Projo: Lebih dari Sekedar Relawan
Sejak kemunculannya, Projo telah berkembang menjadi semacam "kekuatan politik" yang cukup besar. Walaupun bukan organisasi formal partai politik, Projo memiliki jaringan yang solid, loyalitas anggota yang tinggi, serta dukungan dari berbagai kalangan masyarakat. Bukan hanya sebagai pendukung kampanye, tetapi juga menjadi alat bagi Jokowi untuk menegosiasikan posisi dan kebijakannya di hadapan partai politik.
Bukan hanya Projo, tetapi beberapa kelompok relawan yang menyokong Jokowi sebenarnya mencerminkan pola baru dalam politik Indonesia. Hal ini adalah bukti bahwa basis politik di Indonesia tidak lagi harus bergantung pada partai politik semata. Namun, saat masa jabatan Jokowi hampir berakhir, pertanyaan penting muncul: Apa nasib Projo setelah Jokowi tak lagi menjabat?
Desember nanti, Projo akan menentukan arah baru---apakah tetap sebagai organisasi massa atau bertransformasi menjadi partai politik. Keputusan ini tidak hanya akan mengubah nasib Projo, tetapi juga menciptakan preseden dalam sejarah politik Indonesia. Bagaimanapun, pengaruh Jokowi tetap akan memainkan peran krusial dalam keputusan itu.
Menjadi Partai Politik: Opsi yang Rasional?
Dengan dukungan massa yang solid, keputusan untuk menjadi partai politik bisa dibilang opsi yang rasional bagi Projo. Apalagi jika Jokowi berencana tetap aktif di ranah politik nasional setelah pensiun dari jabatan presiden. Dengan menjadi partai politik, Projo akan memiliki kesempatan lebih besar untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik formal, baik di tingkat daerah maupun nasional. Partai politik juga memberikan platform lebih kuat bagi Projo untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang selama ini mereka dukung dan perjuangkan.
Namun, langkah ini tak lepas dari tantangan besar. Memulai partai politik berarti Projo harus membangun struktur yang solid, memiliki ideologi yang jelas, serta mampu menarik kader-kader berkualitas. Selain itu, ada risiko jika partai hanya bertumpu pada popularitas satu tokoh, yaitu Jokowi. Jika tidak dikembangkan menjadi partai modern yang mampu berdiri sendiri, tanpa ketergantungan pada satu figur, partai tersebut berpotensi hanya sekedar menjadi partai sesaat---berjaya di awal, namun cepat tenggelam setelah tokoh sentralnya tak lagi aktif.
Pilihan Lain: Tetap Menjadi Ormas
Alternatif lainnya adalah mempertahankan Projo sebagai organisasi massa (ormas) yang aktif di masyarakat. Dalam bentuk ini, Projo dapat tetap eksis dengan menjadi platform suara rakyat, penyokong kebijakan pro-rakyat, serta menjaga semangat politik yang selama ini diusung Jokowi. Sebagai ormas, Projo lebih fleksibel untuk terus mendukung kebijakan pemerintah atau bersikap kritis tanpa terikat aturan politik yang kaku.
Keuntungan dari tetap menjadi ormas adalah fleksibilitas dalam bergerak. Projo bisa lebih fokus pada kegiatan sosial, pembangunan masyarakat, dan advokasi kebijakan publik tanpa harus terjebak dalam dinamika politik praktis yang kadang bisa mereduksi peran utamanya. Bentuk ini juga lebih adaptif terhadap perubahan politik tanpa harus mengorbankan nilai-nilai yang selama ini mereka perjuangkan.
Namun, ada tantangan dalam bentuk ini. Sebagai ormas, Projo tidak akan memiliki kekuatan politik yang setara dengan partai, terutama dalam mempengaruhi kebijakan secara langsung. Di sisi lain, ormas juga cenderung lebih sulit menjaga loyalitas anggotanya dalam jangka panjang karena tidak terlibat langsung dalam kontestasi politik.
Tantangan Projo Menuju Masa Depan
Apa pun pilihan yang diambil Projo, tantangan utamanya adalah menjaga eksistensi dan relevansi di era pasca-Jokowi. Menjadi partai politik atau tetap sebagai ormas memiliki pro dan kontra masing-masing. Jika menjadi partai, Projo harus bersiap dengan konsekuensi finansial, struktural, dan tantangan politik lainnya. Sementara, jika tetap sebagai ormas, mereka harus mencari cara untuk terus eksis tanpa harus bertumpu pada kepentingan politik sesaat.
Kedua pilihan ini tentu perlu dipikirkan matang-matang oleh Jokowi dan para pemimpin Projo. Jika Jokowi ingin tetap memiliki pengaruh dalam perpolitikan nasional, maka transformasi Projo menjadi partai politik bisa menjadi sarana baru untuk mengokohkan pengaruhnya. Namun, perlu diingat, untuk bisa bertahan lama, Projo harus membangun identitas yang lebih luas, dengan tujuan-tujuan yang tidak hanya bergantung pada popularitas Jokowi semata.
Jika salah satu prinsip Jokowi adalah memajukan politik yang bersih dan berorientasi pada rakyat, maka keputusan ini juga harus mencerminkan prinsip tersebut. Apakah Projo siap menjalani peran baru sebagai partai politik, atau tetap berfungsi sebagai ormas yang independen, akan menjadi keputusan yang menarik untuk ditunggu. Dan, tentu saja, apa pun hasilnya, nasib Projo hingga kini tetap berada di tangan Jokowi.***MG