada perubahan sikap, harus disertai dengan alasan logis dan bukti bahwa itu demi kepentingan rakyat, bukan semata-mata manuver politik.


2. Kebijakan Pajak yang Bijak: Pemerintah perlu memastikan bahwa penerapan pajak benar-benar adil dan tidak membebani masyarakat kecil. Pembatasan PPN 12 persen untuk barang mewah adalah langkah awal yang baik, tetapi perlu diikuti dengan kebijakan yang mendukung daya beli masyarakat.


3. Transparansi dan Akuntabilitas: Pemerintah harus memastikan bahwa dana dari pajak digunakan secara efektif dan transparan. Reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi adalah kunci untuk membangun kepercayaan publik.


4. Belajar dari Negara Lain: Indonesia bisa meniru kebijakan perpajakan yang sukses di negara lain, seperti Vietnam. Menurunkan pajak untuk mendorong konsumsi adalah salah satu opsi yang layak dipertimbangkan.


Kenaikan pajak, seperti PPN 12 persen, memang selalu menjadi dilema. Di satu sisi, pemerintah memerlukan dana untuk pembangunan. Di sisi lain, pajak yang tinggi dapat membebani masyarakat dan menimbulkan ketidakpercayaan, terutama jika korupsi masih marak.

Baik partai politik maupun pemerintah harus mengambil tanggung jawab yang jelas dalam isu ini. Kebijakan pajak yang bijak, transparansi dalam pengelolaan dana, dan konsistensi sikap politik adalah kunci untuk memastikan bahwa pajak benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Jika tidak, polemik ini hanya akan menjadi siklus yang terus berulang tanpa solusi nyata.***MG

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun