Jakarta tengah panas, bukan hanya karena isu politik, tapi juga perdebatan hasil survei yang berbeda terkait Pilkada. Publik dikejutkan dengan hasil dua lembaga survei terkemuka, Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Poltracking Indonesia, yang menampilkan data elektabilitas berbeda. Dua survei ini, yang dirilis antara tanggal 10-16 Oktober 2024, menunjukkan hasil yang hampir bertolak belakang.
Hasil dari LSI memperlihatkan pasangan Pramono unggul tipis atas pasangan Ridwan Kamil, sementara Poltracking menunjukkan pasangan Ridwan Kamil mengungguli Pramono dengan selisih yang lebih signifikan. Kok bisa dua lembaga yang sama-sama kredibel memiliki temuan yang berbeda dalam periode survei yang berdekatan?
Hasil Survei yang Kontroversial
Untuk memahami lebih jauh, mari kita simak hasil kedua survei tersebut.
Survei LSI dilakukan pascadebat perdana cagub-cawagub Jakarta, tepatnya pada 10-17 Oktober 2024. Populasi survei adalah warga Jakarta yang sudah berusia 17 tahun atau lebih.
Sampel survei ini sebanyak 1.200 orang diambil dengan menggunakan metode multistage dengan toleransi kesalahan atau margin of error +- 2,9% pada tingkat kepercayaan 95%. Survei ini menggunakan asumsi simple random sampling.
Responden diberi pertanyaan 'Kalau pemilihan langsung Gubernur Daerah Khusus Jakarta diadakan hari ini, siapa yang akan Ibu/Bapak pilih di antara pasangan nama berikut?'.
1. Ridwan Kamil-Suswono: 37,4%
2. Dharma Pongrekun-Kun Wardhana: 6,6%
3. Pramono Anung-Rano Karno: 41,6%
-tidak tahu/tidak jawab: 14,4%
Survei Poltracking juga dilakukan pascadebat, tepatnya pada 10-16 Oktober 2024. Populasi survei merupakan warga Jakarta berusia 17 tahun ke atas/sudah menikah dengan jumlah responden 2.000 responden.
Metode survei multistage random sampling dengan margin of error +/- 2,2% pada tingkat kepercayaan 95%. Sistem pengambilan survei melakukan wawancara tatap muka.
Poltracking kemudian menanyakan kepada responden soal paslon yang dipilih jika saat ini berada di bilik suara. Hasilnya sebagai berikut:
1. Ridwan Kamil-Suswono: 51,6%
2. Dharma Kun-Kun Wardhana: 3,9%
3. Pramono Anung-Rano Karno: 36,4%
Perbedaan ini tentu menimbulkan pertanyaan, terutama dari masyarakat yang berharap survei bisa memberikan gambaran obyektif.
Kondisi ini tidak hanya membingungkan publik, namun juga memancing respon keras dari Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi).
Persepi, sebagai asosiasi yang menaungi lembaga-lembaga survei di Indonesia, merasa perlu untuk menyelidiki perbedaan ini dan berencana membawa temuan tersebut ke Dewan Etik Persepi.
Langkah ini diambil untuk memastikan tidak ada kesalahan metode atau pelanggaran etik yang dapat mencoreng kredibilitas lembaga survei di Indonesia.
Apa yang Membuat Hasil Berbeda?
Meski sama-sama dilakukan di Jakarta pada waktu yang hampir bersamaan, perbedaan dalam metodologi survei antara kedua lembaga bisa menjadi alasan utama perbedaan hasil ini.
Di bidang survei, metode pengambilan sampel, ukuran sampel, cara penyusunan kuesioner, hingga teknik wawancara sangat mempengaruhi hasil.
Selain itu, ada pula faktor lain yang patut dicermati, seperti framing pertanyaan, waktu survei, dan penempatan pilihan responden.
Misalnya, jika kuesioner menampilkan pertanyaan yang bias atau terlalu menyudutkan salah satu kandidat, hasil survei tentu bisa terdorong ke arah tertentu.
Begitu pula dengan faktor emosional responden. Jika survei dilakukan pada saat isu tertentu tengah hangat, hasilnya bisa saja mencerminkan emosi sesaat.
Persepi dan Upaya Menjaga Kepercayaan Publik
Langkah Persepi yang ingin membawa kasus ini ke Dewan Etik perlu didukung. Lembaga survei memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kepercayaan publik terhadap hasil survei.
Di negara dengan demokrasi yang berkembang seperti Indonesia, survei bukan hanya sekedar angka di atas kertas, melainkan salah satu instrumen yang membantu masyarakat dan partai politik mengambil keputusan.
Terlebih, hasil survei sering kali dijadikan sebagai tolok ukur dalam mengatur strategi kampanye atau menentukan arah dukungan.
Jika lembaga survei terbukti melakukan pelanggaran etik atau manipulasi data, tentu ini akan mencoreng integritas hasil survei dan menurunkan kepercayaan publik.
Persepi sudah seharusnya menindaklanjuti perbedaan ini dengan pengawasan ketat dan menjatuhkan sanksi tegas bagi pihak yang terbukti melakukan kesalahan.
Apakah Survei Bisa Dijadikan Alat untuk Mempengaruhi Pemilih?
Sayangnya, sejarah survei di Indonesia tidak sepenuhnya bersih dari isu bias dan pesanan pihak tertentu. Tidak jarang kita mendengar tudingan bahwa hasil survei sengaja dimanipulasi untuk menguntungkan kandidat tertentu atau mempengaruhi opini publik. Hal ini tentu berbahaya.
Survei yang tidak obyektif justru akan menciptakan polarisasi di masyarakat, memperuncing perpecahan, bahkan bisa menimbulkan konflik di tengah masyarakat yang mendukung kandidat yang berbeda.
Dalam konteks Pilkada Jakarta kali ini, masyarakat perlu lebih cermat menyikapi hasil survei. Memahami bahwa perbedaan metodologi bisa memengaruhi hasil adalah langkah awal.
Namun, yang tidak kalah penting adalah pengawasan independen terhadap lembaga survei, sehingga praktik manipulasi data bisa diminimalisasi.
Upaya Masyarakat untuk Memperkuat Demokrasi
Di balik polemik ini, ada pelajaran penting yang perlu kita ambil. Sebagai masyarakat yang hidup dalam sistem demokrasi, kita perlu memiliki sikap kritis terhadap berbagai hasil survei yang beredar.
Kita perlu melihat tidak hanya angka-angka elektabilitas, tetapi juga memahami bagaimana survei tersebut dilakukan, dan siapa yang melakukan survei. Dengan demikian, kita tidak akan mudah terpengaruh oleh hasil survei yang mungkin saja dimanipulasi.
Jika pada akhirnya ditemukan bahwa lembaga survei telah melakukan kesalahan atau sengaja memanipulasi data, maka harus ada sanksi yang tegas.
Hal ini bukan hanya untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga survei, tetapi juga untuk memastikan bahwa Pilkada berjalan dengan adil dan obyektif, tanpa ada campur tangan hasil survei yang bersifat tendensius.
Mengharapkan Kejelasan dari Persepi
Kita semua tentu menantikan hasil investigasi dari Dewan Etik Persepi. Apakah benar ada lembaga survei yang melakukan manipulasi atau sekadar kesalahan metodologi semata?
Terlepas dari hasilnya, transparansi dalam proses ini sangatlah penting. Demokrasi yang sehat memerlukan lembaga survei yang kredibel, obyektif, dan dapat dipercaya.
Semoga langkah Persepi kali ini menjadi awal yang baik untuk memperbaiki sistem survei di Indonesia, demi menjaga demokrasi yang lebih baik dan transparan.***MG