Keputusan DPR RI untuk tidak menjadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sebagai prioritas menuai sorotan tajam. RUU ini, yang bertujuan memperkuat pemberantasan korupsi dengan memberikan kewenangan lebih untuk menyita aset-aset hasil kejahatan, justru dimasukkan dalam kategori jangka menengah. Alasan yang disampaikan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Sturman Panjaitan, adalah perlunya kajian lebih mendalam agar tidak berbenturan dengan undang-undang lain.
Namun, argumen tersebut menuai kritik. Banyak pihak menilai bahwa alasan ini hanya bentuk diplomasi untuk menutupi ketakutan para elite politik yang khawatir undang-undang tersebut dapat berbalik menyerang mereka.
Ketakutan Akan Kehilangan Privilege
RUU Perampasan Aset memiliki daya tawar yang sangat kuat dalam pemberantasan korupsi. Dengan disahkannya RUU ini, negara dapat memiskinkan koruptor melalui penyitaan aset yang diperoleh dari hasil kejahatan, baik melalui tindak pidana korupsi maupun pencucian uang. Tidak ada celah bagi koruptor untuk menyelamatkan hasil kejahatannya dengan menyembunyikan atau mengalihkan aset ke pihak ketiga.
Namun, langkah ini jelas akan mengganggu kenyamanan banyak pihak, terutama para elite yang diduga memiliki kepentingan dalam mempertahankan sistem yang cenderung melindungi pelaku kejahatan kerah putih. Pernyataan Sturman bahwa "perlu kajian mendalam" dinilai sebagai upaya memperlambat pembahasan, bukan memperkuat landasan hukum.
Apalagi, keputusan ini datang di tengah meningkatnya kritik terhadap DPR dan institusi terkait yang dianggap memperlemah pemberantasan korupsi. Tepuk tangan meriah saat Johanis Tanak menyatakan akan menghapus Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah sinyal nyata bahwa upaya pemberantasan korupsi sedang berada di titik nadir.
Apakah Ada Kepentingan Tertentu?
Kecurigaan bahwa ada kepentingan tertentu di balik penundaan ini sulit untuk diabaikan. Undang-undang yang dirancang untuk mengejar dan menyita aset hasil kejahatan jelas mengancam mereka yang memiliki rekam jejak yang meragukan. Bahkan, data menunjukkan bahwa banyak kasus korupsi besar yang tidak dapat diusut tuntas karena kendala pengembalian aset.
Jika RUU ini disahkan, tidak hanya koruptor yang akan dimiskinkan, tetapi juga pihak-pihak yang ikut menerima keuntungan dari hasil korupsi. Mekanisme ini melibatkan aset yang disita bahkan sebelum pelaku dijatuhi hukuman pidana, sesuatu yang dinilai oleh beberapa anggota DPR sebagai langkah terlalu "berani."
Mengapa RUU Perampasan Aset Penting?
Indonesia termasuk negara dengan tingkat korupsi yang masih tinggi. Berdasarkan data dari Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada tahun 2023 hanya mencapai 34, jauh dari ideal. Salah satu penyebab utamanya adalah lemahnya pengembalian aset negara yang dirampas oleh koruptor.
RUU Perampasan Aset memberikan solusi konkret untuk menutup celah tersebut dengan beberapa langkah:
1. Penyitaan Aset Tanpa Menunggu Putusan Pengadilan: Negara dapat langsung menyita aset yang diduga hasil kejahatan untuk mencegah pengalihan.
2. Penguatan Kolaborasi dengan UU Pencucian Uang: Dengan mengintegrasikan langkah ini, koruptor tidak memiliki peluang untuk menyembunyikan hasil kejahatan mereka.
3. Efek Jera yang Maksimal: Tidak hanya hukuman badan, tetapi koruptor juga kehilangan kekayaan yang menjadi motivasi utama kejahatan mereka.
Bagaimana Mendorong DPR Membahas RUU Ini?
Untuk memastikan RUU Perampasan Aset menjadi prioritas, tekanan dari masyarakat sipil, media, dan akademisi harus diperkuat. Beberapa langkah yang bisa dilakukan meliputi:
Kampanye Publik: Menggalang dukungan masyarakat melalui kampanye di media sosial dan aksi-aksi damai untuk mendesak DPR menjadikan RUU ini prioritas.
Kolaborasi dengan Akademisi dan Praktisi Hukum: Menghadirkan kajian akademik dan praktik internasional untuk membantah argumen bahwa RUU ini "masih perlu dikaji lebih mendalam."
Pemantauan Kinerja DPR: Menggunakan data dan fakta untuk mengekspos alasan-alasan DPR yang dianggap menghambat pembahasan.
Peran Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil memegang peran penting dalam memastikan keberlanjutan agenda pemberantasan korupsi. Beberapa hal yang dapat dilakukan meliputi:
Mengawasi Kinerja Legislasi: Dengan memantau dan mengawal langsung pembahasan di DPR.
Menyuarakan Aspirasi: Menggunakan hak demokrasi untuk menyuarakan kepentingan rakyat, baik melalui petisi maupun aksi damai.
Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas: Mendesak pemerintah untuk lebih transparan dalam menyampaikan informasi terkait status dan perkembangan pembahasan RUU ini.
Penundaan pembahasan RUU Perampasan Aset oleh DPR bukan hanya soal kebutuhan akan kajian lebih mendalam, melainkan cermin ketakutan akan perubahan yang merugikan kepentingan tertentu. Dalam situasi ini, masyarakat harus bersikap kritis dan proaktif dalam mengawal pembahasan RUU yang sangat penting bagi pemberantasan korupsi.
Penting bagi semua elemen bangsa untuk bersatu dan menekan pemerintah serta DPR agar segera menyetujui RUU ini. Sebab, tanpa perampasan aset, pemberantasan korupsi di Indonesia hanya akan menjadi agenda kosong tanpa hasil nyata.